Bab 4

4 0 0
                                    

"Mbak Erika!"

Seseorang memanggil Erika dari belakang ketika ia sudah sampai di lobi gedung. Erika menoleh. Ia mendapati Aruna tengah berjalan setengah berlari ke arahnya.

"Saya nggak enak karena nggak bayar uang transpornya," ucap Aruna sedikit ngos-ngosan. "Saya antar pulang saja, nggak apa-apa?"

"Eh, nggak usah Pak. Saya nggak mau ngerepotin."

Aruna menggeleng cepat. "Nggak ngerepotin kok. Kebetulan juga hari ini saya mau ke rumah teman. Dia tinggal di Pulo Mas juga."

Erika mengangguk mengerti. "Tapi sayangnya sekarang saya nggak langsung pulang Pak. Saya mau jemput Bapak saya di Stasiun," tolaknya.

Aruna membulatkan mulutnya sambil bergumam, "Oh" pelan.

"Maaf ya Pak. Terima kasih sudah ditawari." Ucap Erika lagi, lalu kembali berbalik. Meninggalkan Aruna yang masih diam berdiri di tempatnya.

Erika tidak ingin terlalu lama berduaan dengan Aruna. Ia tahu Aruna tidak menyukainya hanya karena alasan yang cukup sepele. Dan Erika juga tidak ingin meluruskan masalahnya, karena ia mulai sadar akan ucapan Kania yang menyebut pria itu menyebalkan. And indeed he is. Ia merasa tidak ada ruginya dipandang jelek oleh orang yang curigaan.

Drrt, drrt. Ponsel Erika tiba-tiba saja bergetar ketika gadis itu melangkahkan kakinya keluar gedung. Aruna yang masih melihat kepergiannya dari belakang terus memperhatikan gerak-gerik Erika, sampai kemudian ia sedikit terentak ketika melihat Erika yang tiba-tiba saja terjatuh dari posisinya berdiri tadi.

Aruna segera berlari menghampiri Erika, dan menepuk pundaknya. "Mbak, kenapa? Nggak apa-apa kan Mbak?" tanya Aruna sambil kemudian membantu Erika berdiri.

Erika yang semula sedikit tidak fokus, dengan cepat mengangguk sambil tersenyum. "Saya nggak apa-apa kok Pak, tadi saya sedikit tergelincir," timpalnya berkilah.

Aruna hanya mengangguk saja, sekalipun ia tahu bahwa sepertinya Erika berbohong. Ia bisa melihat kedua tangan Erika yang bergetar, dan meremas ujung blusnya. Namun Aruna tidak berani untuk terus bertanya, karena ia sadar dirinya tidak berhak ikut campur urusan orang lain.

"Ehm, Pak?" ucap Erika kemudian, membuat Aruna yang masih memegang pundaknya menoleh menatap Erika. "Bapak jadi ke rumah teman Bapak? Saya boleh ikut? Bapak saya ternyata sudah sampai di rumah, beliau diantar kakak ipar saya," ucapnya dengan suara yang sedikit tercekat.

Perlahan senyum Aruna mengembang. "Boleh Mbak. Mbak tunggu di sini saja dulu ya, saya ambil mobil saya dulu di basement," ucap Aruna.

Erika mengangguk, dan Aruna pergi meninggalkan Erika di tempat itu sendirian.

Bulir-bulir keringat mulai muncul pada wajah Erika. Ia merasakan tengkuknya sendiri mulai membasah, dan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Beberapa menit lalu Bapaknya menelepon, memberitahunya bahwa ia sudah sampai di depan rumah Erika bersama dengan Sarah, kakak iparnya.

Erika tidak pernah bisa bersikap biasa terhadap Sarah. Bukan karena ia membenci wanita itu, melainkan karena setiap kali ia melihat Sarah, ia kembali mengingat kejadian buruk yang pernah menimpanya beberapa tahun lalu, yang sampai sekarang kadang masih sering menghantui hidupnya.

Tin tiin! Bunyi klakson mobil memecah lamunannya. Erika menoleh ke arah kanan, dan mendapati Aruna tengah melambai pada dirinya dari dalam Range Rover yang dikemudikannya. "Ayo masuk," ucap Aruna. Erika mengangguk pelan, sambil kemudian berjalan menghampiri mobil Aruna, dan duduk bersebelahan dengan Aruna.

"Makasih banyak Pak, saya diantar pulang," ucap Erika basa-basi.

Aruna mengangguk.

