Bab 7

4 0 0
                                    

Siang ini Erika harus makan sendiri di kampus. Kania mendadak punya janji dengan teman satu fakultasnya dulu yang katanya penting dan tidak bisa ditinggal. Erika tidak tahu menahu hal apa yang tengah diurus oleh sahabatnya itu. Tapi bukan Kania namanya kalau tidak punya banyak urusan.

Sahabatnya itu dan suaminya entah kenapa selalu punya banyak sekali agenda yang harus mereka lakukan. Kania sendiri tidak jarang sulit ditemui di kampus setiap kali ia selesai mengajar karena mengurus hal lain. Terakhir kali ia dengar, Kania sedang ingin mencomblangkan saudaranya Juna dengan seseorang.

Kata Kania, suaminya secara tidak formal bekerja sebagai asisten sepupunya. Apa yang sepupunya itu butuhkan, ia selalu meminta bantuan pada Juna. Alasannya, tidak ada orang lain yang sepupunya itu percaya dengan baik selain dari Juna.

Erika mendesah pelan. Ia baru sadar, saking dekatnya dengan Kania, ia bahkan sudah bisa mengerti hubungan suami sahabatnya itu dengan keluarganya. Sesuatu yang tidak penting untuk ia ketahui.

Erika membuka kotak makanan yang ia pesan dari mas Jajat, petugas kebersihan gedung, yang menawarinya untuk membeli makan siang tadi. Menu hari ini nasi dengan rolade daging saus padang dan capcay udang. Ia memutuskan untuk makan siang di mejanya, bersama beberapa dosen lain.

"Bu Eri, hari ini makan di kantor?" tanya seorang dosen wanita yang usianya cukup tua, dengan ramah pada Erika.

Namanya Bu Winda, dosen jurusan yang ahli di bidang sejarah dan filsafat. Beliau juga merupakan dosen Erika ketika masih mengenyam pendidikan S1 di jurusan ini beberapa tahun lalu, yang juga merupakan ibunda dari almarhumah teman satu angkatannya, Sintia.

Erika mengangguk sambil tersenyum. "Iya Bu, mari makan," jawabnya.

Bu Winda mengangguk, sambil lalu mengambil kotak bekal makannya, sambil kemudian membukanya dan menyodorkannya pada Erika. "Saya buat cake kemarin, silakan ambil buat cuci mulutnya nanti," tawar bu Winda.

"Makasih banyak, Bu. Ibu dari dulu tetap rajin bikin kue-kuean ya. Padahal kalau saya tiap pulang ngajar sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi di rumah," ucap Erika sambil mengambil satu potong kue yang ditawarkan padanya.

"Ya bedalah. Kamu kan masih muda, masih banyak kegiatan yang kamu ampu di kampus. Kalau saya sih cuma ngajar pulang saja."

Erika mengangguk setuju. Karena sekalipun belum terlalu tua, setelah kematian Sintia, yang Erika tahu bu Winda memutuskan untuk mengurangi beban kerjanya di kampus. Bahkan sempat terdengar kabar bahwa ia pernah memutuskan untuk pensiun dini. Sedikit disayangkan karena bu Winda adalah seorang dosen senior yang sudah benar-benar mantap di bidangnya. Selain dari kemampuan mengajar bahasa Jermannya yang baik, ia juga dosen yang paling kapabel di bidang filsafat. Rasanya, kalau memang suatu saat beliau harus berhenti, agak sedikit susah mencari pengganti yang setara kemampuannya dengan beliau.

Fakta lain kenapa dosen muda sepertinya memiliki banyak kegiatan yang harus dilakukan tak lain adalah karena ia tidak bisa sepenuhnya hanya bergantung pada gajinya mengajar, terlebih ia masih punya cicilan rumah yang harus ia bayar untuk beberapa tahun ke depan.

Terlebih jika Erika harus membandingkan dirinya dengan beberapa kolega perempuannya yang sudah menikah, Erika benar-benar harus bekerja keras. Hampir semua kolega perempuannya sesama dosen bersuami pria mapan. Dari mulai dokter, arsitek sampai pengusaha. Dan Erika sendiri, jangankan bermimpi menikah dengan seorang pria kaya, untuk bisa menikah pun, dirinya sedikit pesimis.

"Kapan-kapan mainlah ke rumah saya," ucap bu Winda membuyarkan lamunan Erika. "Kerja terus tiap hari juga bisa bikin pusing loh. Nanti saya ajari bikin kue," lanjutnya lagi.

"Iya, kapan-kapan saya main deh ke rumah ibu," balas Erika lagi kemudian.

Bu Winda kemudian kembali ke mejanya, dan Erika melanjutkan makannya.

a Letter from HomeΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα