[1-3] If I We're You

22K 2.3K 92
                                    

Thalia melangkah turun dari jazz merah yang dikendarainya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Thalia melangkah turun dari jazz merah yang dikendarainya. Hari ini dia bolos kerja. Malas melihat Kalla berkeliaran di depan ruangannya. Kesialan terberat dalam hidupnya, adalah satu kantor dengan mantan tunangannya. Meski di ruangan berbeda. Tapi, itu menyakitkan. Thalia harus memendam rasa sakitnya saat melihat Kalla bersama istrinya keluar-masuk lorong sekitar ruangannya. Tertawa bahagia sementara dia menderita di sini. Terus mengeluarkan fake smile saat berpapasan dengan keduanya. Thalia merasa hampir gila setiap hari.

Dia telah kalah oleh rasa sakitnya sendiri. Dan dia hancur, retak. Harus membenci hal yang dia cinta. Sakalla pernah dia cinta. Kadang dia bertanya pada sesama temannya untuk menanyakan apakah dirinya baik-baik saja.

Apa dia sudah mulai gila? Apa dia sudah mulai tidak waras? Apa tanda-tanda seperti benci melihat kebahagiaan orang lain menjadi suatu hal yang akan menumbuhkan penyakit. Thalia yang dulu, yang cantik dan hebat telah diliputi kebencian dan kekecewaan.

"How are you?"

Thalia hanya tersenyum tenang, menatap salah satu teman dokternya itu. "I'm okay, Doc."

Adam menyambut dengan tawa yang sama. "Lama nggak berjumpa? Bagaimana penelitianmu sekarang?"

"Almost perfect," Thalia mengangguk-angguk, memainkan gagang tas gucci merahnya yang mentereng. "Sebenarnya saya hanya ingin berjalan-jalan. Lagipula, kantor sangat membosankan."

Adam mengangguk penuh pengertian. "If you can't, just stop. You're beautiful, smart, and... perfect. You can get a job everywhere you want. Why you forcing yourself?"

"Cause I should be professional, Doc," kekeh Thalia pada diri sendiri, "saya akan pergi nanti, secepatnya... tapi nggak sekarang. Saya berjanji pada keluarga mantan tunangan saya, untuk menggantikan jabatan manager sementara waktu. Jadi, ini sudah menjadi tanggung jawab saya."

"I know, Thalia. Apa.... boleh saya bertanya suatu hal?" pertanyaan Adam menggantung, membuat Thalia kebingungan.

"Ya, tanyakan saja."

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah... masih membenci, hmm, bagaimana tentang pernikahan? Apa kamu masih tidak ingin... Maksud saya, usia seperti kita ini... Sudah saatnya untuk menikah, bukan? Bagaimana pendapatmu sekarang?" Bagaimana kalau... menikah dengan saya, saja? Tapi tentu yang satu itu Adam tidak berani mengutarakannya. Itu hanya ilusinya saja. "Saya ingin mendengarnya."

Thalia tertegun mendengar pertanyaan Adam. Suara Adam yang lembut, pancaran penuh harapnya. Seakan menghantarkan hati Thalia untuk menjawab apa yang Adam mau. Tapi hatinya berkilah. Tajam dan dingin. Dia menang lagi kali ini.

"Ya, saya benci, Dok. Saya nggak minat sama sekali."

***

Bau kepulan asap memenuhi bengkel siang ini. Langit masih tidak bergerak sama sekali. Terus berkutat pada mobil yang tengah diservisnya. Hampir berjam-jam tenggelam di balik badan mobil. Sampai Yayan mengusiknya mengulurkan seplastik es teh untuknya.

Into The SkyWhere stories live. Discover now