3. Nyanyianmu Meresahkan

218 63 85
                                    

Halo (╯✧∇✧)╯
Jangan lupa menekan tombol vote. Selamat membaca ◖⚆ᴥ⚆◗

***

Elio.

"Jangan bernyanyi! Suaramu meresahkan."

Seperti aku yang tidak memahami bahasa yang dia gunakan dalam lagunya, kuyakin dia pun tak paham dengan ucapanku sejak tadi. Dalam waktu yang terasa lambat, kami hanya saling pandang. Berusaha memahami isi benak masing-masing, karena tak saling mengerti dalam bahasa satu sama lain.

Aku mengeluarkan ponsel yang tadi sempat kumasukkan ke dalam saku. Baru saja akan menekan tombol panggilan yang beralamatkan nomor kantor polisi, kulihat gadis tanpa nama di atas ranjang meraih botol minuman yang kuletakkan di nakas. Ia menatap botol itu lekat-lekat dengan kening berkerut, ekspresinya sepertiku saat tidak kunjung paham cara menyelesaikan soal fisika. Gadis itu lalu menggigiti tutup botol layaknya hewan pengerat.

"Hei, hei," tegurku seraya mendekati ranjang. Ia menjauhkan mulut dari botol dan menatapku waswas. Aku menggeleng. Jika dia tidak paham perkataanku, setidaknya dia pasti memahami gestur tubuh.

Cantik-cantik, primitif.

Kuambil botol darinya, membuka tutupnya, dan menyerahkan benda itu kembali. Alih-alih diminum, ia memiringkan botol sampai air di dalamnya tumpah ke tangan. Sebelum aku sempat melarang dan menahannya untuk tidak membasahi ranjang, ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya. Spontan, aku berbalik sambil menggerutu pelan.

Bunyi air menimpa kain membuatku tahu bahwa dia membasahi kasur. Aku membuang napas gusar dan kali ini, sudah kuhubungi polisi. Kutempelkan ponsel ke telinga, menanti nada sambung berubah menjadi suara. Ketika ucapan salam di dalam telepon terdengar, gadis asing ini menggenggam tanganku. Dari sentuhannya, otakku secara ajaib memproses sebaris kalimat.

Lihat ini!

Aku menoleh, tidak sempat menyadari bahwa tadi kami berkomunikasi melalui tangan. Lututku seketika lemas saat melihat penampilan manusia yang tadinya duduk di atas kasur.

Bagian pinggang ke bawah, tempat seharusnya kedua kaki berada, berubah menjadi bagian ekor menyerupai ikan dengan sisik-sisik hijau sebesar koin logam. Ekor ikan miliknya bahkan lebih panjang dari rangka kasur dan mengayun pelan seperti daun diterpa angin. Aku terngaga, meniti ujung ekor yang seperti sayap kupu-kupu berwarna hijau gelap. Semakin ke atas, warna hijau ekornya jadi semakin terang. Di bagian teratas yang dekat pinggang, terdapat dua tangan ikan-maksudku, sirip. Bagian panjang ekor ikan ini berhenti di pinggang, menyatu dengan kulit tubuhnya yang berubah menjadi cokelat kebiru-biruan. Kulitnya terlihat licin dan basah. Wajahnya berkali-kali lebih cantik dari tadi, warna matanya yang indah jadi makin terang, tangannya yang tadi menyentuh tanganku memiliki selaput di sela-sela jari. Aku mundur beberapa langkah, merasa ngeri sekaligus takjub.

"Tolong jangan main-main dengan panggilan darurat."

Sambungan telepon diputus.

Aku lupa sedang menghubungi polisi saking terpananya. Tapi, yah, kalau kondisinya jadi seperti ini, rasanya tidak mungkin menghubungi siapa pun.

Namaku Elio, tinggal sendirian. Aku datang ke sini untuk menjaga rumah orang tuaku, bukan bertemu dengan alien setengah ikan dari pantai, bersuara indah, berwajah luar biasa cantik, yang kubawa secara sukarela ke kamarku. Aku tidak punya siapa pun untuk dihubungi, karena ini hari pertamaku pindah. Tidak ada teman, tidak ada tetangga. Hanya aku dan makhluk aneh yang kelihatan bingung. Kalau dia saja bingung, ekspresiku entah bisa dinamakan apa. Dia tidak terasa mengancam selagi diam, tetapi tetap mencurigakan.

Tiba-tiba alien ini jatuh dengan suara gedebuk kencang, membuatku meloncat mundur sekali karena kaget. Ia menggeliat di lantai kayu seperti belut, ekor panjangnya mengepak-ngepak, tubuhnya sedikit kejang. Persis ikan yang menggelepar-gelepar.

