21. For a Moment, With You

905 191 88
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Lia berusaha mengendalikan perasaannya saat ini. Rumah mereka yang dulu, kini saat Lia kembali menapakkan kaki, rasanya senang. Tapi Lia berusaha menahan perasaannya yang meluap-luap. Lia tidak ingin hilang kendali.

“Mau ngomong apa? Langsung aja, aku nggak ada waktu. Harus cepat pulang soalnya anak-anak nanti nungguin,” ujar Lia to the point.

“Maaf karena aku bohong. Aku nggak mau ngomong apa-apa, aku cuma kangen, bener-bener kangen dan pengen kamu di sini walaupun sebentar.” Nathan meraih tangan kiri Lia dan menggenggamnya. Bahkan kini Nathan beringsut ke samping Lia dan menyandarkan kepalanya di pundak Lia.

“Nat..” Lia berusaha melepaskan genggaman tangan Nathan tapi tidak bisa.

Please, sebentar aja. Aku pengen tidur nyenyak sebentar aja. Selama sebulan terakhir ini, aku nggak bisa tidur nyenyak. Jangankan di luar, di rumah ini aja aku nggak bisa tidur.” Nathan bergumam pelan dan menyamankan dirinya di samping Lia sambil mengeratkan genggaman tangannya.

Tatapan Lia tertuju pada cincin pernikahan mereka yang masih dipakai oleh Nathan. Dia kemudian menolah dan menatap Nathan yang sudah menutup matanya.

“Kenapa masih pakai cincinnya? Emangnya pacar kamu nggak marah?” tanya Lia dengan pelan, lebih seperti gumaman.

“Aku.. Aku brengsek banget ya, jahat ya? Aku bahkan nggak sadar seberapa sakit yang udah aku kasih ke kamu sampai kamu jadiin rasa sakit itu hal yang biasa sekarang. Dengan mudahnya kamu bahas Elena di depanku, dengan wajah tenang, yang bahkan aku sendiri nggak bisa simpulkan apakah kamu merasa baik-baik aja atau sakit saking tenangnya,” gumam Nathan dalam tidurnya.

“Dari awal kita saling kenal, di situ kamu udah ngasih aku rasa sakit. Waktu itu kamu emang nerima perjodohannya tapi wajahmu nggak bisa bohong dan aku ngerasa sedih. Sepanjang perjalanan hidup kita, nggak ada bahagia yang benar-benar bahagia sampai akhirnya aku punya si kembar. Satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan sampai sejauh ini. Sekarang, aku udah terbiasa, Nat. Bahkan aku nggak bisa bedain mana sakit dan mana bahagia. Sakit, aku nangis. Bahagia juga kadang aku sampai nangis,” ujar Lia pelan, dia dapat merasakan kedua tangan Nathan kini menggenggam tangannya.

“Aku udah sampai pada tahap di mana aku mengikhlaskan kamu untuk bersama orang lain. Karena aku sadar, semakin aku menginginkanmu, kamu kayaknya akan semakin tersiksa. Aku pun tersiksa. Kalau kita bersama lebih lama, tanpa sadar kita hanya akan saling menyakiti. Mungkin ini jalan terbaik yaitu berpisah. Berat memang karena anak-anak jadi korbannya tapi itu jalan satu-satunya supaya kita bisa bahagia dengan pilihan kita masing-masing,” lanjut Lia yang langsung membuat Nathan ingin menangis.

Nathan tidak menimpali, dia memilih diam. Ucapan Lia membuatnya tertampar. Dia merasa menjadi orang yang paling jahat di dunia ini. Merasa Lia tidak membutuhkannya lagi saat ini.

Cukup lama mereka berada dalam posisi itu— yaitu Nathan menggenggam tangan Lia seraya menyandarkan kepalanya di pundak Lia, hingga akhirnya dering ponsel milik Lia membuat Lia membuka mata. Ternyata, Lia juga sempat terlelap.

Ada panggilan dari Jian dan Lia langsung mengangkatnya. Tatapan Lia sempat tertuju pada jam, ternyata sudah pukul delapan malam.

“Iya, nak?” jawab Lia pelan.

“Mama di mana? Kenapa belum pulang sampai sekarang?”

“Maaf ya, Mama lupa ngabarin kalau Mama lagi ada urusan. Sebentar lagi pulang. Kamu udah makan malem?”

DANDELION [JAELIA✔️]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt