(Not a) Start

194 5 0
                                    

Menurutku, ada dua jenis orang yang datang ke Jakarta. Pertama, orang yang pengen dapat gaji gede. Kedua, mereka yang percaya bisa membuat mimpinya menjadi nyata di kota ini. Beberapa mungkin berhasil, tapi tidak sedikit yang menyerah dan memilih jalan yang keliru sebagai pelampiasan.

Jakarta.

Setiap mendengarnya, yang muncul di pikiranku adalah kriminalitas, demonstrasi, banjir.

Jakarta.

Kota metropolitan dimana kalau dalam FTV, tokoh utama cewek dari kampung gak sengaja tabrakan dengan cowok tampan nan tajir, lalu hanya dalam durasi waktu kurang dari dua jam mereka menikah.

Jakarta.

Kota yang gak pernah sekalipun masuk dalam bucket list tempat yang ingin kukunjungi sebelum mati.

Tapi disinilah aku sekarang. Terjebak dalam busway yang dari tadi hanya bisa merangkak karena macet. Suara klakson terdengar memekkakkan telinga dari pengendara urat tegang. Aku menyebutnya begitu, karena ketidaksabaran mereka. Telat 1 detik aja menjalankan kendaraanmu setelah lampu lalu lintas berubah hijau, orang dibelakang akan meng-klakson kencang-kencang. Seolah hidup mereka akan terhambat kalau satu detik aja terbuang.

Setelah resmi diusir dari kampus, tuntutan siklus kehidupan (baca : nyari duit) membawaku ke Jakarta. Biar kuceritakan keadaanku saat ini. Blouse putih, celana hitam, sepatu pantofel  tumit 3 cm plus berdesak-desakan dengan karyawan kantoran lainnya yang menghimpit tubuh pendekku ke pintu sebelah kiri busway. Kalau sampai supir salah membuka pintu, aku adalah orang pertama yang mendarat di aspal jalanan.

Sial.

Kalau aja tadi malam gak begadang nonton Itaewon Class, aku pasti gak akan bangun kesiangan. Kakiku yang mengenakan pantofel dari tadi silih berganti diinjak orang. Kulirik jam di tangan. Jam segini harusnya aku sudah sampai di halte tujuan dan lanjut jalan kaki ke gedung tempat kantorku berada.

Bus berhenti di sebuah halte. Tapi bukannya menurunkan penumpang, malah semakin banyak yang naik. Aku semakin terdorong ke pintu dengan posisi muka menempel ke kaca. Dari luar, ada pengendara motor yang ketawa-ketawa menunjuk mukaku. Kamprettt! Begini amat mengadu nasib di ibukota.

'Pemberhentian berikutnya – bendungan hilir. Periksa kembali barang bawaan anda dan hati-hati melangkah.' Suara mbak-mbak dari speaker busway mengumumkan halte berikutnya yang adalah tempatku turun. Begitu pintu sebelah kanan dibuka, susah payah aku menerobos diantara penumpang untuk keluar.

Hufffttt.

Setelah berhasil menginjakkan kaki di halte, kubuka ransel dan mengeluarkan sneaker lantas buru-buru memakainya setelah melepas pantofel. Pantofel kumasukkan ke dalam ransel dan aku bersiap untuk sprint lagi pagi ini.  Baru saja ambil ancang-ancang untuk berlari, HP-ku bergetar. Panggilan masuk dari Winnie.

"Ya Win?"

"Kak, lu gak masuk? Saham apple tadi malam drop banget. Trading-an lu aman, gak?"

Anjir. Aku sama sekali lupa soal trading-an gara-gara keasyikan nonton Itaewon Class.

"Turun berapa poin, Win?"

Di seberang gak langsung menjawab.

"Win?"

"Pokoknya banyak Kak Len. Lu dimana sih, telat atau gak masuk? Kalau masuk, buruan. Entar si Oskar ngomel-ngomel kalau lu telat. Udah mau briefing tauk!"

Setelah mematikan telepon, aku bergegas keluar dari halte. Tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang melihatku berlari tergesa-gesa kayak ngejar copet. Beberapa diantara orang-orang itu tersenggol olehku. Aku cuma bisa teriak 'maaf' panjang, semoga dia dengar.

THE NAKED JOBSEEKERDonde viven las historias. Descúbrelo ahora