Digerakkan insting, aku menghampirinya. Saat dekat, ia tidak lagi kejang. Alih-alih, tubuhnya justru diam, membuatku semakin ngeri dan bingung harus melakukan apa.

Biarkan saja dia mati di sini. Kan tidak mungkin dipelihara.

Pikiranku waktu itu hanya satu, membiarkannya yang sudah tidak bergerak menemui Tuhan. Namun, melihat wajahnya yang kesakitan dalam diam, mengingatkanku dengan malam-malam menyedihkan ketika aku menangisi orang tuaku. Saat rinduku semakin besar, sementara dadaku terlalu kecil untuk menampung semuanya, perasaan itu tumpah dalam bentuk air mata yang membasahi bantal sepanjang malam. Ekspresi itulah yang kulihat di wajahnya, rasa sakit nyata yang hanya bisa dipendam.

Digerakkan oleh perasaan kasihan, aku menggedong tubuh ikannya yang berat dan terbirit-birit menuju kamar mandi terbesar rumah ini.

Di rumahku, ada satu kamar mandi yang baknya cukup untuk dua orang dewasa atau tiga anak-anak. Sengaja didesain seperti kolam berbentuk persegi panjang dan hanya digunakan untuk berendam air panas saat musim dingin. Kuletakkan tubuh panjangnya dalam kolam, setelah sebelumnya menyumbat lubang di dasar bak. Saat menggedongnya tadi, aku tahu dia masih hidup. Hanya lemas, seperti ikan yang jatuh dari akuarium. Rasanya tidak tega melihatnya mati pelan-pelan kehabisan napas. Kunyalakan keran sampai full.

Sembari menunggu seluruh tubuhnya tenggelam, aku bolak-balik memasang selang dari kamar mandi lain menuju ke sini. Tak sampai tiga menit, tubuhnya sudah menyentuh permukaan bak. Rambut hitamnya mekar dan terapung-apung di sekitar wajah yang terbenam air. Aku membungkuk, menahan tubuh dengan kedua tangan pada lutut. Kuperhatikan wajahnya, menunggu ia bangun dengan perasaan ketar-ketir.

Bagaimana kalau baknya terlalu lambat terisi? Jadi ia tidak sengaja mati.

Mendadak, matanya terbuka di dalam air. Dia tersenyum kecil dengan ekspresi bersyukur. Sebelum aku sempat meluruskan tubuh, kedua tangannya terangkat dan menggegam lengan bajuku.

Sadar dengan apa yang akan terjadi. Aku berseru panik, "Eh, tunggu-tunggu-tunggu-tunggu!"

Sialnya, dia tetap menarik tubuhku ke dalam bak. Karena sudah memperkirakan, aku bisa menahan diri supaya tidak langsung jatuh. Namun, akibat lantai kamar mandi yang becek akibat ceceran air dari selang dan tumpahan bak penuh yang kerannya belum kumatikan, aku gagal menjaga keseimbangan dan tergelincir jatuh dengan wajah lebih dulu.

Mata dan hidungku langsung terasa sakit karena tiba-tiba kemasukkan air. Aku memunculkan kepala, meraup oksigen rakus, lalu kurasakan bahwa kedua kakiku seperti kesemutan. Saat membalik tubuh, tidak hanya satu ekor ikan di dalam bak, tetapi sepasang. Celana panjangku sobek dan mengapung mengenaskan. Aku terdiam, terlalu terkejut untuk berteriak. Kutatap satu-satunya makhluk hidup di sampingku.

Ia tersenyum sinis sambil mendekatkan wajah hingga kening kami bertemu. Sentuhan komunikasi itu lagi.

Selamat datang, siren baru.

"Anda benar-benar berubah jadi siren?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Anda benar-benar berubah jadi siren?"

Elio menyesap tehnya dan menggangguk.

"Sungguh? Itu ... itu benar-benar sulit dipercaya." Stela tertawa singkat, berusaha memproses semua cerita penulis ternama di depannya.

"Tidak apa-apa, jika kamu tidak percaya." Elio tersenyum, cangkirnya berdenting saat diletakkan. Ia memperbaiki posisi duduk dan berujar lembut, "Itu benar-benar terjadi. Aku mengingatnya sejelas menghitung satu sampai sepuluh. Ekorku berwarna biru gelap, semakin mendekati pinggang warna birunya menerang."

Stela menggeleng, tidak percaya sekaligus kagum. "Bagaimana cara Matthea mengubah Anda?"

"Nyanyiannya." Elio tersenyum tipis. Lalu melanjutkan ceritanya.

***

Hai ୧ʕ•̀ᴥ•́ʔ୨
Bagaimana pendapatnya tentang bab ini?

Siren's SongWhere stories live. Discover now