Bab 1

6 0 0
                                    

Jakarta, Januari 2019

From: Kania Waskita

Bu dosen, bisa kerahkan satu mahasiswanya untuk jam privat hari Sabtu atau Minggu di daerah Kuningan jam 10 pagi? Ada Businessman mau pergi ke Jerman nih.

Erika yang sedang membimbing mahasiswanya tertawa kecil ketika melihat pop up pesan Line muncul pada layar ponselnya.

Kania Waskita, teman sekaligus dokter amatirnya beberapa tahun lalu, mantan mahasiswa psikologi yang tiga tahun lalu baru menikah dengan pacar abadinya sedari SMP, yang drama cintanya bisa menghabiskan satu bungkus tisu Tessa tiga lapis dalam semalam, selalu tidak tahu diri memanggil sahabatnya itu 'Ibu dosen', padahal ia sendiri juga mengampu mata kuliah di kampus yang sama dengan Erika.

"Brian," panggil Erika pada mahasiswa yang tengah di bimbingnya itu.

"Ya Bu?" mahasiswa berhidung bangir itu menoleh pada Erika.

"Jadwalmu hari Sabtu atau Minggu kosong kan?"

Brian mengernyit sebentar, lalu mengangguk pelan, disertai dengan seringai yang perlahan muncul pada bibirnya. "Kosong Bu, kenapa? Mau ngajak saya kencan ya?" tanyanya riang, menggoda Erika.

Erika mengernyit, lalu mendorong lengan mahasiswanya itu. "Enak saja," ucapnya tidak terima. "Ada yang mau diprivatin nih, kamu mau handle nggak?"

Brian dengan cepat menggeleng. "Nggak ah Bu. Ibu kemarin kasih saya dua murid saja, saya keteteran ngurus materi lesnya. Capek Bu," tolaknya. "Tapi kalau mau diajak kencan sama Ibu sih saya mau saja." Ia menyeringai, lalu sukses dibalas dengan cubitan kecil di lengannya, dan ia meringis.

Brian adalah salah satu mahasiswa yang sangat dekat dengan Erika. Malah bisa dibilang, Brian adalah anak emasnya. Karena sifat Erika dan Brian yang sama-sama supel, mereka akhirnya mudah akrab. Beberapa orang yang meminta guru privat bahasa Jerman pada Erika pun, kebanyakan ia tawarkan pada Brian, karena merasa mahasiswanya itu sangat kredibel dalam hal ini.

"Ya sudah saya cari mahasiswa lain saja."

Brian mengangguk. "Maaf ya Bu, saya lagi pengen ngebut sama ini soalnya," timpalnya sambil menunjuk bundelan revisi skripsinya yang penuh dengan coretan merah. Erika memang dosen baik, paling ramah dan dekat dengan mahasiswa, tapi telitinya sudah kaya Hitler di zaman Nazi.

"Nggak apa-apa, santai saja," balas Erika maklum. Ia tidak mau membebani Brian untuk melakukan banyak hal, karena bagaimanapun juga ia mendukung penuh Brian untuk bisa lulus secepatnya tanpa harus berlama-lama. "Ya sudah, sampai sini saja bimbingannya. Ingat minggu depan saya tunggu hasil analisismu ya."

Brian mengangguk lagi, lalu mengemasi barang-barangnya di atas meja, yang kebanyakan adalah buku teori, sambil lalu berdiri dan mohon pamit pada Erika.

Ketika mahasiswa itu telah menghilang di balik pintu, Erika meraih ponselnya, lalu membuka pesan dari Kania dan membalasnya. Sebelum sempat ia menolak membantu temannya itu mencarikan guru, tiba-tiba satu hal terbersit dalam pikirannya, ia kemudian menghapus baris kalimat yang ia ketik sebelumnya, dan menuliskan lagi kalimat lain.

Stok mahasiswa kredibel makin tipis nih. Kalau gue aja yang ngajar nggak apa-apa?

Tidak lama kemudian, muncul lagi balasan dari Kania.

Wah boleh banget. Dia orangnya rada perfeksionis begitu sih, jadi kalau lu yang ngajar gue percaya deh.

Senyum mengembang di wajah Erika. Ia tiba-tiba saja rindu masa-masa seperti ini, ketika ia masih sering menjadi guru privat bahasa Jerman untuk menambah-nambah uang saku ketika masih menjadi mahasiswa dulu.

a Letter from HomeWhere stories live. Discover now