24

67 21 0
                                    

Panca dan Anna bersahabat lama. Dan, selama itu pula mereka akur bahkan nyaris tidak terjadi pertentangan. Sebagai anak pribumi, Panca menaruh hormat pada Anna sebagai warga Eropa. Bahkan, untuk menyebut nama pun Panca jarang sekali melakukannya. Dia tetap paham bagaimana seharusnya bertatakrama di negeri Hindia Belanda.

Anna pun menghormati Panca sebagai seorang keturunan bangsawan. Di depan waga desa Pujasari, Anna sering memanggil kawannya itu dengan dibubuhi kara "raden". Meskipun mereka berkawan akrab, menghormati status sosial masing-masing menandakan jika mereka anak-anak remaja yang beradab. Sebagai anak-anak dari kelompok sosial yang disegani, Panca dan Anna tahu bagaimana membawa diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berdua tidak menjaga jarak dengan anak-anak yang lainnya. Itu pula yang membuat mereka berdua disenangi teman-temannya. Cara mereka berpakaian tidak terlalu mencolok, kecuali Anna yang lebih sering menggunakan gaun putih berenda. Meskipun orang-orang dewasa di sekitarnya begitu sering bertentangan dalama banyak hal, tetapi mereka bergaul layaknya anak-anak pada umumnya.

Kini, dunia anak-anak yang menyenangkan itu mulai berubah. Mereka mulai menginjak masa remaja. Secara tidak sengaja, mereka mulai berpikir seperti orang dewasa. Mereka mulai berpikir tentang kepentingan diri dan golongannya.

Sebagai orang pribumi, Panca tahu jika dia harus bisa membela kepentingan sesamanya. Sebaliknya, sebagai orang Eropa Anna pun harus membela kepentingan diri dan kelompoknya. Panca mulai paham jika bangsa Eropa datang ke Tanah Jawa demi menjajah dan menggerus potensi alamnya. Begitupun Anna, paham jika bangsa Eropa yang jumlahnya sedikit lama-lama terjepit diantara sekian banyak orang pribumi.

Perlahan, Anna mulai sulit menaruh kepercayaan kepada warga pribumi. Terlebih, ketika terjadi ancaman-ancaman pada diri dan keluarganya. Ketidakpercayaan Anna semakin memuncak ketika terjadi pencurian sekaligus penyerangan kepada Tuan Eickman. Jelas sekali _dari pakaian yang dikenakan_ jika pencuri itu adalah orang pribumi.

Rasa ketidakpercayaan Anna menjalar pada ketidakpercayaannya pada sahabatnya sendiri, Panca. Karena Panca orang pribumi maka diapun bukan orang yang layak dipercaya.

Kini, Panca merasakan ketidaknyamanan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Dia berdiri di tengah pasar sembari terus memandang Anna yang terus menjauh pergi. Hanya punggungnya dan ekor kuda tunggangannya yang terlihat diantara deretan toko-toko bertuliskan huruf Cina dan tulisan Melayu.

"Raden, kau baik-baik saja?" seseorang menepuk pundak Panca.

"Hei, ternyata kau. Aku baik-baik saja, A Ling."

"Tadi, aku mendengar ...."

"Ya, Anna kembali membuat keributan. Baru semalam aku bertemu dengan dia sudah 3 kali dia berkelahi."

"Tiga kali? Berarti semalam di rumah makan itu yang kedua kali?"

Panca menganggukan kepala.

"Ya, sudahlah mungkin dia ingin menyelesaikan urusannya sendiri."

"Kalau itu, aku paham. Tetapi, yang menyakitkan hatiku ... dia menuduhku berkomplot dengan pencuri di rumahnya."

"Benarkah?"

Panca menganggukan kepala. A Ling pun memasang wajah kaget, setengah tidak percaya.

"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan. Mungkin dia sedang lelah dengan masalahnya sendiri."

"Justru aku semakin penasaran, A Ling. Benda apa yang telah dicuri dari rumahnya? Sampai-sampai dia marah sekali padaku."

"Sejujurnya, aku juga penasaran kenapa dia datang ke Batavia sendirian. Urusan apa yang membawanya datang ke sini tanpa pengawalan?"

Panca menatap A Ling. A Ling hanya tersenyum kemudian berjalan menghampiri pedagang sayuran sebagaimana yang biasa dilakukannya setiap pagi.

Panca dan 3 Gadis TangguhWhere stories live. Discover now