Sedikit Belas Kasih

556 90 14
                                    

   Dimensional Infinity Fortress menjadi gempar karena kedatangan Tanjiro yang terluka di bagian paha. Ekor aneh yang timbul juga tak luntur dari perhatian. Sedang Tanjiro, luruh saat Ia menapaki kastel—yang untungnya langsung di tahan oleh Kokushibou.

   Dan di sinilah mereka. Para Upper Moon berkumpul untuk memastikan kondisi iblis manis kesayangan mereka. Sedikitnya, mereka terkejut saat melihat seorang Lower rank moon, ada di gendongan si manis.

“Tanjiro-san, apa yang terjadi denganmu?” Nakime bergegas memetik biwa.

  Dengan gemetaran Tanjiro menjawab, “Tadi—ada yang menyerang. Gunung Natagumo. Keluarga laba-laba. Seseorang dengan kekuatan air. Menebas. Jahat—“  napas Tanjiro tercekat.

   Sedikitnya Ia masih merasakan ketakutan. Hal itu Ia salurkan dengan memeluk Rui yang juga gemetaran. Ekspresi para Upper Moon menggelap, mengetahui apa yang terjadi dengan iblis manis mereka. Douma datang dan memeluk kedua iblis itu. Memberikan perasaan tenang kepada pihak yang di peluk.

   Agaknya kondisi sudah berangsur tenang. Tanjiro sudah di biarkan tidur sedari tadi. Sedangkan Rui masih terjaga untuk menceritakan hal yang terjadi. Muzan langsung pulang ketika mendengar kabar bahwa pemburu iblis mulai membuat masalah. Apalagi kejadian kali ini menyangkut Tanjiro.

   Ekor yang muncul pada Tanjiro itu menghilang. Estimasi kekuatan Tanjiro itu berada tepat di bawah Muzan. Tapi masalahnya, Tanjiro tak kunjung bangun dari tidur panjang. Azaka bilang mungkin itu terjadi karena Tanjiro tidak pernah memakan daging manusia.

   Maka dari itu, saat ini, di depan Tanjiro tersaji tumpukan mayat manusia yang sudah di buru oleh Rui. Tanjiro hanya terkesiap, setelahnya Ia menangis karena ingin dango, bukan daging manusia. Hal ini membuat Muzan menahan kesal. Seperti sekarang ini,

“Makanlah daging ini, Tanjiro.” Sudah berulang kali kata itu terucap.

“Saya tidak mau Muzan-sama. Saya mau dango! Tidak dengan daging menjijikkan ini.” Tanjiro bersungut.

  Lain dengan Kokushibou yang sedari tadi sudah membawakan dango. Jadi manakala Tanjiro melihat Kokushibou, Ia berlari pelan. Mengambil tusukan dango dari kemudi Kokushibou. Hal ini tentunya mengundang tatapan tajam Muzan. Biarpun begitu, Ia melepaskan masalah ini kala melihat senyum yang terbit di wajah Tanjiro.

.
.
.

  Rui kelabakan saat menerima permintaan Tanjiro—iblis yang menjadi kakaknya sekarang. Baru Ia tahu jika tempo hari Tanjiro keluar dari Infinite Castle secara diam-diam. Entah bagaimana caranya, tapi Tanjiro bisa melakukan itu. Makanya sekarang, Rui dan Tanjiro berada di luar kastel—entah dimana, yang jelas ini sebuah hutan dengan bau iblis yang kental.

   Mereka berjalan mengikuti bau iblis itu—meskipun yang mencium bau itu Tanjiro, bukan Rui. Genggaman tangan Tanjiro menguat ketika mereka sampai pada sebuah mansion yang terlihat suram.

“Menyeramkan...” ucap Tanjiro.

   Itu adalah suara gendang yang bertabuh. Mengubah bilik-bilik menjadi berantakan. Seakan kamu masuk dalam perangkap tikus. Meski Tanjiro tetap kekeh untuk maju ke depan.

   Sedangkan Rui memilih untuk mengikuti setiap langkah Tanjiro tanpa suara. Agaknya mata Rui memindai setiap sudut yang berputar. Rui diam-diam menyebarkan benang pemandu. Jadi, setidaknya bila itu tersentuh, mereka bisa segera lari dari situ.

   Bukan, Rui tidak sedikit pun takut. Ia hanya lebih menghawatirkan pemuda yang berjalan di depannya. Belajar dari kejadian tempo hari, mungkin saja disini ada para pemburu iblis yang sedang menunggu ataupun sedang membunuh iblis.

   Benar saja tak lama setelah mereka masuk, seseorang dengan topeng babi menerobos dari belakang. Mengayunkan katana dengan gerigi tajam di sampingnya. Tentu saja hal seperti itu dapat dihindari dengan mudah oleh Tanjiro serta Rui.

   Mata Tanjiro memicing, menatap pemuda di depannya. Rui langsung Ia tarik untuk bersembunyi di belakang punggung. Hal ini sedikitnya menyakiti hati Rui, yang notabenenya  iblis lower Moon rank.

“Betapa tidak sopannya.” Sentak Tanjiro

Si kepala babi hanya bisa terdiam sesaat.

“Maksudmu? Iblis itu ada untuk di bunuh.” Penekanan di akhir kalimat terdengar jelas.

   Mengetahui jika pemuda di depannya ini adalah ancaman, Tanjiro semakin mengeratkan pegangan tangan pada Rui. Sedang Rui menatap geli pemuda itu,

“Bolehkan Saya membunuhnya, Tanjiro-nii?” tawar Rui.

“Tidak boleh Rui, kita datang kesini hanya untuk melihat-lihat, tidak lebih.” Sanggah Tanjiro.

   Gerutu terdengar dari yang lebih muda, yang lebih tua hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan adik angkatnya itu. Menyisakan si babi yang terdiam dengan kerutan di kepalanya. Masih tidak percaya dengan penuturan yang baru saja Tanjiro katakan.

“Kenapa?” segala pertanyaan itu berkumpul menjadi satu kata yang Ia muntahkan.

“Sudah Tanjiro-nii bilang, Ia hanya ingin melihat-lihat.” Sergah Rui, ketika Tanjiro ingin menanggapi pertanyaan itu.

   Si kepala babi ingin kembali bertanya, ketika sebuah suara teriakan—memekakkan datang dari salah satu bilik di sana. Beberapa pintu geser itu terbuka, mengeluarkan bocah dengan surai kuning yang gemetar ketakutan.

“Ahhh... Aku tak mau mati di sini. Aku masih ingin menikah!” teriakan menggema di sepanjang lorong.

   Namun, pemuda itu terduduk lemas saat melihat Tanjiro serta Rui yang ada di belakangnya. Ia menggumamkan kalimat 'matilah Aku' berulang kali. Tanjiro merasa sedikit prihatin dengan keadaan bocah itu, jadi Ia berjalan mendekat. Ia memegang bahu bocah itu pelan.

“Kamu tak apa?” sapaan itu terdengar.

“Huh?” Bocah itu kebingungan.

   Tanjiro tampak merogoh saku celananya. Tangannya mengeluarkan sesuatu—yang di balut rapi dengan daun. Tanjiro mengeluarkan bungkusan itu pada bocah pirang di hadapannya.

“Kamu lapar?” Tatapan mengasihi terpancar dari manik Tanjiro. Membuat bocah pirang itu menangis.

“Apa ini... Kenapa Kamu baik? Padahal Kamu iblis... “ lirihnya.

“Sudah... Jangan menangis, ini untukmu.” Tanjiro menyerahkan lagi bungkusan itu.

Si bocah kuning itu mengambil bungkusan yang ternyata berisi kudapan. Ia menatap Tanjiro terheran.

“Kenapa kamu membawa kudapan?” Pemikiran aneh tentang iblis yang menculik para gadis atau anak kecil dengan kudapan muncul di kepala bocah pirang.

“Itu, aku takut aku lapar saat di perjalanan. Makanya aku bawa untuk stok makanan.” Jawaban jujur terdengar. Membuat si bocah kuning, maupun si kepala babi terdiam.

   Tatami itu bergeser-geser. Bunyi gendang kembali bertabuh. Sepersekian detik, muncul iblis dengan gendang di badannya.

.
.
.

   Kyogai, si iblis gendang, bersimpuh di atas tatami. Ia menyambut senang kedatangan seorang Lower Moon rank dan iblis Zero Upper Moon di mansion kecilnya ini.

“Saya memberi salam pada Rui-sama, Lower Moon rank dan Tanjiro-sama, Zero Upper Moon.” Ucapnya penuh damba.

Tanjiro terkekeh kecil,

“Tidak perlu begitu, Kyogai-san.” Balasnya.

  Sedang Kyogai tertegun, sekali lagi Ia menundukkan kepala tanda meminta ampunan.

“Tanjiro-sama tolong jangan panggil saya begitu. Hamba ini hanyalah iblis rendahan. Ji–jika sikap Saya tidak sopan, tolong maafkan hamba.”

   Sebenarnya Tanjiro masihlah bingung dengan ucapan Kyogai, namun Ia hanya meng-iyakan perkataan itu. Senyum masih tidak luntur dari wajah Tanjiro.

   Si kepala babi jengah dengan keheningan canggung. Ia memilih untuk mengangkat suara sedikit lebih tinggi.

“Jadi, kenapa Kau tidak memakan manusia, Iblis merah?”

   Pertanyaan itu jelas mengacu pada Tanjiro yang sedari tadi memilih untuk memakan kudapan ketimbang onggokan daging di depannya. Mendengar hal seperti itu jelas membuat Tanjiro sedikit kesal.

“Karena kudapan itu enak!” sanggahan itu diberikan sebagai jawaban.

   Setelahnya si kepala babi hanya bisa mendengus. Penuturan Iblis di hadapannya itu tidak masuk akal. Tentu, Ia tahu akan hal itu. Tapi, entah kenapa Ia merasa jika iblis itu tak berbohong barang sepatah kata.

   Si kuning yang canggung akhirnya mencoba membuka suara.

“Aku, namaku Zenitzu. Siapa nama kalian?”

   Tanjiro hendak menjawab tetapi Ia teringat pesan Muzan yang bergaung di pikiran.

“Aku Tanjiro” jadilah hanya perkenalan singkat yang terlontar. Tanjiro melanjutkan dengan memperkenalkan Rui serta Kyogai pada Kedua pemuda pemburu iblis itu.

“Baiklah! Dengar, namaku adalah Hashibira Inosuke! Mulai sekarang kalian adalah bawahanku!” celetuk si topeng babi.

   Pernyataan itu tentu saja mengundang kesal para Iblis dan Zenitzu. Terlebih Rui yang sejak tadi telah mengeluarkan benangnya. Sungguh tak sopan pemuda dengan topeng babi itu. Meski begitu, Tanjiro menarik tangan Rui dengan lembut seakan berkata 'tak apa'.

“Maaf Inosuke, tapi aku sudah punya tuan.”

“Memangnya siapa tuanmu?”

“Iblis yang berada tepat di atasku.”

.
.
.

   Kemarahan para pilar tak terelakkan. Mereka marah pada Inosuke dan Zenitzu yang tidak membunuh iblis yang mereka temui. Rapat pilar diadakan, bersamaan dengan hal ini, Tomioki Giyuu—sang pilar air terbangun dari tidurnya. Tentu saja Inosuke dan Zenitzu dilibatkan dalam rapat kali ini.

“Jadi maksudmu, yang menyerangku kemarin itu adalah iblis Zero Upper Moon?” Giyuu angkat bicara.

“Begitulah, Tomioka-san” ucap Zenitzu takut.

“Kalau begitu kita harus memburu mereka.” Itu adalah pilar angin yang berbicara.

“Jangan gegabah, Sanemi.” Sang pilar api angkat suara.

“Cepat atau lambat pasti iblis itu akan membuat banyak masalah, Rengoku!” Balasan sengit diberikan.

“Tapi, Tanjiro itu baik!” Zenitzu menyela.

  Semua yang ada di sana terdiam.

“Iblis tidak akan pernah menjadi baik, Zenitzu.” Kocho memotong ucapan Zenitzu.

Rapat itu berakhir dengan keheningan yang menyesakkan.

.
.
.

“Tanjiro-samaaaa!!!” Douma segera memeluk pemuda itu saat Ia melihat Tanjiro datang dari salah satu bilik. Tentu saja Tanjiro kaget dengan hal itu.

“Kamu kemana saja, Tanjiro-sama!?” Kenapa Kamu tiba-tiba pergi!? Apa kamu terluka!?” rentetan itu terdengar sangat panjang.

“Tanjiro-sama?” Itu yang membuat Tanjiro heran.

Douma hanya menganggukkan kepalanya di dada Tanjiro.

“Tolong jangan pergi diam-diam lagi, Tanjiro-sama.” Itu adalah Akaza yang terlihat khawatir.

   Tanjiro hanya tersenyum, paham. Melihat itu Akaza menjadi senang. Ia memanggil Rui untuk menyiapkan pemandian. Hal itu tentu saja di-iya-kan oleh Rui dengan senang hati. Tak lama berselang, Nakime memetik biwa. Muzan pulang dan berkata untuk mengumpulkan para Upper Moon sekarang.

   Ini adalah rapat tentang pemilihan Upper Moon yang baru. Tentu Rui akan mengikuti tes itu. Dikatakan oleh Muzan, tes ini akan menjadi tes yang berat untuk para lower Moon, tetapi ini tes yang sangat mudah untuk Upper Moon.

“Jadi, apa yang harus mereka lakukan Muzan-sama?” tanggapan Nakime memunculkan senyum Muzan.

“Mereka harus bisa membunuh salah satu pilar yang ada.”

EGO [DISCONTINUED] حيث تعيش القصص. اكتشف الآن