Bab 1

57.4K 6K 89
                                    

Gladys meraba-raba sisi tempat tidurnya mencari keberadaan ponselnya. Setelah menemukan benda yang ia cari, ia mengucek matanya dan melihat jam yang tertera pada layar ponsel. Jam sudah menununjukkan pukul sembilan pagi. Ia segera menyibak selimut dan turun dari tempat tidurnya. Dengan nyawa masih terkumpul setengah, ia masuk ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka secepat kilat. Setelah itu ia keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Kakinya melangkah menuju ruang makan, dan langsung terkejut saat melihat Papanya duduk di ruang makan.

"Baru bangun kamu?" tanya Papa saat melihat kedatangan Gladys.

"Hmmm...." Gladys menarik salah satu kursi di dekat Papanya. Ia mulai mengambil roti yang ada di meja dan mengolesnya dengan selai kacang. "Papa kok tumben belum berangkat?"

"Bentar lagi," jawab Papa.

"Biasa juga berangkat pagi pulang malem," gumam Gladys pelan.

"Jadwal operasinya mundur jadi siang," ucap Papa walaupun tidak ditanya oleh Gladys.

Gladys hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan menggigit rotinya. Lalu tidak ada yang mengeluarkan suara diantara Gladys dan Papa. Ia sibuk memakan rotinya, sedangkan Papanya sibuk dengan ponselnya. Sampai lima menit kemudian, Papanya pamit untuk berangkat kerja.

"Papa berangkat."

Gladys menggumam menanggapi, kemudian ia mencium punggung tangan Papanya sebelum Papanya berjalan menjauh.

Setelah kepergian Papanya ia meninggalkan bekas piring kotor di meja dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian olahraga. Ia menggelar matras yoganya di dekat kolam renang. Ia sudah memasang ponsel pada tripod sebelum memutar video pilates di youtube. Ia mengikuti gerakan pilates yang ada di layar ponsel dengan serius. Pilates adalah salah satu olahraga favoritnya. Karena memiliki payudara dan bokong yang besar, ia menjaga agar kedua aset yang dimiliki tidak kendur.

Gladys melakukan olahraga selama empat puluh menit sebelum kembali ke kamar untuk bersiap mandi. Setelah selesai mandi, ia bingung harus melakukan apa. Akhirnya ia hanya rebahan di kasur sembari memainkan ponselnya. Kegiatannya setiap hari sangat monoton. Bahkan bisa dibilang sangat membosankan. Tapi ia suka dengan kegiatannya ini. Kedua orang tuanya sama sekali tidak pernah protes apa yang ia lakukan. Karena pada dasarnya mereka tidak peduli dengan Gladys. Yang mereka pedulikan hanya diri dan karir mereka sendiri. Bahkan interaksinya dengan orang tuanya bisa dihitung jari setiap hari. Dalam satu hari mereka bisa tidak berinteraksi sama sekali. Orang tua Gladys hanya tahu bagaimana cara memberi uang bulanan pada Gladys dengan nominal yang besar. Bagi mereka, uang akan cukup untuk menggantikan keberadaan mereka di sisi Gladys. Kini usianya sudah dua puluh lima tahun, dan ia sudah tidak peduli dengan kedua orang tuanya lagi.

"Non, ada yang nyari di depan."

Gladys menoleh melihat ART-nya berdiri di ambang pintu.

"Maaf Non saya langsung masuk," ucap Mbok Jum takut-takut. "Saya udah ketok daritadi tapi Non nggak nyahut."

"Siapa yang cari?"

"Namanya Non Dena," jawab Mbok Jum. "Masih ada di depan, masih ketahan sama Pak Jupri."

Pak Jupri adalah pegawai di rumah ini yang bertugas menjadi satpam. Sekaligus suami dari Mbok Jum.

Gladys menghela napas lelah. "Suruh masuk dulu deh."

Mbok Jum mengangguk mengerti dan permisi untuk keluar dari kamar.

Gladys merapikan dirinya di depan meja rias terlebih dahulu sebelum menemui tamunya yang tidak diundang itu. Ia ingat, tadi malan ia cukup mempermalukan Dena di acara reuni sekolahnya. Bahkan di depan teman-teman ceweknya yang lain. Tapi ia tidak menyesal sama sekali. Ia tidak suka ada orang yang mengusik atau mengganggu hidupnya. Bahkan sekadar bertanya sekalipun. Jika orang itu berani mengganggunya, berani orang itu siap untuk diganggu balik olehnya. Tidak heran jika ia tidak punya teman dekat sampai saat ini.

A Million Unexpected Feeling [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora