[Teaser] Sang Suami

55.4K 2.1K 48
                                    

HARA

Setelah sejam memanjakan diri dengan berendam aromaterapi, aku keluar kamar menuju dapur. Kukenakan kaus longgar bertuliskan NYC berwarna abu-abu dan celana pendek berbahan katun-pakaian santaiku sebelum menikah. Rambut panjang kemerahanku cukup rapi setelah kukeringkan tadi.

Kulangkahkan kakiku yang masih pegal akibat aktivitas semalam dengan pelan tanpa suara. Apartemen mewah ini dua kali lebih luas daripada apartemenku, hanya saja lebih minimalis. Jendela kaca lebar dan berkorden tipis tak lantas membuat ruangan ini dingin sedingin udara di luar sana karena pemanas ruangannya berfungsi dengan sangat baik.

Membosankan. Dua bulan tinggal di sini, tetap saja aku merasa asing dengan seisi rumah ini-jika masih bisa disebut rumah. Hanya warna hitam, putih, dan abu-abu yang mendominasi setiap sudutnya.

Aku tidak terbiasa dengan semua kemewahan ini. Well, aku hanya gadis Jepang biasa-mungkin tidak juga. Dengan penampilan seperti ini, orang-orang yang melihatku pasti mengira aku ini warga negara asing, lalu mereka akan salah tingkah setelah mendengarku berbicara.

Ya, ibuku seorang France dan ayahku orang Jepang.

Aku hanya tinggal dengan ibuku. Ayahku? Entahlah. Pria itu meninggalkan ibuku tanpa mau bertanggung jawab. Aku dan ibuku hanya tinggal berdua hingga umurku tujuh belas tahun, Mom-panggilanku padanya- kembali ke negara asalnya dan menikahi George. Dia mendidikku agar aku mandiri dan tegar, untuk itu aku tak ingin membuatnya merasa terikat di sisiku. Jadi, aku mulai bekerja dan membiayai kuliahku sendiri meski Mom masih tetap mengirimiku tunjangan.

Kembali ke dunia nyata, mataku menyusuri ruangan putih ini hingga pandanganku menangkap sosok yang duduk di kursi mini bar, membelakangiku. Punggung lebarnya terbungkus jas hitam dengan rambut hitam cepak terpotong rapi. Dia terlihat menawan saat menyesap kopi paginya. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan angka delapan. Saatnya dia berangkat ke kantor.

Aku mendekat ke arahnya, mengambilkan tas kerja di kursi sampingnya. Tanpa melihatku dia berdiri lalu berjalan menuju gantungan mantelnya di belakang pintu. Dia mengambil mantel hitam panjang berbahan tebal dan mengenakan syal abu-abu untuk menghangatkan lehernya. Lagi-lagi menghindariku. Aku menghela napas dan menghampirinya, lalu kuberikan tas kerjanya dengan gugup.

Dia terdiam sesaat, memandangiku dengan wajah datarnya, seperti biasa. Mata biru sedingin salju yang menajam di balik kacamata bening ber-frame hitamnya itu selalu membuatku meremang. Aku menarik napas, mengusir kegugupan yang selalu melanda saat berhadapan dengannya, dan juga takut. Tapi ada satu hal tak terjelaskan yang membuatku tetap bertahan di dekatnya, lebih tepatnya, aku merasa nyaman di sisinya. Entahlah.

Dengan kaku dia meraih tasnya yang kupegang, masih berdiri menjulang di depanku. Tinggiku yang sudah di atas rata-rata wanita Jepang yang kebanyakan mungil juga masih sebatas lehernya. Mungkin tingginya 185 cm atau lebih jika kutaksir, entahlah.

"Aku berangkat. Jangan meninggalkan rumah tanpa seizinku." Suara bariton yang dingin dan datarnya memecah keheningan di antara kami. Kuanggukkan kepala pelan lalu menundukkan wajahku mendengar bahasa formalnya. Aku pun harus menggunakan bahasa formal.

Dia terlahir dan dididik sebagai penerus usaha keluarga karena merupakan cucu laki-laki satu-satunya di keluarga Shimizu. Salah satu klan keluarga terhormat dan terpandang di Tokyo. Oh, jangan lupakan, dia juga suamiku sekarang.

"Itterasshai*," ucapku pelan melihat pria tegap itu sudah berbalik menuju pintu. Dia pasti mendengarku tapi tak menoleh sama sekali. Sosoknya menghilang di balik pintu silver yang tertutup rapat. Selalu seperti itu. Aku mendengus kasar dan mendaratkan pantatku ke kursi bar lalu memandang tiap sudut ruangan luas ini.

"Hm ... Apa yang bisa kulakukan di tempat membosankan seperti ini ya?" Oh, mungkin membaca bisa membunuh waktu hari ini. Lagi.