Sekalipun hanya basa-basi, Erika benar-benar berterima kasih pada Aruna. Bukan karena tumpangan gratis yang ditawarkan pria itu, melainkan karena Erika sendiri tidak yakin jika ia harus pulang menggunakan kendaraan umum. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, seperti mengobrol dengan seseorang contohnya.

***

"Saya dengar dari Kania, Bapak mau ngembangin bisnis di Jerman, makanya mau belajar bahasa Jerman. Betul begitu Pak?" tanya Kania di tengah perjalanannya pulang ke rumah.

Aruna menoleh sebentar menatap Erika sambil memasang senyum. "Ya, sebenarnya sudah ada wacana dari tiga tahun lalu, tapi baru terealisasikannya tahun ini. Maklum, banyak banget yang mesti diurusnya, nggak bisa asal pergi kan," jawab Aruna sambil terus fokus menyetir.

"Tinggal di kota mana Pak?" tanya Erika lagi.

"Di Munich. Gedung kantor di daerah situ juga soalnya."

Erika mengangguk-angguk. Ia bingung tidak tahu harus menimpali apalagi, karena memang pada dasarnya Erika bukan orang yang mudah bergaul dengan orang baru.

"Mbak pernah ke Munich?" tanya Aruna kemudian.

Erika mengangguk. "Saya dulu ambil program master saya di Uni München Pak, tiga tahun setengah tinggal di sana. Tahun lalu juga ada workshop di sana," jawab Erika.

"Wah, sudah hafal tempat-tempat bagus di sana juga dong ya? Boleh dong Mbak, nanti rekomendasiin saya tempat-tempat bagusnya," jawab Aruna sambil tersenyum.

Erika menoleh sebentar, dan membalas senyum Aruna. "Bisa Pak, hehe," jawabnya.

"Omong-omong, Mbak ini kan dosen, kok mau-maunya ngajarin saya privat begini?" tanya Aruna lagi.

"Kebetulan saya baru selesai ngerjain penelitian buat jurnal, jadwal saya untuk beberapa bulan ke depan rada senggang, rasanya saya kangen masa-masa kuliah dulu, pas saya sering ngajarin privat orang lain. Tapi bukan berarti saya nggak serius ngajar Bapak loh ya," jawab Erika lagi.

"Oh begitu, saya beruntung dong ya dapat tutor yang sudah ahlinya."

Erika tidak membalas, hanya tersenyum. Sebenarnya masih ada alasan lain yang menjadi alasan mengapa ia mau melakukan hal lain padahal jadwalnya di kampus sendiri cukup padat, tapi ia ragu untuk mengatakannya.

Tidak terasa mereka berdua kini sudah mulai memasuki gerbang perumahan di mana Erika tinggal. Aruna yang sesekali menoleh pada Erika, mendapati wajah gadis itu menjadi semakin gelisah. Tangannya kembali meremas-remah ujung blusnya dan terkadang memain-mainkan kuku jemarinya.

"Rumah saya yang di depan itu Pak, yang ada fortuner parkir di depannya," ucap Erika lagi sambil menunjuk sebuah rumah berpagar hitam.

Aruna mengangguk, lalu menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang ditunjuk oleh Erika. "Sudah sampai," ucap Aruna.

Erika tersenyum kaku sambil mengangguk. "Terima kasih, masuk dulu Pak, saya sediakan minum," ajak Erika pada Aruna.

Aruna tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Makasih Mbak, lain kali saja, lagi pula saya masih harus pergi ke rumah teman saya," jawabnya.

"Oh begitu ya?" timpal Erika sedikit kecewa, ia lalu meraih ponselnya yang semula ia taruh di atas dasbor mobil, memasukkannya ke dalam tas, lalu berkata, "Kalau begitu, saya tinggal ya Pak, sampai ketemu minggu depan," ucap Erika lagi, lalu menarik pegangan pintu mobil untuk membukanya, namun gagal karena tangannya lemas dan masih gemetar.

Aruna menatap Erika dengan pandangan penuh tanda tanya. Ia kemudian mematikan mesin mobilnya, dan keluar dari mobil. Ia berjalan memutar ke arah kanan, lalu membukakan Erika pintu. "Saya mampir sebentar deh, nggak apa-apa kan? Sepertinya teman saya juga masih di jalan," ucap Aruna kemudian, karena merasa kasihan pada Erika yang sepertinya tengah membutuhkan bantuannya.

Erika menyunggingkan senyumnya, dan memasang wajah yang terlihat lega. "Tentu, Pak, mari," ajak Erika pada Aruna. Keduanya lalu memasuki gerbang. []

***

a Letter from HomeWhere stories live. Discover now