9. Yakin?

5.7K 649 51
                                    

Aku belum memutuskan untuk menemui Dian ke rumahnya. Yang hanya bisa aku lakukan sekarang, adalah diam merenung dan terus larut dalam rasa penyesalanku.

Kuingat kembali beberapa kejadian bersama gadis itu. Contohnya saja, saat dia membantuku mengambilkan pembalut ke UKS. Jujur, di situ aku merasa sedikit baper atas perlakuannya. Selain menyebalkan karena selalu mengganggu, dia juga ternyata perhatian.

Lalu, aku teringat saat kejadian di kantin, di mana aku memarahinya habis-habisan karena dia yang terus saja mendekatiku. Aku menyuruhnya pergi, dan melontarkan banyak makian yang mungkin saja membuat hatinya sakit. Setelah mengatakan itu, bukan rasa lega yg kudapat, melainkan aku sangat merasa bersalah karena telah memarahi dan mempermalukannya seperti itu di kantin. Aku tidak benar-benar ingin mengatakan kalimat tak pantas itu. Aku hanya ingin Dian menjauhiku karena dia terlalu baik untuk mendapatkanku.

Teringat lagi dengan cerita lain, di mana dia akhirnya bertemu dengan satu-satunya orang tuaku, Papa. Kesan pertama yang diberikannya, memang cukup buruk. Dia terlihat sangat tidak menyukai Papa. Kukira memang begitu, maka dari itulah aku kesal padanya. Tapi esoknya, dia datang meminta maaf sembari memberikan coklat kesukaanku. Lucu memang. Ternyata, dia mengira bahwa Papa adalah pacarku. Cemburu rupanya... Jujur, saat dia meminta maaf seperti itu, lalu memberikan coklat, aku hampir saja tersenyum karena sikap manisnya. Tapi, kutahan sebisa mungkin, dan tetap menunjukkan wajah angkuhku. Akhirnya, dia pun pergi setelah kuusir, namun dengan coklat yang ia tinggalkan di atas kursi. Setalah dia benar-benar pergi, kuambil coklat itu, dan kumakan dengan wajah yang berseri-seri. Mungkin, jika ada penghargaan manusia paling gengsi sedunia, aku pemenangnya.

Aku juga teringat saat Dian menjengukku tempo hari. Dia datang bersama Dea. Aku memang terkejut akan kehadirannya. Ingin berusaha mengelak bahwa aku tak suka dia datang ke rumah, tapi ternyata tak bisa. Justru, aku sangat senang ternyata Dian masih mau untuk menemuiku setelah kumaki-maki dirinya. Di dalam hatiku memang senang, namun di mulut, aku tetap mengatakan bahwa Dian hanyalah seonggok manusia yang tak seharusnya datang ke rumahku. Dia hanya pengganggu menyebalkan yang kerjaannya hanya menggangguku. Ya, itu yang selalu kukatakan. Hingga aku sadar, bahwa Dian tidaklah seperti itu. Dia adalah orang yang terkadang, selalu membuatku tersenyum diam-diam. Tingkah nyelenehnya itu, selalu mengundang gelak tawaku. Dengan sangat berusaha, aku selalu menahan image-ku agar tidak terkesan menyukai keberadaannya.

Hingga, tibalah malam dimana sahabatku berulang tahun. Siapa yang tak ingat dengan game spin the bottle malam itu? Game yang membuatku hampir menerima tantangan menakutkan bersama Dian. Menakutkan karena akan ada banyak pasang mata yang menyaksikan. Terdengar mustahil memang, tapi aku sebenarnya ingin melakukan tantangan itu. Ketika memutar botol, aku sangat berharap mulut botol terarah pada Dian. Lalu, saat itu betul-betul terjadi, justru aku malah mencari masalah dengan berlari keluar, seolah marah dan tak terima dengan tantangan itu. Perasaanku sangat rumit waktu itu. Ingin menerima, tapi aku ragu. Jadi, terpaksa aku menolak dengan cara seperti itu. Dan lagi-lagi, aku telah melukai hati Dian.

Dan sejak malam itu, sikap Dian menjadi sedikit berubah. Dia masih suka menyapa dan menghampiriku. Tapi, aku merasa ada yang aneh saja atas sikapnya itu. Belum terjawab atas pertanyaanku yang satu ini, tiba-tiba beberapa hari kemudian, Dian seolah benar-benar mengabaikanku. Tak ada lagi gombalan darinya, tak ada lagi kata-kata manisnya, tak ada lagi perhatiannya, bahkan tak ada lagi sapaan darinya. Dia seperti membenciku sekarang. Menjauh, dan menganggapku tak kasat mata.

Ini semua memang salahku yang sudah menyakitinya.

***

Dian's Pov

"Astaga.... jadi ini alasannya..." Celine geleng-geleng kepala, setelah ngedenger cerita kenapa gue jauhin Soya. "Lo beneran nyerah sekarang?"

Gue cuma bales pake anggukan.

Anything For YouWhere stories live. Discover now