Prolog

100K 6.8K 85
                                    

"Sekarang kerja dimana?"

Gladys menahan dirinya untuk tidak memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan dari Dena, temannya saat SMA, yang saat ini tengah duduk di seberangnya.

"Dia kan keluarganya tajir, gak perlu kerja juga, hidupnya nggak bakal susah." Suara sumbang lain menimpali. Jolly.

"Iyalah, gak kayak kita yang jadi budak korporat." Nada sinis sangat kental saat Wina mengatakan itu. "Dia ongkang-ongkang kaki juga dompetnya pasti tebel terus," lanjutnya dengan tatapan meremehkan.

"Udah berapa tahun sih gak kerja? Gak bosen di rumah terus?" tanya Cinda dengan mencemooh.

Teman-teman yang lain menanggapi dengan tertawa cekikikan.

Gladys yang mendengar penuturan dari teman-teman SMA-nya hanya bisa menahan dirinya agar tidak terbawa emosi. Ia memperhatikan satu persatu wajah teman-temannya. Entahlah mereka masih bisa dikatakan teman atau tidak. Selama ini mereka mau dekat dengan Gladys karena kepopuleran dan uang miliknya saja. Mereka lebih pantas disebut penjilat daripada teman.

Reuni sekolah memang hal yang selalu ia hindari dari dulu. Tapi ia ingin mencoba sekali untuk ikut acara yang sama sekali gak bermutu ini. Acara reuni yang menjadi ajang perlombaan dalam segi pencapaian karir dan percintaan. Sepertinya pilihannya untuk hadir di acara ini sangat salah. Lebih baik, tadi ia bergelung saja di dalam selimut yang bisa membawanya ke alam mimpi indah. Daripada ia harus mendengarkan suara-suara sumbang yang iri dengan kekayaan keluarganya.

Tiga tahun setelah lulus kuliah, Gladys memang tidak bekerja seperti teman-temannya yang lain. Semua pada sibuk memasukkan lamaran pekerjaan sana-sini, ia hanya sibuk menghabiskan uang orang tuanya yang gak pernah habis tak bersisa. Tapi bukan berarti ia tidak kerja. Tapi definisi kerja menurut Gladys dan temannya sangat berbeda.

Bukan berarti dia tidak tau apa yang dilakukan teman-temannya untuk mencapai kesukesasan. Dena, perempuan bergaun biru yang tadi bertanya tentang pekerjaannya, dia adalah seorang sekretaris dari direktur di perusahan yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Selain mengurusi kebutuhan sang direktur dalam hal pekerjaan, Dena juga dituntut untuk harus bisa memenuhi kebutuhan yang ada dibalik celana direkturnya. Gladys bisa bertaruh, selain direkturnya, pasti masih banyak kliennya yang lain yang sudah mencicipi tubuhnya. Semua dilakukan untuk membantu mempermulus kontrak kerja sama dalam hal pekerjaan.

Gladys tersenyum miring. Ia menyilangkan kakinya dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa harus kerja kalo keluargaku punya banyak duit?" tanyanya dengan sinis. "Derita kalian yang harus jadi budak korporat demi cuan-cuan yang gak seberapa," lanjutnya meremehkan.

Terdengar geraman dari beberapa temannya.

"Cuan gak seberapa? Lihat tuh Dena jadi sekretaris direktur," balas Kila. "Dia budak korporat yang banyak duit. Tasnya aja selalu branded," lanjutnya yang membuat Dena mengangkat dagunya sombong.

Gladys tertawa pelan. Ia meminum wine yang ada di hadapannya sebelum menjatuhkan bom di hadapan mereka. "Dena? Iyalah duitnya banyak. Tiap hari ngangkang mulu sama direkturnya. Gimana gak banyak duitnya. Gaji dia ngangkang lebih banyak daripada gaji dia jadi sekretaris." Lalu ia memandang ke arah Dena dengan sinis. "Jangankan direktur, kliennya aja banyak yang 'make' dia," lanjutnya dengan tajam.

Wajah Dena memerah menahan malu. Semua yang ada di sana diam tak percaya.

"Jangankan Dena, aku juga tau rahasia busuk kalian semua di tempat kerja. Aku terlalu baik aja gak mau bongkar semuanya di sini," ucap Gladys memandang satu persatu temannya. "Besok-besok, jangan julid lagi soal kehidupan orang kalo kehidupan kalian gak mau dijulidin juga," desis Gladys dengan nada rendah penuh ancaman. Ia meraih hand bag-nya di atas meja sebelum meninggalkan kumpulan orang penjilat yang wajahnya sudah berubah pucat.

Gladys keluar dari ballrom hotel yang menjadi tempat reuni sekolahnya. Ia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria saat sedang menunggu mobilnya di lobby.

"Maaf Mbak, saya gak sengaja."

"Kalo jalan hati-hati dong!" seru Gladys kesal. Suasana hatinya sudah cukup buruk, dan diperburuk saat tubuhnya ditabrak oleh pria asing.

"Saya kan udah minta maaf," balas si penabrak dengan tidak terima.

Gladys mengibaskan tangannya tak acuh, lalu berjalan menghampiri mobilnya yang baru sampai. Ia memberikan beberapa lembar uang pada petugas, sebelum menginjak gas dengan kekuatan penuh.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Selamat datang di ceritaku yang baru. Ide cerita sama kerangkanya udah jadi, judulnya belum kepikiran.

Cerita ini akan tetap ringan, tapi mungkin ada yang sedikit berbeda dari ceritaku sebelumnya. Aku berusaha ngembangin karakter cewek yang ngeselin dan sombong di sini, wkwk.. semoga bisa konsisten dengan karakternya. Enjoy semuanya❤

A Million Unexpected Feeling [Completed]Where stories live. Discover now