Janji

292 67 4
                                    

[Iksan, 18 September]

Udara sejuk menyebar, memeluk setiap insan dengan suhu dinginnya. Pepohonan mulai menguning, tanda musim gugur akan tiba sebentar lagi. Dua remaja dengan camilan ringan dimasing-masing genggaman mereka, tengah bersantai di kursi taman. Menyaksikan sepasang remaja lainnya, yang berada tak jauh dari mereka. Jihoon dan Jaehyuk, setia menonton Haruto dan Jeongwoo yang tengah asyik bercengkrama.

Pasalnya sejak memergoki sang adik yang baku hantam tempo hari lalu, Jihoon merasa harus mengawasi mereka. Dia tidak ingin Iksan mengalami kehancuran. Jika keduanya baku hantam di rumah, itu tak jadi masalah. Namun jika sudah berada di luar, maka akan sangat membahayakan ekosistem sekitar. Oleh karena itu, Jihoon mengajak Jaehyuk untuk mengawasi mereka.

"Ini gak berlebihan, kak?" Jaehyuk mengunyah snack-nya lesu. Lelah diseret Jihoon mengikuti Haruto dan Jeongwoo. Tidak tahukah Jihoon jika dalam pertemanan pun ada cemburunya. Ini sama saja dengan penyiksaan, bukan?

"Jae capek, lagian mereka akur-akur aja," keluh Jaehyuk.

"Sekarang akur, bentar lagi pasti perang dunia."

Jaehyuk berhenti mengunyah, bibirnya menekuk ke bawah. Mau perang atau tidak, pokoknya Jaehyuk ingin pulang. Malas berkeliaran saat udara menjadi semakin dingin. Jaehyuk menyambar lengan Jihoon, menggucang-guncangkannya. Dia menatap Jihoon seperti anak anjing, memohon agar si pemuda boba mengajaknya pulang saja.

"Kak Jihoon, ayo pulang saja," bujuk Jaehyuk sembari memelas.

"Ya sudah, iya." Jihoon mengiyakan. Mereka berdua berhenti jadi mata-mata, lantas pergi menuju penghunian.

Sedangkan di depan sana, di pinggir sebuah danau Haruto menyiramkan sedikit air kepada Jeongwoo dari belakang. Mengangkat si mata serigala lalu bertingkah seolah akan melemparnya ke danau, sembari sesekali menggelitiknya. Haruto menurunkan Jeongwoo secara mendadak ke tanah. Lantas berlari, menghindari amukan si mata serigala.

Keduanya saling berbagi cerita, bernostalgia sembari tertawa. Mereka ingat, empat tahun lalu di sinilah terakhir kalinya mereka bertemu. Sebelum Haruto pindah ke Fukuoka. Tidak disangka, sekarang mereka bisa ke sini lagi bersama. Bahkan setelah empat tahun, tempatnya tidak banyak berubah. Danaunya masih tetap indah dipandang mata.

"Haru, dingin." Jeongwoo menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

"Mau pulang?"

Jeongwoo mengangguk. Lantas bangkit dari duduknya. Haruto menggenggam si mata serigala, memasukkan tangan mereka ke saku jaketnya. Keduanya berjalan menyusuri kota, mencetak kembali kenangan yang dulu sempat mereka cipta. Jeongwoo memandang langit berhias kapas, berjalan sembari mendongkak ke atas. Dia tersenyum, bersyukur kepada Tuhan karena sekarang dia tak lagi berjalan bersama kekosongan. Kini, Haruto bersama dengannya.

Si jangkung mengeluarkan tangannya dari saku, lantas mengelus surai Jeongwoo. Memberinya isyarat agar tidak berjalan sembari mendongkak. Khawatir bisa tersandung. Haruto melirik rumah di sebelah kediaman Jeongwoo. Teringat masa ketika dia sempat tinggal di bangunan itu dulu. Sekarang tempatnya kosong, tetapi masih menjadi milik keluarganya. Haruto yang meminta ayahnya agar tidak menjualnya. Karena dimasa depan, Haruto ingin tinggal di sana. Berdekatan dengan sahabatnya.

"Ya ampun, kalian dari mana saja? Udaranya dingin sekali. Cepat hangatkan badan." titah nyonya Park, yang kebetulan sedang mengosongkan kotak surat.

Keduanya segera masuk ke bilik mereka. Haruto melucuti mantel yang dikenakan Jeongwoo, menggantinya dengan pakaian yang lebih hangat. Lantas pergi ke dapur, membuat secangkir teh hangat. Tak lupa membawa serta semangkuk bibimbap. Haruto harus memastikan Jeongwoo makan sebelum meminum obat.

"Ruto-ya." Jihoon menepuk si jangkung. Membuatnya terkejut dan hampir menumpahkan teh panas.

"Jangan beri adikku teh, obatnya tidak akan bekerja jika minum teh." Jihoon menukar teh dengan segelas air hangat biasa. "Dan ingat, jangan berbuat macam-macam dengan adikku," ujar Jihoon dengan mata tajamnya.

Haruto mengedip dua kali. Kenapa Jihoon berkata seperti itu padanya. Berbuat macam-macam, Haruto tidak pernah macam-macam dengan Jeongwoo seingatnya. Memangnya apa yang mereka lakukan. Dasar Jihoon, berkata sekenanya saja.

Haruto mengelus surai si mata serigala, mengantarnya untuk tidur setelah mencerna pil kimia. Sehari Jeongwoo dapat menelan tiga macam pil setiap enam jam sekali. Demi mempercepat proses penyembuhannya pasca operasi. Ya, sebulan yang lalu Jeongwoo mendapatkan transplantasi hati. Berkat Jaehyuk yang mencarikan pendonor dan membiayainya operasi. Si remaja Yoon rela menggunakan sebagian tabungannya demi menyambung hidup temannya. Tenang saja, Jaehyuk memang terlahir di keluarga kaya raya. Membiayai Jeongwoo operasi tidak jadi masalah baginya.

"Haru, kapan kamu akan kembali ke Jepang?" tanya Jeongwoo.

Haruto  berpikir sejenak, mengingat-ingat kapan dia harus berpulang. Haruto sedang libur panjang setelah ujian. Jika dihitung, Haruto hanya memiliki waktu sepuluh hari lagi untuk menginap di Iksan. Waktu yang nampak lama, tetapi terasa sangat singkat.

"Tanggal 29, tepat sehari setelah kamu berulang tahun," jawab Haruto.

Jeongwoo berbinar, jadi Haruto akan tetap bersamanya sampai hari kelahirannya. Sungguh kabar yang menyenangkan. Setelah empat tahun, akhirnya Jeongwoo bisa merayakan ulang tahunnya bersama Haruto. Membayangkannya saja Jeongwoo sudah sangat bahagia. Namun, setelah itu mereka akan kembali berpisah. Saling memendam kerinduan dalam jangka waktu yang panjang. Sangat disayangkan, Jeongwoo tidak bisa bersama dengan Haruto lebih lama.

"Haru, tidak bisakah kita bersama lebih lama?"

"Kamu mau ikut Haru ke Fukuoka, tidak?" Haruto malah balik bertanya.

Sebenarnya bisa saja si jangkung memboyong Jeongwoo ke Fukuoka. Namun, Haruto yakin jika keluarga Park pasti tidak akan mengizinkan-nya. Haruto juga tak ingin menjauh lagi dari sahabatnya.

Jeongwoo nampak menerawang, memikirkan pertanyaan Haruto barusan. Jika dia bisa, sejak dulu Jeongwoo pasti sudah pergi ke Fukuoka. Ikut bersama Haruto-nya. Namun keadaannya yang sering sakit-sakitan, pasti akan merepotkan keluarga Haruto nanti.

"Tidak, Jewoo di sini saja. Tidak apa-apa jika harus menunggu lagi," tutur Jeongwoo sembari menggeleng.

Haruto menghela nafas. Menarik Jeongwoo ke dalam pelukan. Dia agak kecewa, dengan keadaan yang selalu memisahkan mereka. Dalam jangka sepuluh hari, Haruto harus meninggalkan Jeongwoo-nya lagi. Jarak akan menyekat mereka kembali, menyiksa keduanya dengan kerinduan yang semakin menggunung tinggi.

"Tunggu Haru sebentar lagi ya, Jewoo. Setelah lulus sekolah nanti, Haru pasti akan kembali." Haruto menepuk pucuk kepala si mata serigala.

"Haru tidak akan meninggalkan Jewoo lagi, kan?"

Haruto mengangguk. Si jangkung membenahi surai di wajah Jeongwoo. Menatapnya lekat-lekat, mencetak setiap sudut wajah Jeongwoo dalam memorinya. Kemudian menjepit ujung hidung Jeongwoo berkali-kali. Sampai si mata serigala merenggut karena pengap.

"Janji?" Jeongwoo mengacungkan kelingkingnya.

"Eung, janji," ujar Haruto pasti. Keduanya saling menautkan kelingking. Menanam janji di dalam hati, untuk tidak saling meninggalkan lagi nanti.

Mentari bersembunyi, di balik awan yang tak lagi mampu membawa air. Gerimis terjun dari ketinggian. Mengetuk-ngetuk jendela kamar yang dihuni dua insan. Mengiringi keduanya, yang tengah larut dalam candaan. Memenuhi seisi kamar, dengan kehangatan yang mereka ciptakan.























–Surat untuk Fukuoka–























Jangan lupa Voment yaa (≧▽≦)

Surat untuk Fukuoka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang