47. Nightmare For Life

160 13 8
                                    

"Aku nggak mau kamu menderita

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

"Aku nggak mau kamu menderita. Ya udah, kalau kamu mau pergi nggak papa."
---




Separuh jiwaku hilang seiring langkah pelan ini mendekati sosok yang tengah terbaring kaku di sebuah ruangan. Namun, suara seseorang dari dalam sana menghentikan niatku. Aku tertahan di depan pintu, merasakan lelehan air mata yang terasa hangat.

"Bangun, Jun. Lo nggak mungkin setega itu ninggalin Inra, kan?"

"Dia... Dia ketakutan. Dia nggak mau kehilangan lo. Lo dunianya dia, lo penyembuh dia, lo segalanya buat dia. Kalau lo milih pergi, dia gimana, Jun?"

Yangyang benar. Semua yang dikatakannya benar. Aku juga bertanya-tanya, meskipun tidak mampu, ya Tuhan... Akan seperti apa hidupku tanpa dia?

Tetapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin egois memikirkan diri sendiri. Faktanya, Renjun sangat kesakitan. Sakit sekali.

"Gue belum bilang maaf sama lo. Gue juga belum bilang makasih. Apa gue nggak pantes dapet kesempatan itu, Jun?" Suara Yangyang mengalun dengan sangat parau. Seolah dia tengah mengemis dengan sepenuh hati untuk diberi kesempatan itu.

"Selama ini... Sebagai sepupu lo, gue nggak pernah berbuat apa-apa. Tapi lo, lo selalu berbuat baik sama gue. Meskipun gue selalu berbuat kejam, lo selalu mau nasihatin gue, Jun. Lo sering gantiin gue ke acara Eyang, lo juga gantiin gue di Shadow Game. Makasih buat semuanya, Jun. Ayo bangun, kasih gue kesempatan buat bales semua itu."

Suasana menghening seketika. Suara Yangyang tidak lagi terdengar. Hanya bunyi elektrokardiograf yang bernada kini mengambil alih sekitarku. Tetapi beberapa detik setelah itu aku mendengar isak tangis. Itu Yangyang, dia menangis di atas punggung tangan sepupunya.

"Gue... Maaf, Renjun. Ayo bangun..."

"Hei, bangun. Buktiin ke semua orang kalau lo itu kuat. Bangun!"

"Ish..."

Tubuhku bergetar mendengar rengekan Yangyang. Hanya dari suaranya saja aku bisa merasakan bagaimana pilunya itu, dua anak laki-laki yang tidak pernah terlihat akur, sore itu dengan disambut senja yang menjingga, salah satunya menangis sangat lirih demi sebuah kesempatan langka.

Jika keadaannya tidak seperti ini, aku akan jadi yang paling bahagia melihat Yangyang mempedulikan Renjun. Namun, dalam keadaan seperti ini, justru yang mungkin kulakukan adalah berdoa dalam diam.

Pintu di depanku terbuka. Yangyang melangkah keluar dari dalam ruangan itu, pelan sekali menghampiriku yang masih bersandar di dinding. Mata Yangyang berair, hidungnya juga memerah, dia benar-benar terlihat rapuh. Tetapi kemudian, dia mengukir senyum. Tangannya terangkat untuk mengusap pipiku.

"Kamu... " Yangyang mengempas tangannya kemudian. "Aku juga nggak tega lihatnya, Ra. Tapi, apa keputusan kamu, Ra?"

Aku menggelengkan kepala. Ayolah, siapa yang akan langsung merelakan hal seperti ini?

Annyeong Renjun [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant