Chapter 41

5.8K 559 75
                                    

"Ga, denger gua gak? Dengerin juga kata-kata temen lo yang so asik itu. Ayo bangun."

Jantung Kevi berdetak kencang sekali saat melihat kelopak mata itu dengan perlahan membuka dengan sendirinya.

"Saga?"

Kevi merasa lega saat dilihat Sagara membuka matanya, namun seperti biasa ia terlalu cinta dengan segala ekspektasi miliknya hingga saat dimana ia baru ingat kalau ekspektasi mikinyalah yang justru lebih sering menyakiti dirinya lebih dari yang ia kira.

Tiba-tiba tubuhnya mengalami kejang membuatnya terkejut sambil menghampiri Sagara kemudian dengan tangan yang bergetar ia menggenggam tangan Sagara.

"K-kenapa.."

"H-hey.. kenapa gini.. j-jangan becanda.."

Hingga saat tubuh itu berhenti bergerak dan tiba-tiba suara nyaring terdengar menusuk telinganya.

Ia melirik mesin EKG yang hanya menunjukkan garis lurus saja. Juga dada Sagara yang tidak menunjukkan pergerakan apa-apa.

"Please.. jangan gini.."

"Ga..Saga.."

"GUA BILANG JANGAN GINI ANJING!" Teriaknya sambil memukul pinggir ranjang.

Ia baru sadar bahwa seharusnya ia menekan tombol darurat sedari tadi. Maka dengan brutal ia menekan tombol tersebut.

"Please Saga, maafin gua okay? kalo lo marah, marahin gua aja sepuas lo. Kalo lo sakit hati sama kata-kata yang pernah gua ucapin ke lo gua minta maaf. Gapapa kalo lo mau pukul gua, asal jangan kaya gini.." Ia panik mengguncang tubuh Sagara yang kian mendingin. Entah sejak kapan juga air matanya mengalir sebegitu derasnya.

Kemudian dokter datang dengan beberapa perawat menyeret dirinya keluar dari sana.

Dua puluh menit ia menunggu sampai akhirnya sang dokter keluar dengan wajah yang tidak bisa ia tebak.

"Gimana? Sagara gak apa-apa kan?"

"Jawab!"

Dokter itu menggelengkan kepalanya yang kini menunduk penuh penyesalan.

"Enggak! Gak mungkin."

Ia menerobos masuk ke dalam ruangan berharap kalau yang ia dengar tidaklah benar.

Namun justru disana ia menyaksikan sendiri wajah pucat Sagara yang tidak bergerak lagi.

Ia menjatuhkan dirinya di atas dinginnya lantai putih itu saat dirasa kedua kakinya tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya.

"Gak mau.. gua enggak mau di tinggalin kaya gini.. please kenapa kaya gini sih.."

"Goblok bangun gua bilang!" Ia terus-menerus mengguncang tubuh Sagara sampai saat dimana ia merasakan pelukan di belakangnya.

"Kev udah!"

"Ikhlasin dia, kasian kalo lo kaya gini."

Jean. Itu Jean dengan Alvi.

Mereka ikut terguncang saat tiba-tiba saat ia kembali dari luar sahabatnya sudah tidak ada bersama mereka lagi.

Rasanya melihat Kevi saat ini ia menjadi sadar kalau Kevi benar-benar menyayangi Sagara sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya.

"Gua gak bisa.. kenapa lo ninggalin gua? kenapa lo malah ikutin Mama sama Papa yang sama-sama ninggalin gua juga.."

"Sabar Kev, yang tabah.." Ujar Alvi yang juga sebenarnya tidak bisa menerima ini begitu saja.

•••

Hingga sampai selesai pemakaman pun rasanya seperti mimpi, fakta bahwa sekarang ia benar-benar sendirian. Tak ada lagi yang bisa menemani dirinya.

Ia merasa seperti kembali ke masa lalu dimana ia juga sendirian.

Seharusnya ia terbiasa kan?

Ternyata pikirannya salah, saat pulang menuju rumah ia malah melihat bayangan dimana setiap orang tengah sibuk dengan kegiatannya di sana.

Ada Papa yang sedang memakai dasinya sambil berjalan menuju meja makan, ada Mama yang sibuk memasak sarapan, juga Sagara yang menyusul turun menghampiri dan Mama yang menghidangkan makanan.

Ia tersenyum, dengan air matanya yang juga turun.

Fakta yang lebih menyakitkan nya adalah dimana momen-momen seperti ini terlihat begitu jelas dan sangat menyakitkan walaupun jarang terjadi.

Apalagi dengan keadaan ayah dan ibunya yang jarang berada di rumah.

Dari sekian banyak kenangan, hanya kenangan ini yang kini terlintas di kepalanya dan siap membuat dia menderita setiap kali mengingatnya.

Ia memasuki kamar dimana Sagara tertidur disana.

Kemudian ia meraih foto keluarga mereka yang selalu Sagara simpan di atas lemari kecil di pinggir ranjangnya.

"Cih, egois. Ninggalin gua sendirian."

Ia merebahkan tubuhnya di sana dengan memeluk bingkai foto di dekapannya.

Pikirannya mulai melayang pada masa dimana ia mulai bertemu Sagara, adik kecil yang Mama dan Papa kenalkan padanya.

Ia masih ingat setiap hari dimana ia menolak hadirnya Sagara di rumahnya. Ia tidak pernah menyangka kalau kehilangan dirinya akan menjadi salah satu luka terbesar yang ada di hatinya.

Ia tidak menyangka bahwa Sagara membawa pengaruh besar dalam hidupnya sampai membuat rasa kehilangan yang begitu dalam.

Sagara yang memang berhasil menjadi sosok adik yang diinginkan dirinya. Sosok yang berhasil menemani dirinya di tengah-tengah sepi yang dimiliki dirinya.

Ia kira semuanya akan baik-baik saja, justru Tuhan malah melakukan sebaliknya.

Untuk setiap kata, setiap hari, setiap waktu yang pernah ia habiskan bersama Sagara sebagai adiknya. Ia berharap bisa kembali pada waktu dimana ia tidak perlu mengenal Sagara. Namun jika tetap ditakdirkan untuk mengenal Sagara. Maka ia ingin memulai semuanya dari awal, dimana ia bisa memperlakukan Sagara seperti seharusnya.










To be continued

Sagara Where stories live. Discover now