01 • Drama yang memuakkan

32.6K 1.4K 67
                                    

Malven pikir acara bolos sekolahnya hari ini akan berjalan sesuai rencana, rupanya tidak, nasib buruk membuat Malven tetap berakhir di ruang BK. Padahal tadi Malven sudah enak ngopi di mall, eh nggak taunya tiba-tiba Jeremy—sahabat Malven si anak Medan itu menelpon katanya kelompok mereka hari ini juga ada presentasi Bahasa Inggris. Tentu Malven langsung gerak cepat untuk kembali ke sekolah. Meskipun nakal, Malven paling anti yang namanya skip tugas, entah itu praktek, tugas tulis, maupun presentasi. Nilai itu sangat penting bagi Malven. Karena hal tersebutlah, Malven jadi kena damprat oleh Pak Samsul yang tak sengaja berpapasan dengannya di koridor akan ke ruang TU saat hendak mengembalikan proyektor.

Bukan tentang kasus masuk lewat pintu ajaib, rupanya Malven kena masalah berlapis. Di sebelahnya saat ini sudah ada Regan, duduk begitu angkuh sebab berhasil menyeret masalah Malven yang hampir lenyap dua hari yang lalu.

Regan Adyaksa, dia adalah ketua OSIS di SMA Brawijaya. Cowok itu juga merupakan musuh bebuyutan Malven sejak kelas 10. Bagaimana tidak, setiap Malven berulah, pasti Regan dengan radarnya selalu bisa menemukan. Regan tidak akan segan untuk melaporkan Malven. Keduanya jadi sering ribut, saling balas yang nyaris tak ada ujungnya. Malven menaruh dendam kepada Regan, pun sebaliknya. Namun, Malven sampai kini masih bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat seorang Regan begitu sengit kalau dengannya. Perasaan, sejak awal masuk, Malven sama sekali tidak pernah merasa pernah menyenggol cowok itu.

"Malven, jadi benar kan, kalau kamu yang kempesin ban motornya Pak Bambang dua hari yang lalu?" Guru berpeci putih kayak Pak Haji tersebut duduk menatap lurus ke arah Malven. Kedua tangannya bertumpu di atas meja untuk menambah kesan serius pada wajahnya.

Malven menghela berat sambil merotasikan kedua bola mata. "Gini ya, Pak, jadi, hari itu saya beneran enggak sengaja. Saya kira itu motor teman saya, ya mana tau kalau ternyata itu motornya Pak Bambang."

"Ngeles."

"Nggak ada yang nyuruh lo ngomong!" Semprot Malven kepada Regan.

Ketua OSIS itu hanya mengendikan bahu dan kembali melipat kedua tangan depan dada.

"Memangnya kamu tidak tau kalau itu motornya Pak Bambang?"

"Demi si Regan nyungsep got, saya nggak tau, pak!"

Kali ini Regan melotot tidak terima namanya disebut-sebut. "Gue gampar ya, mulut lo!"

"Regan, diam!" peringati Pak Samsul.

"Maaf Pak."

Kembali lagi dengan Malven. "Terus, kalau tidak sengaja, kenapa kamu tidak mau mengaku saat ditanya hari itu?"

"Ya namanya juga takut, Pak Bambang kalau marah kan nyeremin. Yaudah saya cari aman."

Dengan begitu, Malven pikir Pak Samsul akan percaya. Dalam benak Malven, dia sudah sangat yakin akan bebas dari hukuman, tapi ternyata dia salah. Guru BK tersebut malah tertawa yang lantas membuat Malven kebingunang. Beliau berdiri dari duduknya lalu berjalan ke pojok ruangan untuk mengambil sesuatu dalam laci kerjanya.

Sebuah amplop putih berstempel SMA Brawijaya diserahkan kepada Malven.

"Ini apa?"

"Surat panggilan orangtua. Besok, saya mau orangtua kamu datang ke sini. Kamu kira, kamu bisa membohongi saya dengan bualan murahanmu itu? Oh ... tentu tidak akan segampang itu anak muda."

Malven mendengus kesal. Dia raih dengan kasar amplop di hadapannya. Melihat ekspresi Malven, Regan merasa sangat puas.

Keduanya kemudian dipersilahkan untuk keluar, tetapi baru saja melewati pintu, celetukan Regan lagi-lagi membuat Malven geram. Cowok yang sudah berjalan beberapa langkah di depan Regan itu harus berhenti kala suara sumbang si ketos kurang kerjaan terdengar mengusik telinga. 

"Gue berani taruhan, kalau ortu lo nggak bakal ada yang datang. Secara kan, lo bukan anak mereka, haha."

Kedua tangan Malven sontak mengepal kuat hingga amplop yang di genggamannya ikutan kusut tak berbentuk.

"Jaga ya omongan lo!" tekan Malven seraya berbalik badan. Tatapannya menajam dan Regan tertawa.

"Apa? Bener kan? Emangnya selama ini ada mereka peduli sama lo? Enggak kan? Cih, dasar anak pungut nggak tau diri. Udah diurusin malah buat ulah mulu kerjaannya."

Regan itu tampangnya saja yang cowok, tapi omongannya persis cewek. Sukanya buat Malven emosi dengan mulutnya yang tidak punya filter. Malven juga begitu, ia terlalu gampang dipancing hingga memudahkan Regan untuk semakin melancarkan aksinya.

Lihat saja, sekarang Malven sudah berjalan menghampiri Regan menggunakan langkah lebarnya. Dengan tangan besar miliknya, Malven mencengkeram kerah kemeja Regan lalu menyudutkan cowok itu ke pilar koridor. Muka Ragan sudah memerah dan hampir kehabisan napas, tapi Malven tetap tak melepaskannya.

"Jaga omongan lo, bangsat!"

"A—apa? O—orang kenyataanya ka—kayak gitu kok."

Bugh! Tanpa aba-aba Malven melayangkan bogeman mentah ke rahang Regan. Cowok berambut klimis itu tersungkur mencium lantai. Dia terlihat memukul-mukul dadanya sambil batuk-batuk.

"Gue nggak pernah ngusik hidup lo ya, Regan, tapi lo dengan senang hati malah ganggu gue terus."

Regan tersenyum miring, diangkatnya pandangan untuk melihat Malven secara sinis. "Oh, ya? Yakin banget lo ngomong kayak gitu? Asal lo, tau, lo itu mirip kayak nyokap lo, hama!"

"Anj—"

"STOP! STOP!"

Mata Regan refleks terpejam. Namun, dia sama sekali tidak merasakan sakit. Perlahan kelopak itu terbuka, yang ada hanya sepatu Malven yang jaraknya begitu dekat dengan muka. Lalu langkah kaki lain tampak mendekat ke arahnya. Regan melihat seorang gadis, berlari, lalu meletakkan beberapa kertas di lantai untuk kemudian membantunya berdiri.

Malven menerengkan kepala menatap gadis yang membantu Regan. Seperti tidak asing.

"Apa-apaan, sih? Kenapa harus ribut? Apa nggak bisa diomongin baik-baik? Lo itu lagi di sekolah bukan di ring tinju!" marah si gadis berkuncir kuda yang rambutnya berwarna sedikit kecokelatan itu kepada Malven.

"Nggak bisa ngomong baik-baik sama hama, Ta, percuma, hama nggak ngerti bahasa manusia." Regan ikut semakin memojokkan Malven. Ketos itu merasa ada yang membela, jadi dia besar kepala. "Percuma sekolah, tapi tingkah laku tetap kayak preman yang nggak berpendidikan."

Di tempatnya, Malven memilih diam, tidak mau menyanggah. Bukan kehabisan kata, tapi Malven hanya ingin lihat, sampai mana Regan akan terus melakukan playing victim terhadapnya.

Beberapa saat setelah itu Regan dan si gadis tadi melenggang pergi. Otomatis Malven ikut memutar badannya. Benar dugaan Malven, itu hanya akal-akalan Regan saja. Seperti biasanya, Regan akan terlihat tersakiti dan Malven yang akan jadi penjahatnya. Oh, astaga, Malven muak dengan drama ini. Namun, sesuatu mengkilap sukses menarik perhatian Malven. Bergegas dia berlari, mengambil sebuah kalung besi lengkap bertuliskan sebuah nama pemiliknya, mungkin?

"Aleta Pricilla?"

Apa kalung ini jatuh dari cewek tadi?

Malven pun tersenyum penuh arti. Baiklah, lupakan soal muak akan drama di atas, Malven sepertinya mulai menemukan peran sekarang. Jadi orang jahat kan? Malven bisa untuk melakoninya. Lihat saja.

"Lo milik gue sekarang, Aleta Pricilla."

—o0o—

aku harap kalian menyukai cerita ini sama kayak aku.

yang udah pernah baca dan sekarang sedang baca ulang, jangan spoiler yaaa🤫

MALVEN ALVITO [Sedang PO]Where stories live. Discover now