22. Hah? Apa Katanya?

88 28 36
                                    

Bab ini akan dibawakan oleh Elio dan Matthea. Selamat membaca 🏄

Oh, iya. Hampir lupa, bab ini akan mengungkap identitas si Penguntit. ヾ(≧∇≦*)ゝjangan lupa tinggalkan vote.

***

Elio.

Matthea pernah menyeretku pulang, saat aku pingsan di tengah jalan akibat kekeringan. Dia mengatakan bahwa merasakan sesuatu, perasaan tidak enak yang menuntunnya padaku. Kurasa sejak saat berbagi kutukan yang sama, kami jadi memiliki semacam keterikatan batin.

Seperti sekarang.

Tugas kelompok selesai seperempat jam yang lalu, dua temanku langsung pulang. Termasuk, Lynn. Anak itu bertingkah aneh semenjak kembali dari mengunjungi Matthea, apa jangan-jangan ditolak, ya? Bahkan dia diam saja saat kusenggol tangannya yang sedang menulis dengan sengaja, membuat tinta hitam melintang dari sisi ke sisi kertas kerjaannya.

Wajahnya kusut seperti baju habis dicuci dan ia sering sekali melamun. Lebih sering daripada berkedip. Saat kutanya apa itu karena Matthea, dia cuma menggeleng. Kelihatan sekali bohongnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara mereka, mungkin perasaan gelisah ini akan memberi jawaban.

Langkah kupelankan saat melihat sebuah mobil silver terparkir di depan gerbang. Mobil Selene. Perasaan tidak enak kembali menyeruak dan aku terbirit masuk.

"SEL? SEL?" Aku berseru-seru dari halaman. Tanpa melepas sepatu, aku langsung memasuki rumah. "SELENE?"

"Apaan, sih, teriak-teriak?" Selene muncul dari arah kamarnya. Ia memegangi handuk putih basah yang ditempelkan pada kening. Gadis itu meringis, menjauhkan handuknya. Kulihat benjol sebesar bola ping-pong berwarna merah menghiasi sudut dahinya.

"Ka-kamu kenapa?" Sepertinya aku tahu kenapa. Matthea tidak ada di rumah—dia tidak muncul, padahal aku teriak-teriak seperti orang gila dari depan—dan Selene terluka. Sudah pasti ini ada hubungannya, aku bertanya karena tidak tahu harus mengatakan apa.

Habislah sudah.

Tiba-tiba, aura di sekitar kami berubah. Aku sampai tanpa sadar mundur selangkah dan menelan ludah. Kutatap Selene yang kembali menempelkan handuknya ke kening dengan gerakan pelan yang mengerikan.

"Kita bicara," katanya kalem dan berjalan menuju ruang tengah. Aku tidak punya sofa, jadi kami sama-sama bersila di lantai dan berhadapan. Ada hal yang lebih kutakuti dari galaknya Selene kalau sedang marah, yakni marahnya dia dalam mode kalem.

Gadis berambut hitam di setelinga ini tidak menatapku. Matanya terpejam dengan kening mengernyit. Kutebak ia sedang fokus pada rasa sakit dari benjolnya itu. "Cerita semuanya, Elio." Hanya itu yang dia katakan.

Aku duduk dengan gelisah dan meringis. Berusaha mengubah topik dan berharap bahwa Selene belum tahu apa-apa. Mungkin saja dia menabrak dinding, 'kan? Terkejut karena melihat ada Matthea di rumah. Iya, pasti begitu. Kuharap begitu.

"Kamu harus berhenti datang tiba-tiba," kataku. Selene menatapku tajam seolah berkata, seriusan? Itu yang mau kamu bilang? Aku masih bertahan dengan wajah sok tenang. "Aku masih di sekolah tadi. Ngerjain tugas. Terus sekarang kamu di sini, benjol sebesar itu. Kok bisa?"

"Pertama," Selene meletakkan handuknya di atas paha dan bertopang dagu, "aku sudah mengabarimu kembarin, Elio. Aku bilang, jangan kunci rumah atau taruh kuncinya di bawah keset. Soalnya aku mau antar bahan makanan dari Papa sama Mama."

Oh, sial. Aku pasti lupa.

"Kedua," Selene menjeda. Membuat udara dan waktu seolah membeku di sekitar kami. Perasaan tidak enak dan menyebalkan itu merayap dari punggung ke tengkuk seperti seekor laba-laba. Pikiranku dipenuhi oleh Matthea juga tingkah aneh Lynn dan perasaan tidak enak serta dugaan bahwa Selene mengetahui sesuatu, berputar-putar dalam kepala.

Siren's SongWhere stories live. Discover now