Rehabilitasi

16.2K 1.3K 47
                                    

"Cuma kesal."

"Karena?"

Karena kamu terlalu tinggi untukku. Karena banyak orang lain yang juga menginginkanmu.

Apa aku childish kalau mengatakan hal itu?

Aku memilih memulai dengan masalah paling penting, kurangnya komunikasi di antara kita. "Karena aku saja nggak pernah nelfon Bapak."

Pak Sadewa menatapku heran, "Tidak ada yang melarang kan?"

Jadi ini salahku sekarang? "Masa harus aku yang duluan memulai."

"Kalau saya, lebih suka bertemu langsung," aku kesal karena di saat begini bisa-bisanya beliau tersenyum tenang.

"Memangnya nggak kangen?"

"Kangennya setiap detik." Aku menatapnya tidak percaya. "Kalau kamu tahu seberapa besar saya harus menahan diri..."

"Kenapa harus ditahan?" sergahku.

"Nanti kamu sendiri yang takut sama saya." Tidak benar. Aku mempercayai Pak Sadewa sepenuh hati. Dari seminggu kami menjalani hubungan ini, bahkan sebulan aku mengenal beliau secara personal, tidak pernah aku merasa takut menghadapi beliau. Pak Sadewa bisa menerima penolakan. Aku berani berkata tidak untuk hal-hal yang tidak kusukai. Aku tidak pernah takut mengutarakan pendapatku. Yang aku takutkan, meminta lebih dari beliau.

"Aku lebih takut membuat bapak tidak nyaman."

Pak Sadewa memiringkan kepalanya, "Seperti contohnya?"

Aku mengalihkan pandanganku, mendaftarkan terlalu banyak hal-hal yang masuk dalam kategori itu. "Bapak kan orangnya tertutup. Aku takut mengganggu, takut bertanya hal-hal yang melanggar batas."

"Wulan," ia menggenggam tanganku membuat pandanganku kembali padanya. Senyumnya masih tidak luntur sejak tadi. "Kunci mobil saya saja saya berani kasih ke kamu. Apapun yang kamu minta, kamu tanyakan, akan saya kasih."

Aku memberenggut, "Bukan begitu. Kunci mobil kan benda material."

"Tapi menyimbolkan kepercayaan saya."

Kali ini aku yang kalah berdebat.

"Apa yang kamu ingin tanyakan?" Ia bersandar makin mendekat, tangannya terulur mengelus pipiku sesekali. "Jangan sungkan, saya bukan orang lain."

Aku memulai dengan yang terakhir kali ada di kepalaku. "Sama Miss Fani, memang dekat ya?"

"Teman dekat," ia mengangguk. "Mungkin karena jarak umurnya yang paling dekat. Paling nyambung di antara guru lain."

"Tapi sering main ke rumahnya?"

"Tidak sering, cuma kalau dimintai tolong sesuatu."

"Kalau Miss Fani sering ke rumah bapak?"

Ia menggeleng. "Miss Fani tidak tahu rumah saya."

Aku menghela napas lega. Setidaknya, mereka tidak sedekat itu.

"Memangnya rumah bapak di mana?"

Senyumnya berubah menjadi terlalu lebar untuk pertanyaan yang termasuk mudah. "Jalan Mandiri. Kapan-kapan saya ajak ke rumah."

"Jalan Mandiri dekat dong dengan sekolah?" selama ini kalau beliau mengantar pulang aku yang rumahnya cukup jauh dari sekolah, berarti sangat menghabiskan waktu sekali.

"Memang."

Hatiku menjadi berat lagi. "Aku nyusahin bapak ya?"

"Saya yang nyusahin kamu."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang