32. Kemarahan

299 20 6
                                    

Wajah jelita Naningga berubah merah padam. Tangan lentik sang calon permaisuri meremas kuat kipas di tangan, pelayan pribadinya melirik pada patahan kecil di pinggiran kipas. Pertanda kuat sekali majikannya meremas. Buku jari pun memerah. Selaras dengan ekspresi yang ditampilkan.

"Di-a ... tidak mungkin. Itu kabar bohong." Telunjuknya mengarah pada pengawal pribadi. "Aku akan memastikan hukuman mati bagi penyebar kabar bohong."

"Maaf, saya hanya menyampaikan kabar yang berhembus perlahan di kalangan bawah."

"Berapa kuat kebenaran yang kamu ketahui?"

"Sejak kabar tersebar tak ada yang pernah melihat gadis itu di toko kain keluarga Partha. Mereka mengatakan dia memegang cabang lain, tetapi penyelidikan kami. Tak pernah menemukan keberadaannya di manapun."

Keringat menitik di pelipis Naningga. Pelayannya lekas menyeka, dia bisa melihat wajah majikannya memucat serupa kapas. Ketakutan dan rasa malu yang akan hadir telah membias dalam dirinya.

Pelayan pribadi Naningga meneguhkan hati, untuk menyampaikan berita yang ia dengar.

"Penjagaan di menara mengalami peningkatan dari biasa. Sesuatu atau ... mungkin seseorang berada di dalamnya memiliki peran penting bagi Raja. Yang Mulia sekarang sering berkunjung ke sana."

"Benarkah?"

"Hamba tak berani berbohong."

Naningga mendengkus. Kegusaran kentara dalam wajah mulus tanpa noda. Arsakana bahkan tak pernah mengunjungi dirinya. Dia sudah mengikuti pelatihan calon permaisuri. Bersiap menunggu hari pernikahan yang tak kunjung datang.

Matanya menatap nanar ke luar halaman istana. Di sana terdapat danau buatan, ada jembatan menuju gazebo yang biasa Naningga gunakan menunggu Arsakana. Tanaman teratai dengan warna putih menghias keindahan di sekeliling gazebo. Sebuah tempat yang cocok untuk ....

"Nona ... anda mau kemana?" Belum tuntas pertanyaan pelayan wanita ketika ia melihat tiba-tiba Naningga berlari kencang ke arah danau.

Detik selanjutnya dia sudah melihat majikannya berada dalam dekapan pengawal pribadinya. Mencegah Naningga terjun ke dalam danau.

"Aku akan menyingkirkan pelayan lainnya. Jangan sampai ada yang melihat."

Pengawal itu melepas cepat Naningga. Menghindari ketidaksopanan menyentuh majikan wanita, dia akan mendapat masalah besar jika ada yang melihat. Terlepas seharusnya itulah pertolongan yang harus dilakukan. Pelayan wanita segera memeluk erat Naningga. Menahan agar majikannya tak menceburkan diri dalam danau kembali.

"Lepaskan..." Naningga meronta-ronta. Pinggangnya di dekap erat pelayan yang kewalahan.

Dua orang pelayan lain atas suruhan pengawal datang membantu. Butuh waktu sampai kemudian Naningga tenang dan menangis terisak di pinggiran danau. Suaranya menyayat hati.

"Belum ada kejelasan pasti, Nona. Tuan Harsa tak akan diam. Biarkan mereka bertindak. Diam dan mainkan peran,"

"Di mana aku harus meletakkan harga diri jika itu terjadi. Pergeseran calon permaisuri akan membuatku jadi bahan tertawaan."

"Tidak ada yang akan berani melakukannya, Nona. Percayalah."

Tatapan Naningga terlihat kosong, bibirnya bergetar dengan wajah semakin pucat. Detik selanjutnya kelopak matanya terpejam seiring tubuh lunglai jatuh dalam pelukan pelayan-nya. Dia pingsan tak kuat menahan kenyataan yang ada.

"Bantu aku mengangkat, Nona. Pastikan tak ada yang mendengar kabar ini." Pelayan senior menatap tajam kedua lainnya.

"Baik."

Wanita Sang RajaWhere stories live. Discover now