*Hati-hati

***

"Kau kenapa?"

Suara anak laki-laki yang tiba-tiba terdengar membuat seorang gadis kecil berambut kemerahan terkejut.

Wajahnya mendongak berusaha melihat anak itu lebih jelas karena posisi anak itu yang membelakangi sinar matahari. Gadis kecil itu memicingkan matanya karena silau, membuat anak laki-laki itu terkekeh lalu berjongkok di depannya.

Celana panjang kebesaran dengan rantai di pinggangnya, jaket ber-hoodie merah yang di dalamnya kaus hitam bergambar tengkorak membuat gadis itu langsung menebak, anak bandel, pikirnya.

Anak laki-laki itu tersenyum lebar hingga menampakkan gigi rapinya saat gadis kecil itu ketahuan memperhatikannya lalu memalingkan wajahnya yang merona.

"Tadi jatuh ya? Eeh! Berdarah!" pekik anak laki-laki itu menunjuk luka di lutut gadis tadi. Si gadis terkikik karena reaksi berlebihan anak itu.

"Tidak sakit?"

"Hn." Gadis itu menggeleng, tersenyum melihat tingkah anak laki-laki di depannya yang menurutnya lucu.

"Benarkah?" tanyanya sekali lagi. "Kenapa tidak menangis?"

"Ha?"

"Bukankah gadis kecil yang manja sepertimu ini harusnya menangis saat terjatuh? Berapa umurmu?" Gadis kecil itu mengernyit kesal.

"Namaku Seki Hara," jawab gadis itu kesal tanpa menjawab pertanyaan aneh anak itu. Anak itu kembali terkekeh.

"Ah ... Iya ... Namaku ..."

***

Triiriiriiit ... Triiririiit.

Aku terperanjat mendengar dering telepon yang nyaring. Mimpi aneh itu lagi. Kulirik jam dinding dan seketika mataku membulat sempurna melihat jarum jam menunjuk angka empat. Aku melompat bangkit dari kursi baca lalu mengembalikan buku fiksi ke sepuluh yang kubaca hari ini ke rak buku besar ruangan baca. Dengan leher dan punggung yang pegal karena ketiduran tadi, aku keluar dengan tergesa.

Sebentar lagi suamiku pulang. Sebentar lagi dia pulang. Seharian ini kuhabiskan di apartemen saja meskipun dia mengizinkanku keluar, walau setidaknya pasti ada dua bodyguard yang ditugaskan untuk menjagaku. Ugh, rasanya risih dan lebih baik mendekam di balik penjara mewah ini saja.

Ya, ini memang seperti penjara bagiku.

Bahan makanan sudah tersedia tapi tetap saja setiap jam makan, ada pelayan dari Rumah Besar yang datang mengirim makanan atau bahkan memasak di sini. Mereka akan memohon padaku untuk duduk diam dengan tenang tanpa merecoki pekerjaan mereka. Untuk membersihkan apartemen pun pelayan yang melakukannya. Saat aku bersikeras membantu, lagi-lagi mereka bersikeras agar aku tak perlu berbuat apa-apa karena takut di pecat suami otoriterku itu.

Aku hanya bisa menghela napas pasrah, merasa sangat tidak berguna. Oh, setidaknya aku masih berguna melayaninya di ranjang. Hal yang terkadang membuatku miris merasa statusku sebagai istri, tapi hanya sekadar pemuasnya saja.

Seperti pelacur profesional, bukan?

Kembali pada telepon yang berdering, setengah berlari ke ruang tengah kuangkat agak panik. Kuharap dia tidak marah.

"Malam ini makan malam di Rumah Besar. Pakai pakaian yang sudah dikirim. Jam tujuh kita berangkat," potongnya dari ujung sana saat aku hendak menyapa moshi-moshi*. Suara bernada dingin dan kesalnya–Er, mungkin karena aku terlalu lama mengangkatnya- membuatku mengangguk cepat. Menyadari kebodohanku, aku langsung bergumam mengiyakan.

"Ya, aku mengerti," jawabku tepat sebelum mendengar bunyi tanda telepon diputus sepihak olehnya.

Aku mendecak kesal, mengembalikan gagang telepon ke tempatnya lalu menjatuhkan tubuhku ke sofa.

"Setidaknya bisa basa-basi dulu." Mulutku tanpa sadar menyuarakan batinku, "Rasanya itu sangat mustahil."

Ugh, daripada terus memikirkan sikap menyebalkannya itu, lebih baik aku segera bersiap-siap untuk makan malam dengan keluarga besarnya nanti.


*moshi-moshi : Halo [ungkapan panggilan]

Beyond His Cold HeartWhere stories live. Discover now