Graduation

14 1 0
                                    

Setelah meneteskan keringat darah,

Setelah kakakku bilang gak mau bayar uang kuliah yang semester kesekian lagi,

Setelah bapak mamak hampir lupa punya anak yang kuliah di Kalimantan,

Akhirnya aku diwisuda.

Kejadiannya tidak begitu dramatis di dalam ruangan sidang akhir. Tapi aku cukup puas meski tidak berhasil mendapatkan nilai sempurna untuk skripsiku. Itu pun udah syukur bisa lulus, wong sehari sebelum sidang aku nekat berangkat ke luar kota buat nonton film dokumenter BTS di CGV. Salahkan waktu yang gak pernah berpihak padaku. Tiket itu udah jauh-jauh hari kubeli sebelum jadwal sidang ditempelkan.

Aku gak mau rugi. Harga tiketnya hampir dua ratus ribu. Dua ratus ribu kalau dibuat untuk beli sate ayam udah dapat 11 porsi. Kalau dibuat untuk beli nasi padang udah dapat 20 bungkus. Kalau dibuat untuk..ah sudahlah!

Sudah diputuskan, (karena kemiskinan) kedua orang tuaku gak akan datang menghadiri acara wisuda anaknya ini. Udah jomblo gak punya pendamping wisuda, orang tua pun tak hadir. Nasib, nasib.

Tapi dari semua itu, ada yang lebih gak bisa dipercaya. Semua salon di kota ini sudah penuh, di-booking dari jam 3 subuh. Yang benar aja. Susunan acara wisuda dimulai jam 8 tapi, sudah ada yang ke salon jam 3 subuh? Ternyata benar ya, cewek itu rempong.

Sebenarnya aku gak keberatan tampil polos dengan bedak tipis (atau enggak usah sama sekali). Masa bodo dengan penampilan. Ini hanya wisuda. Koreksi : ini hanya wisuda tanpa teman segeng hancurku (mereka udah wisuda duluan). Dan yang paling penting : ortuku juga gak akan hadir. Jadi kenapa harus repot-repot?

Kebaya wisuda aja baru kubeli H-3 tanggal wisuda. Baru nyampe kemarin sore. Beli yang udah jadi. Bukan dijahit khusus ke tukang jahit dengan proses pengukuran setiap inci tubuh.

"Ayoklah Kak Len. Memon ini hanya sekali seumur hidup. Kau gak mau punya foto cantik wisuda yang nanti bisa dipajang di rumahmu?" Butet-lah tersangka yang memaksaku membeli kebaya jadi itu.

"Memon, memon. Momen, Tet! Lagian kebaya itu cuma buat sekali pake. Setelah itu mau dipakai kemana? Kondangan? Nikahanmu? Boro-boro nikah, cowok yang kau taksir selalu udah punya pacar. Hahahaah." Aku tertawa sampai terguncang.

Butet memasang muka jengkel. Tau persis watakku yang gak mau rugi. "Yaudah, nanti setelah acara wisudamu selesai jual ke aku. Kubeli, untuk wisudaku tahun depan."

Makanya kebaya itu kubeli. Kalau gak, aku mah gak mau rugi. Kebaya siap pakai kupesan online dan tiba H-1 hari wisuda. Untungnya setelah dicoba tidak ada masalah. Inilah untungnya punya badan kecil. Akhirnya setelah hidup selama 23 tahun kupakai juga benda bernama kebaya itu, di hari kelulusan ini.

Eh, tapi aku baru ingat kalau tinggiku dan Butet beda 10 cm. Berat badan beda 10 kilo. Gimana tuh? Biarkan aja, dia yang bilang mau beli kok.

***

"Anggi enak ya. Kalau nanti udah wisuda udah punya usaha sendiri," akhirnya aku menemukan salon milik kawan seangkatan yang belum wisuda karena fokus berbisnis ngurusin salonnya. Si Anggi tersenyum. "Gak bingung cari kerja, udah ada yang menanti, Nggi."

"Masih merintis, Len. Doakan ya biar lancar. Aku juga doakan deh, kamu nanti cepat dapat kerjaan," kata Anggi sambil menata rambutku.

Wah, aku terlihat cantik sekali hari itu. Dapat kupastikan kalau semua laki-laki yang pernah menolakku melihat penampilanku hari ini mereka akan bertekuk lutut minta maaf. Biasanya aku tampil tomboy dan bergerak liar. Hari ini di pantulan kaca tampak sosok gadis ayu dalam balutan kebaya ungu yang malu-malu dan penurut, siap dijodohkan dengan duda kaya usia 60-an.

THE NAKED JOBSEEKERМесто, где живут истории. Откройте их для себя