Pertemuan

365 79 32
                                    


Jangan lupa vote and coment 🙌

HAPPY READING

***

Seorang gadis dengan rambut sebahu kini tengah berdiri dan  menatap bangunan yang berada di hadapannya dengan gugup, dengan langkah pasti gadis itu memasuki kafe yang Ayahnya katakan kepadanya untuk memui calon suaminya itu.

Suasana kafe yang ramai, membuat detak jantungnya berdegup kencang. Matanya  menyisiri setiap sudut kafe mencari meja nomer 15. Ah, ternyata meja nomer 15 itu ada di pojokan dekat dengan dinding kaca. Dari kejauhan Maira tidak melihat seseorang yang duduk disana, meja itu kesong sepertinya dia masih belum datang.

Maira  mengedarkan pandangannya mencoba mencari meja kosong selain nomer 15, beruntung masih ada meja kosong selain meja nomer 15. Ia duduk dan mengedarkan pandangannya ke arah meja nomer 15 yang tepat berada di depanya itu, menunggu seseorang yang akan duduk di meja tersebut.

Sudah sepuluh menit ia menunggu namun tidak ada seseorang yang duduk ataupun menghampiri meja nomer 15 itu. Sepertinya meja itu sudah direservasi oleh ayahnya atau mungkin seseorang.

Maira menatap kosong ke arah meja nomer 15 itu dengan pikiran yang kalut, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ting tong.

Suara lonceng kafe berbunyi, Maira langsung mengalihkan pandangannya melihat ke arah pintu masuk kafe. Menampakan seorang pria dewasa bebadan kekar  berpenampilan modis terlihat dari beberapa aksesorise mewah yang terpampang dengan jelas di kulit keriputnya, memeluk pinggul ramping seorang wanita seksi berpakaian kurang bahan disampingnya, melangkan masuh ke dalam kafe.

Maira merapalkan doa sebanyak-banyaknya. Mencoba berfikir positif. Mungkin saja manusia yang berbeda gender itu hanya pengunjung kafe biasa. Tapi, tidak  mereka menduduki meja yang Ayahnya katakan kepada, meja nomer 15. Deru napasnya semakin kencang melihat dua orang itu duduk santai di meja itu. Apa mungkin om itu calon suaminya? sugar deddy?

Maira  mencoba menerima apa yang mungkin terjadi selanjutnya, memberanikan diri melangkah mengahampiri pria dengan wanita yang mungkin saja itu selingkuhanya.

Maira memberhentikan langkahnya ketika melihat seorang pria yang mungkin saja itu adalah menejer kafe terlihat dari cara bepakaian dan  berbicara kepada keduanya. Tak lama keduanya pergi meninggalkan meja itu. Maira yang melihat itu mengucap syukur sebanya banyaknya. Setidaknya om om tua itu bukan calon suaminya.

"HAH!" Maira membuang napas lega dan kembali ke arah mejanya. 

Setelah sampai di mejanya kembali, Maira membelak matanya kaget melihat seorang pria yang sudah duduk di meja nomer 15 itu dengan santai. Bukan, bukan om-om tua itu kembali melainkan pria lain yang umurnya jelas jauh lebih muda, mungkin seumuran dengan Maira.

Maira mengerjap matanya dua kali dan mencubit kedua pipinya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa saat ini ia sedang tidak bermimpi.

"Apa dia calon suami aku yah, eh tapi bukannya calon suami aku sugar deddy, mana mungkin dia." beo Maira.

"Aduhhh, dari belakang aja udah keliatan gantengnya apa lagi dari depan." batinya. Melihat pria yang tengah membelakanginya.

Maira terus menatap punggung pria asing itu, tanpa enggan mengalihkan pandangannya kearah lain.

Pria itu membalikan badanya, seketika tatapan keduanya bertemu utuk beberapa saat. Maira memutuskan terlebih dahulu merasa pipinya sudah memanas dan detak jantungnya tidak karuan.

"Aduhhh dia kok lihat ke arah sini sih. Gak tau apa kalau Jantung aku udah dag dig dug serrr," ucap Maira lebay, menutup wajahnya dengan buku menu makanan yang ada diatas meja.

