XXXVI - Ketika Luka Bicara

592 38 4
                                    

Tak ada yang baik-baik saja ketika mereka harus dipisahkan dari orang yang mereka cinta.

💄💄💄


Pria berpakaian pasien yang tengah duduk di kursi roda sembari menyendiri di sebuah taman yang sepi itu nampak bersedih. Dirinya yakin tak ada yang tak sedih jika seseorang yang sangat kalian cintai akan menikah dengan orang lain. Terlebih hubungan keduanya cukup lama dan sudah banyak impian yang sudah mereka rangkai bersama.

“Kenapa kamu milih sama pak Heru, Bi? Kenapa? Apa ini akhir kisah kita? Apa kamu enggak mau sabar sebentar aja?” tanya pria itu lirih. Meskipun tahu tak akan pernah terdengar pada yang dituju, namun pria itu berharap jika orang yang dituju merasakan apa yang ia rasakan saat ini.

“Kak Zemi!”

Panggilan membuat pria tadi alias Zemi pun lantas menoleh ke sumber suara. “Gabriella, ngapain lo di sini?”

Gabriella, seseorang yang memanggil Zemi itu tersenyum tipis sembari melangkah mendekati Zemi, tak lupa di tangannya ada sebuah sweater berwarna hitam yang entah milik siapa.

“Kak Zemi lagi sakit, ngapain sendirian di sini?” tanya Gabriella sembari mendudukkan diri di kursi yang ada di samping kursi roda Zemi.

“Gue kurang darah bukan masuk angin, santai aja kali,” jawab Zemi santai tak seperti biasanya yang akan ketus.

Gabriella tertawa singkat. “Iya deh terserah. Tapi, aku denger katanya Kak Zemi berantem sama papa Zei, ya? Pipinya sampai merah tuh.”

Zemi sudah menduga hal ini pasti Gabriella akan membahas masalah itu. “Udahlah lupain aja.”

“Kak Zemi masih marah sama papa Zei dan mama Milla?” tanya Gabriella tak mau menyerah.

Zemi mengedikkan bahunya. “Entahlah. Gue ngerasa semuanya jahat sama gue. Gue cuman pengin hidup bahagia sama orang yang gue cinta, tapi rasanya begitu sulit.”

“Kebanyakan memang begitu, Kak. Itu namanya ujian, kalau berhasil dilewati sama-sama berarti kalian memang jodoh, tapi kalau enggak memang bukan jodoh, Kak.”

Gabriella menjeda ucapannya, gadis itu menatap lurus ke depan sana. “Tapi, kalau kita ikhlas nerima semuanya, aku yakin kok Allah pasti ngasih pengganti yang terbaik,” lanjutnya.

Zemi menatap Gabriella. “Gimana bisa gue ikhlas, Gab? Gue sama dia bahkan udah merangkai semuanya. Dia janji bakalan mau bertahan, tapi kenapa akhirnya gini?” lirihnya.

Gabriella menoleh ke arah Zemi dan kini keduanya saling adu netra masing-masing. “Aku tahu pasti ini berat, Kak. Tapi, kalau memang itu yang bisa bikin dia bahagia, kenapa kita enggak ikut bahagia? Bukannya kita akan bahagia tatkala orang yang kita cintai bahagia, meskipun bukan sama kita?”

Zemi menggeleng tak setuju. “Itu kalimat paling bullshit di dunia ini, Gab. Lucu aja kalau memang iya begitu.”

“Apa Kak Zemi enggak sedih karena udah bentak mama Milla?” Gabriella berusaha mengganti topik pembicaraan keduanya.

“Entahlah,” jawab Zemi seadanya.

“Kak Zemi ingat enggak sih waktu dulu mama Milla sering banget ngajarin Kak Zemi ngitung, baca, nulis, bahkan mama Milla rela nungguin Kak Zemi di sekolah sampai pulang. Ingat enggak?”

“Ingat, mana mungkin gue lupa. Meskipun sejak gue waktu SD, mama mulai sibuk lagi kerja.”

“Setidaknya Kak Zemi ngerasain disayang dan diajarin sama mama sendiri. Lah, aku? Jangan ngajarin semua hal, bunda sibuk kerja, begitupun ayah, tapi mereka nuntut supaya aku bisa pintar. Aku iri tahu sama Kak Zemi.”

Dosen Vs Boyfriend [ Complete ]Where stories live. Discover now