EKADASA - (PURNACANDRA)

3K 410 60
                                    

"Langitnya bagus. Makan di luar yuk?"

Gadis itu melirik keluar jendela yang ada disebelah meja belajarnya. Lalu pandangannya jatuh pada binder penuh coretan inti dari materi kuliahnya tadi siang.

"Mau tidak?" gadis itu menggeleng.

Lama berdiam, tak ada yang memulai berbicara, "Gue nanya loh, di jawab. Mau tidak?"

Gadis itu menggeleng, lalu mengangkat telponnya yang sedang dalam panggilan. Ia dekatkan pada bibirnya, "Nggak mau, Ji, banyak tugas yang musti gue kerjain. Kapan-kapan aja ya?"

Aji menghela nafas berat setelah menjauhkan ponselnya saat Amerta menolak lagi ajakan makan nya diluar.

Ini sudah hari ke 13 sejak kejadian Madja kecelakaan. Sejak itu pula Amerta semakin menutup diri.

Kegiatan di kampus semakin monoton. Datang, duduk, pulang. Malam nya mengerjakan tugas, lalu tidur. Amerta bahkan membatasi mengobrol dengan teman-temannya di kampus. Bahkan Anggit pun tidak terkecuali.

Amerta bersedih perihal Madja, tapi satu lingkup ia bentengi. Aji berusaha menghibur, tapi Amerta menolak kehadirannya.

Jika bukan karena tugas, mungkin panggilan Aji tak akan di angkatnya.

Amerta kacau. Ia sedih, tapi Gama melarangnya menemui Madja yang sedang di opname dengan jarak tak lebih dari 2 kilometer dari tempatnya sekarang berada.

Amerta sepatuh itu akan perintah Gama. Walau ia bisa saja menemui Madja tanpa diketahui Gama. Tapi Amerta terlalu naif untuk melanggar.

"Ji, udah ya telpon nya? Makasih udah mau bantuin ngerjain tugasnya. Gue tutup ya?"

Bahkan jari Amerta lebih gesit di banding bibir Aji yang ingin mengucapkan selamat malam.

"Lo ngapa sih, Ta? Secinta itu lo sama Madja?"

Ponselnya menjadi tempat pelampiasan dengan cara di banting, "AAARRGH!"

Ponselnya menjadi tempat pelampiasan dengan cara di banting, "AAARRGH!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kaki jenjang Anggit menyusuri lorong utama. Celah pintu kamar Amerta menjadi cahaya satu-satunya saat lampu tak menyala.

Anggit menarik knop nya. Namun tangannya berhenti saat melihat Amerta duduk menghadap jendela. Matanya menyapu seluruh kamar, rapi.

Setidaknya walau Amerta galau akan Madja, ia masih mampu merawat diri dan keadaannya.

"Amerta"

Yang punya nama hanya bergumam, "Makan yuk?"

Amerta menggeleng, lalu membalikan badannya. Matanya jatuh pada kantung plastik yang dibawa temannya.

"Duluan aja" Anggit melirik barang bawaannya.

"Gue ngajak lo makan diluar."

Amerta menggeleng dan kembali pada posisi yang tadi. Menatap keluar, lebih tepatnya pada bulan purnama.

AMERTAWhere stories live. Discover now