Pengawal dan Masa Lalu

483 92 12
                                    

   Itu saatnya fajar menyingsing, Rui kembali ke istana bersama dengan Enmu. Hal pertama yang Ia temui saat itu adalah pelukan hangat dari seorang Tanjiro yang berulang kali mengatakan ‘Aku cemas’.

“Aku pulang, Kakak.” Rui balas memeluk Tanjiro.

Sedangkan Enmu yang berdiri di belakang Rui merasa terpana dengan kecantikan tak nyata di depannya. Ia segera sadar dan menunduk,

“Salam kenal Tuan Zero upper moon, Saya Enmu, iblis lower Moon.

Fokus Tanjiro beralih, Ia menatap Enmu dengan seksama.

“Temannya Rui?” Ia bertanya kepada Rui.

Dan itu menghasilkan penolakan besar, “Dia bukan.” Katanya.

Tentu hati Enmu sakit mendengar hal itu. Jadi Ia sedikit melakukan sandiwara, “Jahatnya... Padahal Kita membunuh Hashira itu bersama. Padahal Aku bantu sembuhkan lukamu.”

Yang datang adalah awan kesedihan, Tanjiro menangis mendengar adik kecilnya itu terluka. Ia merasa bersalah karena membiarkan Rui pergi sendiri. Sehingga Dia berulang kali mengucapkan kata, ‘maaf’.
Tentu, hasil dari manifestasi kesedihan Tanjiro berdampak pada Muzan yang di diami selama seminggu. Hal ini juga mengakibatkan penundaan pengangkatan Rui dan Enmu sebagai upper moon.

Setelah adegan ini dan itu, Akhirnya Rui dan Enmu resmi menjadi upper moon, meski begitu tugas mereka sederhana.

“Kalian akan menjadi iblis yang mengawal Tanjiro, saat Ia pergi ataupun dirumah. Mengerti?”

“Ya! Muzan-sama!”


...


Dan, di sinilah Mereka. Berdiri di tengah keramaian yang menyesakkan untuk masuk dalam kereta api. Sebenarnya ini adalah ide dari Enmu yang merasa bosan karena berada di infinite Castle.

“Lihatkan, Tanjiro-sama. Kereta ini sangat besar dan bisa bergerak sendiri.” Enmu berujar bangga.

Rui menatap remeh, “Lebih tepatnya, ini adalah tubuhmu kan? Berarti, masuk ke kereta ini sama saja dengan masuk ke perutmu.”

“Wah... Kau sangat pintar, Rui-chan.”

“Rui-chan!?”

“Sudah sudah, tenanglah kalian berdua. Mari Kita masuk ke dalam kereta ini.” Ucap Tanjiro yang berusaha menenangkan.

Tentu saja, dengan bantuan Enmu Mereka masuk dalam kereta secara gratis. Di sana, Tanjiro bahkan di beri makanan yang sangat lezat. Jadi, Dia menghabiskan sangat banyak makanan.

Lalu, seseorang dengan perawakan seperti api yang membara datang. Ia menelisik gerbong itu, sampai netranya melihat Tanjiro yang sedang makan.

“Halo, iblis!” Dia menyapa tanpa ragu.

Sedang Rui menerima tekanan kuat, Tanjiro hanya menatap Laki-laki itu santai.

“Bagaimana, Anda bisa tahu?” Katanya.

Lalu, Laki-laki itu tertawa. “Tentu saja Aku tahu. Aku ini seorang Hashira, pilar iblis. Aku sudah membunuh banyak iblis sehingga tahu bagaimana baunya.” Ujar Laki-laki itu bangga.

Tanjiro menatapnya, “Kamu sangat keren karena tahu banyak hal.” Ungkapnya.

Pandangan Tanjiro beralih ke kotak bento yang sudah kosong di tangannya. Ia memanggil staff yang ada di sana,

“Permisi Nona, Saya ingin tambah lagi.” Ia berujar sopan.

Laki-laki itu tercenung, “boleh Aku duduk di sini?”

Dan Tanjiro, tanpa ragu menjawab “Ya.”


...


“Bukankah Kamu seorang Iblis!?”

“Ya.”

“Kenapa makan-makanan manusia!?”

“Tidak boleh?”

Laki-laki itu terdiam, Ia menatap Rui yang sedari tadi duduk di samping Tanjiro.

“Kamu, upper moon yang aneh.”

“Ya.”

Tanjiro menjawab singkat semua pertanyaan itu. Ia lebih memilih untuk menikmati makanan dan pemandangan malam yang disajikan dengan kecepatan tinggi. Ia berbalik, menatap si Laki-laki aneh.

“Namaku Rengoku, Aku seorang Pilar Api.” Entah mengapa, Dia memulai sesi perkenalan.

“Aku Tanjiro, dan ini Rui.”

Rengoku menatap Rui yang juga menatapnya nyalang. “Begitu, jadi Dia Rui.”

Klak

Suara pergeseran rel bahkan terdengar jelas, hal ini menjelaskan betapa hening keadaan di kereta. Ya, saat ini semua orang sedang terlelap dalam [Mimpi] indah. Terkecuali Tanjiro yang sedari tadi masih terjaga.

