#43. P E R G I

2.1K 192 12
                                    


Langit menggelap dengan awan hitam yang siap menurunkan air hujannya. Hari ini Jakarta sedang berduka, terlebih untuk Ali yang merasa kehilangan karena kepergian seseorang yang dia cintai.

Di pemakaman setelah menguburkan jenazah, lalu doa di pimpin oleh Fatahillah. Sedangkan mata Ali tidak teralihkan dari batu nisan istrinya. Mata yang memancarkan kesedihan itu membuat semua orang cemas dengan keadaan Ali dan bayinya.

Ali berteriak kepada dokter dan suster yang sedang melakukan tugasnya di dalam ICU, berharap istrinya akan selamat.

Pintu ruangan ICU terbuka, Ali menghampiri Nindy yang menatapnya sedih.

"Bagaimana keadaan Prilly?"

Nindy tidak menjawab satu patah katapun, lalu dia hanya menggeleng kecil lalu menepuk pundak Ali untuk sabar dan tenang.

Ali menggelengkan kepalanya sambil berteriak memanggil nama istrinya. Bagaimana mungkin hal ini terjadi kepadanya.

Ali berlari menuju brankar lalu menatap tubuh istrinya yang sudah ditutupi oleh selimut. Tangan gemetar Ali menarik selimut itu dengan pelan, betapa sakit hatinya dia ketika melihat wajah pucat istrinya yang terlelap dengan damai.

"Sayang, bagun yuk. Kamu bahkan belum lihat putra kita. Dia sangat tampan, tapi wajahnya sangat mirip dengan kamu." Ucap Ali dengan suara yang serak karena menangis.

Ali menggenggam tangan Prilly dan membawanya untuk di cium.

"Kamu kedinginan ya? Biar aku selimutin, tapi aku gak akan tutupin semuanya nanti kamu sesak." Ujarnya mulai melantur padahal jelas-jelas dia tidak dapat merasakan denyut nadi istrinya namun dia tetap yakin jika istrinya masih hidup.

"Kita udah bikin kesepakatan, bukan? Bahwa kita gak akan berpisah. Aku udah cerai dengan Nessa, dan kamu sekarang akan menjadi milik aku selamanya. Kita besarkan putra kita bersama-sama, kita bahkan bisa kasih dia adik yang banyak. Kamu suka dengan anak kecil, aku gak melarang kalau di rumah kita jadi ramai sekali."

Ali memukul kepalanya, apapun yang dia katakan kepada Prilly tidak akan pernah di dengar dan tidak berguna sama sekali.

"Kalian semua jahat! Kenapa kalian mengabulkan keinginanku. Aku gak mau kehilangan kamu lagi, Pril. Aku gak bisa lagi hidup tanpa kamu. Maafin aku, maaf hiks."

Ali terus-terusan meracau tidak jelas di hadapan jenazah istrinya.

Sedangkan keluarganya yang melihat itu di luar ruangan ICU ikut merasakan sedihnya. Bahkan mama Gina sudah beberapa kali pingsan karena mengetahui kalau putrinya tidak selamat.

Renata mendekati Ali yang sedang menangis sesegukan di samping brankar Prilly.

"Nak, jangan seperti ini. Biarkan Prilly pergi engan tenang." Renata mengusap air matanya, karena tak kuasa menahannya.

Renata selalu menganggap Prilly adalah putrinya. Dia yakin jika semua ibu pasti akan bangga ketika mempunyai putri yang sesabar dan setangguh Prilly. Banyak cobaan dalam hidupnya, namun Prilly tidak pernah melengkungkan bibirnya untuk bersedih. Sesakit apapun yang sedang dia hadapi, Prilly akan mencoba tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi, kematian siapa yang tau? Semuanya telah di atur oleh yang Maha Kuasa. Sepintar-pintarnya kita di dunia kita tidak bisa menghindari kematian dan takdir dari-Nya.

"Li, ayo kita pulang. Pemakaman sudah selesai." Ajak Alan kepada sang kakak.

"Pulang aja duluan." Jawab Ali dengan menggumam.

After WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang