[Teaser] Rumah Besar

41.6K 1.8K 21
                                    

HARA

Aku menarik napas dan meremas tanganku yang gemetar di atas kimono merah sutra bermotif bunga sakura yang kupakai sekarang. Keluarga besar suamiku memang masih menjunjung nilai tradisi, tidak seperti kebanyakan keluarga terpandang lain yang hidup modern. Aku tertawa kecil menyadari perbandingan lucu ini. Sedangkan aku memiliki fisik orang asing tetapi sangat lancar berbahasa Jepang-well, tentu saja aku lahir dan besar di sini-bahkan sekarang aku menikahi pria dari keluarga Jepang.

Entahlah, aku masih saja gugup walaupun ini bukan pertemuan pertamaku dengan keluarga besarnya. Ya, ini pertemuan keduaku setelah acara pernikahan dadakan dulu.

Aku mengusap keringat dingin dari tanganku, mengalihkan pandanganku dari luar jendela mobil ke sosok yang sejak tadi duduk di sampingku. Pria es itu-er-maksudku suamiku.

Dia begitu tenang dengan mata terfokus pada tablet canggihnya. Dasar pebisnis! Kulirik tubuh tegapnya yang menawan berbalut kemeja kerja berlapis sweter marun yang memang pakaian wajib saat musim dingin seperti ini. Kaki panjangnya disilangkan mengingat mobil ini berjenis limusin, jadi ruang geraknya lebih luas.

Bicara tentang fisik tadi, ada sesuatu yang membuatku penasaran pada sosoknya-ugh yeah, suamiku. Kebanyakan orang Asia terutama orang Jepang, mereka akan memiliki iris mata berwarna hitam atau cokelat. Tapi mata pria ini, biru terang? Sedangkan rambutnya hitam legam?

"Puas memandangiku?" Suara bariton itu membuatku salah tingkah. Tapi mataku belum rela meninggalkan santapannya.

"Ehm." Aku menoleh ke depan. Dia sama sekali tidak menoleh padaku.

Sial. Kenapa perjalanan ini terasa lama sekali? Ini. Sangat. Hening. Terlalu hening. Tanganku sudah gatal ingin mengetuk kaca pembatas agar supir menyalakan musik atau apa pun.

Dia tetap saja tak acuh meski kuperhatikan sedari tadi. Oh, aku tak berharap dia seperti kekasih atau suami senormalnya. Mengobrol banyak hal, bersikap romantis dan perhatian. Oh, wake up, Hara!

Tentu saja, mengingat pertemuan pertamaku dengannya. Tapi melihat sikapnya selama ini membuatku cukup tahu diri. Aku tersenyum miris kembali menatap salju putih yang memenuhi jalanan, atap serta pepohonan di luar sana.

Ah, musim salju tahun ini sepertinya akan terasa sangat dingin. Mungkin lebih dingin.

Melewati lima belas menit perjalanan dalam diam, akhirnya mobil kami melintasi kawasan perumahan elite di distrik Azabu-Juban, daerah Minato, Tokyo. Kawasan permukiman bagi keluarga terpandang dan terkenal tentu saja.

Mobil kami memasuki halaman luas sebuah rumah yang sangat besar dan megah. Tampak bagian depannya rumah bergaya arsitektur Jepang, di beberapa bagian dipadu arsitektur post-modern barat. Rumah Besar. Sebuah rumah utama yang terhubung dengan koridor menuju empat paviliun di sekelilingnya. Ada kebun luas dengan pohon suji dan tanaman yang terpangkas rapi, meskipun memutih karena tertutup salju. Sepanjang jalan menuju rumah, para pekerja mengeruk salju agar tak menghalangi jalan kami.

Seorang pelayan paruh baya tergopoh-gopoh membukakan pintu untukku. Dia membungkuk hormat padaku saat suamiku sudah di sampingku. Meskipun aku harus terbiasa diperlakukan seperti ini, tapi tetap saja ini tak biasa bagiku.

"Selamat datang, Tuan Muda dan Nyonya Muda. Tuan Besar dan yang lainnya sudah menunggu Anda." Nyonya Muda. Itu julukanku sekarang dan harus mulai akrab di telingaku.

"Hm," gumam suamiku tanpa ekspresi. Seperti biasa.

"Terima kasih, Sebastien," kataku ramah pada kepala pelayan itu. Sebastien, kepala pelayan itu tersenyum kecil saat membukakan pintu utama Rumah Besar untuk kami.

Beyond His Cold HeartWhere stories live. Discover now