17. Ayahku Pasti Tidak Waras

72 34 27
                                    

Ini baru banget ditulis. Karena aku tulis ulang. Bantu temukan tipo, ya. Selamat membaca (๑•̀ㅂ•́)و✧

Buat ancang-ancang, masih ingat sama cowok yang ngikutin Matthea dan manggil dia, putri? Dia muncul lagi di sini.

Tekan tombol vote.

***

Matthea.

Sulit untuk mendeskripsikan ibunya Lynn. Wanita bernama Sarah ini mengingatkanku dengan salah satu tokoh ibu peri ajaib dalam buku dongeng bergambar di rak baca Elio, yang membantu Cinderella pergi ke pesta dansa. Kehadirannya saja sudah membuatku merasa senang. Beliau berwajah mungil dengan kerutan penanda tua yang tidak bisa menyembunyikan betapa cantiknya dia saat seusia kami, tubuhnya lebih pendek dariku, berambut hitam yang dipangkas menyerupai laki-laki, kulitnya putih kemerahan, dengan mata cokelat yang berkilat-kilat penuh humor. Setiap kali dia tersenyum, aku bisa melihat sepasang cekung di pipi dekat bibirnya.

Sarah memancarkan kehangatan, keramahtamahan, dan berada di sekitarnya membuatku senyaman tinggal di dalam bak mandi Elio. Antusiasmenya menular dan dia bersikap seolah dirinya adalah ibu semura orang. Dia memanggilku, "Nak." Dan menggengam kedua tanganku lembut, meskipun telapak tangannya kasar. Manisnya. Angkat aku jadi anakmu, Bunda!

Kami sedang duduk berhadapan di ruang tengah rumah Lynn. Catnya berwarna salem, lantainya dilapisi karpet cokelat bermotif kuda yang lembut. Di tengah-tengah, ada meja persegi dengan taplak dan penghangat di bawahnya. Sebelah kananku ada lemari setinggi pinggang yang pintunya kaca. Ada beberapa pigura foto keluarga di dalamnya dan album-album tua. Elio bersandar di sana, sementara Lynn duduk dekat pintu masuk dengan buku sketsa. Ruangan ini beraroma kayu manis dan angin sepoi-sepoi berembus dari kipas berdiri di kiri Elio.

Aku sudah menceritakan semuanya, mulai dari pertemuan dengan Elio sampai ajakannya untuk menemui ibu Lynn. Aku tidak bercerita soal penguntit waktu itu, merasa bahwa ia tidak perlu mengetahuinya.

Sarah menatapku teduh, membuatku betah memandanginya juga. Walau sesekali ia kelihatan terkejut, apalagi saat kuceritakan bahwa aku dan Elio sama-sama separuh, ia dengan cepat kembali tersenyum. Saat kubilang, aku masih tidak bisa mengingat kehidupan lamaku juga betapa sakitnya kakiku ketika berjalan, dia mengelus tanganku dengan ibu jari sambil tersenyum.

"Itu memang tidak bisa dihindari, Sayangku. Saat pertama berubah sepertimu, Ibu juga merasakannya." Kata 'sayangku' masuk sampai ke hatiku yang paling dalam. Dia terus mengelus punggung tanganku. "Rasa sakit itu akan hilang nanti, pelan-pelan. Kalau tidak tahan, kamu bisa duduk. Tidak perlu memaksakan diri untuk berjalan."

Aku menggangguk patuh.

"Lalu, soal ingatan ... Ibu mendapatkan ingatan lama secara berangsur-angsur. Mula-mula kabur sekali, tidak jelas. Seiring berjalannya waktu, semakin kelihatan. Butuh waktu seminggu untuk mengembalikan ingatan dasar seperti ...." Dia bergumam panjang sambil menatap lantai, kemudian beralih padaku lagi, "darimana kita berasal, seperti apa wajah orang tua kita, siapa nama mereka. Hal-hal seperti itu. Lalu setelah dua minggu, tiga minggu, ingatan seperti: apa yang terjadi sebelum menjadi siren menghampiri. Keping ingatan tentang siapa diri kita, apa makanan favorit kita, lagu yang kita sukai, hobi macam apa, rutinitas yang dulu dilakukan. Kemudian setelah sebulan, dua bulan, kamu akan ingat pelajaran-pelajaran di sekolah dulu, juga teman-teman dan para sahabat." Dia menggenggam tanganku erat.

Kutatap tangan kami yang saling berpegangan dengan perasaan tidak enak. "Sudah hampir seminggu," kataku pelan. "Namun aku benar-benar tidak ingat apa pun."

"Semua orang punya waktunya masing-masing, Nak." Tangannya mengelus pipi kananku. "Mungkin ingatanmu akan muncul terlambat. Itu tidak masalah. Kami akan menemanimu sampai benar-benar ingat, ya." Kulihat Elio tersenyum dan mengangguk dari sudut mataku. Aku ikut tersenyum.

Siren's SongWhere stories live. Discover now