"Mana ganteng bangettt lagi, merepotkan perasaan aja nih orang."

Maira mencoba mengintip di sela-sela buku menu makanan mencoba melihat lagi pria itu. Entahlah seperti ada magnet yang membuat Maira ingin terus menatapnya.

Maira mengerut dahinya bingung, melihat meja didepannya kosong. 

"Loh kok gak ada." gumamnya bingung.

"kemana perginya itu cowok." ucap Maira, mengedarkan pandanganya di seleruh penjuru kafe. Mencari keberadaan pria ganteng tadi.

"Yah belum apa-apa udah di gosting aja." ujar maira lesu, menelungkupkan kepalanya diatas meja.

Kriak

Seseorang menarik kursi, gadis itu mendongak kepalanya melihat siapa yang berada di depannya saat ini. Dengan tatapan tidak percaya sembari menggeleng kepalanya. Melihat pria genteng tadi sudah berada di depannya.

"Ini gue gak mimpi kan."

"MasyaAllah ganteng banget jodoh orang"

"Eh, semoga jodoh gue, amin." batinnya.

"Boleh gue duduk disini?" tanya pria itu yang masih saja berdiri.

"E-eh?" Maira tersentak

"Boleh gue duduk disini?"

Maira mengangguk kuat. "Boleh kok" DUDUK BERDUA DI PELAMINAN SAMA LO JUGA BOLEH! Batinya berteriak.

Mendapat persetujuan dari gadis didepannya, pria itu langsung mendudukkan dirinya di atas kursi itu.

"Lo Maira Ayudhisa?" tanya pria itu, meyakinkan.

"Loh dia kok tau nama lengkap gue." batinya heran.

"Jangan jangan dia, anak dari om om yang bakal nikahin gue lagi dan dia berarti jadi anak tiri gue." opininya.

Maira mengangguk sebagai jawaban.

Pria itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tanganya. "Kenalin, gue vabian Bramasta, calon suami lo." ucapnya menekan setiap katanya.

Mata Maira membulat sempurna, menatap pria didepannya dengan bingung.

Hah! Calon suami? aduh jangan- jangan gue mimpi lagi. Masa iya pria ganteng ini calon suami gue.

Bangun maira bangunnn...

Tangan maira yang hendak menampar pipinya sendiri meyakinkan bahwa ia tidak salah mendengar apa yang di ucapkan pria
itu. Seketika terhenti saat tangan kekar memegang erat tanganya.

"Lo kenapa?" tanyanya heran. Melepas cekatan tangannya pada gadis itu.

"E-engak gak papa kok, tadi ada nyamuk, iya nyamuk. " jawabnya, bohong.

"Ooh.." ucap Bian mencoba mempercayai.

"Lo gak mau batalin perjodohan ini?" tanya Bian tiba-tiba.

Maira menggeleng kuat. "Enggak."

"Kenapa?" tanyanya heran, menatap gadis remaja yang mungkin seusianya saat ini.

"Karna lo ganteng." ucap Miara tak sadar.

Maira membekap mulutnya sendiri setelah sadar apa yang telah dikatanya tadi. "Bodoh Maira, Maira bodoh banget gak bisa liat cogan di depan mata aja" batinnya.

"Ma-maksud gue bu-bukan gitu" ucap Maira gugup.

Maira tiba-tiba seperti kehilangan kata-katanya saat ini. Ia berdehem untuk menghilangkan rasa gugupya.

"Gue gak mau melihat orang tua gue kecewa jika gue batalin perjodohan ini."

"Kalau lo gak mau perjodohan ini dilanjutkan.  Gue bisa bicara sama Papa dan Mama gue buat batalin perjo--"

"Gak perlu, gue terima perjodohanan ini." potong Bian.

Setelah perkataan Bian tadi, suasana mendadak hening. Keduanya saling bungkam dengan pikiran mereka masing-masing.

Hinggal Bian bersuara memecahkan keheningan. "Ajari aku mencintaimu, ya." ujar Bian tulus.

Bukankan cinta datang karna terbiasa?

***

See you next chapter 🤗

VABIANOWhere stories live. Discover now