“Enmu”

“Ya, Tanjiro-sama?” suara itu bergema.

“Jangan makan mereka sekarang”

Enmu kaget, lantas Ia berbicara lagi, “Memangnya kenapa Tanjiro-sama, kali ini dapat Kita lihat jika Kita sedang mendapatkan makanan yang enak.”

Tanjiro menghela napasnya berat, “Lakukan saja jika Kamu ingin.”

Enmu datang dengan wujud manusianya, Ia menyembah sujud Tanjiro. Menggumamkan kalimat maaf dengan linangan air mata. Dan Tanjiro, mengelus surai Enmu sebagai token tanda maaf.

“Pindahkan tubuhmu, juga, Kita akan pergi sebelum Rengoku-San bangun.”

“Kita tidak bisa mengalahkannya?” Rui kini mencoba angkat suara.

Tanjiro menatap lembut, “Aku tak ingin Kalian berdua terluka.”

Itu menjadi sesi berpelukan yang sedikit panjang.


...


Saat kereta itu berhenti, mereka turun. Meskipun ini bukan peron yang dituju. Stasiun sepi, tanpa hingar bingar orang yang lalu-lalang merupakan lokasi yang langsung jadi favorit Tanjiro.

“Kita akan kemana?” itu Rui yang bertanya.

“Entah,” celetuk Enmu.
Mereka berjalan tanpa arah, memperhatikan jalanan terang yang sepi. Ini jauh dari ibu kota yang awalnya mereka tuju.

“Tidak ada apa-apa disini!”

“Ya, Kamu benar, Rui.”

“Kurasa Kita akan menemukan sesuatu jika Kita berjalan terus.” Tanggap Enmu.

Tanjiro mengangguk bersemangat, Ia kemudian memandu jalan.

“Ayo kita cari, tempat bersenang-senang.” Katanya.

“Tunggu.”

Suara seseorang yang tidak Mereka kenal membuat mereka berdua berhenti. Orang itu bersama beberapa orang, sepertinya mereka—


“Serahkan uang Kalian.”


—perampas.

“Kami tidak punya uang” ucap Rui.
Enmu sendiri gemetar ketakutan, Ia langsung berjongkok tepat di samping Tanjiro. Hal ini membuat Tanjiro panik.

“Ada apa, Enmu?” Tanyanya khawatir.
Namun tak ada jawaban, Enmu semakin gemetar ketakutan.

“Enmu? Enmu!” Tanjiro sungguh sangat khawatir.

“Mimpi buruk...” gumam Enmu—yang masih dapat di dengar Tanjiro.
Ia mengerti, sebabnya Dia berdiri. Tanjiro mendekati Pemuda-pemuda sombong di depannya. Tangan Tanjiro melayang di udara, sebelum Ia turunkan dengan cepat.

“Matilah” ucapnya.

Sepersekian detik, tubuh utuh dan bernyawa tadi terkoyak. Daging busuk itu bergelimpangan di jalan. Rui kaget bukan main saat melihat kekuatan Tanjiro. Sedangkan Enmu terpana, di dalam lubuk hatinya Ia,

“Sudah tidak ada lagi, mimpi buruk.” Tanjiro menatap Enmu. Ia mendekat dan berikan bahu sebagai sandaran.
Di dalam lubuk hati Enmu, Ia berterima kasih.

...

   Enmu, Pemuda manis dari keluarga kaya. Terlahir dengan kepintaran mumpuni yang dapat buat siapa saja iri. Enmu kecil selalu tertarik dengan hal-hal yang setapak lebih modern dari zamannya. Dia bahkan ikut dalam penyusunan kereta api yang teknologinya di dapat dari orang barat sana.

   Ia selalu takjub akan pemikiran tentang masa depan. Semua yang ada di matanya hanya belajar, bekerja, dan membuat sesuatu.

   Mungen Train adalah hasil ciptanya yang paling menerjang gemilang. Semua orang bangga, dan Ia bahagia karena bisa membuat kereta yang dapat dinaiki oleh banyak orang kedepannya.

   Jadi, ketika peresmian Enmu adalah orang yang datang paling pertama serta pulang paling akhir. Ia melakukan hal itu karena terus-menerus merasa takjub akan hasil tangannya.

   Namun malang, Enmu yang kala itu berusia 17 tahun masih terlalu muda untuk pulang malam. Sebab hal ini memancing para pemabuk dan perampas mendekatinya. Orang kejam itu, dengan bangga menggagahinya, dan membunuh Enmu.

   Yang tersisa di malam itu hanya Enmu yang tergeletak di tanah dingin, serta rasa jijik, benci, dan marah pada manusia. Dan Muzan datang pada waktunya, membuat perjanjian, lalu Ia dengan senang hati berubah.
Membalas dendam, serta berjalan mengelilingi Jepang—yang merupakan mimpi Enmu sejak kecil.

EGO [DISCONTINUED] Where stories live. Discover now