Pemuja Rahasia

16.5K 1.4K 40
                                    

Rasanya sudah seratus abad berlalu sejak terakhir kali kami berempat menghabiskan waktu di koridor depan kelas IPS. Kami biasanya punya waktu istirahat yang agak lama setelah upacara hari Senin. Lisa mengajak, atau lebih tepatnya menggeret aku, Rian dan Mia untuk menemaninya di bangku di bawah pohon kersen sebelum dihuni oleh murid lain. 

Yang berbeda, kali ini Serina ikut bergabung bersama kami dengan buku Biologi yang ada dipelukannya. Anak berkacamata itu lebih banyak membaca daripada mengikuti percakapan kami.

"Aku kayaknya mau putus sama Brendo," Lisa mengawali sesi curhatnya.

Aku melirik Rian yang tidak menunjukkan wajah terkejut sama sekali. Aku yakin ekspresi yang sama juga terlukis di wajahku.

"Kenapa?" kalau ada penghargaan teman paling peduli di circle kita pasti pemenangnya Mia. Aku dan Rian sudah kenyang mendengar dengan jawaban 'kenapa' dari pengalaman curhat Lisa sampai kami terlalu bosan untuk menanggapi.

Sambil memetik bunga-bunga kersen di pohon,  Lisa berjalan mondar-mandir di depan kami. "Dia suka marah-marah kalau aku pakai baju yang ketat dikit."

"Kayaknya udah pernah, alasan itu," timpal Rian, menyuarakan isi pikiranku juga. Rian mengambil gitar yang ia pinjam dari kelas IPS dan berkonsentrasi memetik senarnya dengan irama yang tidak familiar.

"Paling besoknya udah nyambung lagi," tambahku.

Lisa membuang bunganya dengan gusar. Ia tidak menjawab cukup lama. Pandangannya tertuju ke depan, jauh di bangunan seberang lapangan. Aku mengikuti pandangannya dan menyadari objek penelitiannya. Rupanya, Lisa memulai kembali kebiasaan memantau guru kesukaannya. Siapa lagi kalau bukan Pak Sadewa.

Berkat dia, aku jadi ikut terhanyut dalam pikiranku sendiri. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kualami Sabtu kemarin. Apa aku berhalusinasi? Masalahnya, aku tidak mendapat kabar apapun dari beliau di hari Minggu. Aku ingin bertanya duluan, tapi kurasa aku tidak akan mendapatkan respon. Pesan kangenku saja dulu tidak pernah dibalas. Jangan harap mendapat pertanyaan-pertanyaan khas orang pacaran seperti 'Sudah makan? Sudah minum? Sudah mandi? Sudah tidur?'

Apa kejadian itu sebenarnya terjadi di mimpiku saja ya?

"Lagian kamu sama Brendo udah berapa bulan? Setahun kan ya?" pertanyaan Rian mengembalikanku dari pikiranku.

"Sepuluh bulan," jawab Lisa, yang kini malah jadi lesu.

"Sepuluh bulan, putusnya tiap bulan dua kali," aku mencoba bercanda.

"Berarti 30 hari dikurangi setidaknya seminggu terus baru dikali sepuluh," balas Mia.

"Berapa, Rin?" aku menyenggol Serina yang masih sibuk dengan bukunya, sekadar mengajaknya berinteraksi.

"230. Gitu aja nggak tahu," Rian tertawa mendengar komentar pedas Serina.

Tiba-tiba Lisa berdiri lagi, "Tapi ... aku lagi dekat sama orang lain. Terus pas orang itu tahu kalau aku sama Brendo, dia jadi menjauh."

"Siapa nih?" tanya Rian, seraya menaruh gitarnya, yang langsung diambil oleh Mia. Gadis berhijab itu memainkan satu-satu lagu yang kuncinya ia baru ia pelajari. To The Bone – Pamungkas.

"Ada, adik kelas," Lisa mengibaskan tangannya. "Anak paskibra juga."

"Kalian kok jadi pada sama berondong sih," protes Rian. "Pertama, Mia. Sekarang kamu?"

Lisa terdiam lagi. Baru kali ini aku melihat Lisa gelisah. Tidak pernah sebelumnya dia seragu itu terhadap hubungannya dengan Brendo. Kalau sedang marahan, dia tidak ragu untuk minta putus. Mungkin karena dia tahu mereka akan kembali pada satu sama lain. Mungkin kali ini berbeda.

Distorsi Kuasa ✔️Where stories live. Discover now