55

447 21 10
                                    

Berdiri di depan westafel ruang kesehatan dengan keran yang masih menyala, Leonar meraup wajah dengan air, mencoba menghilangkan panas membara yang berkobar di kalbu.

Persahabatannya dengan Niel sungguh erat hingga ia sering berkunjung ke rumahnya saat kuliah di Amerika dulu, walau mereka beda dua tahun tidak berarti keakraban tidak terjalin.

Namun, peristiwa itu sungguh menoreh luka yang begitu dalam. Leonar tidak berdaya untuk menyelamatkan kedua orang tua Niel, juga Florentina yang sungguh sudah ia anggap sebagai adik sendiri, beruntung ia tidak kehilangan Niel walau luka tembak mengakibatkan kaki kiri sahabatnya itu kehilangan fungsi.

Harus mengurai cerita lama sungguh melemaskan semangat dalam diri Leonar, rasanya energi dalam diri terkuras seluruhnya. Salahkah ia sudah menjamah dunia kelam itu demi melindungi orang-orang yang ia sayang. Pilihan apa yang bisa ia tempuh demi menjauhkan keluarga dan sahabat-sahabatnya dari mara bahaya.

Mengepalkan tangan, Leonar berusaha menekan emosi. Selama ini ia bisa mengendalikannya, akan tetapi beberapa peristiwa terakhir membuat rasa itu menekan. Apalagi pertemuannya dulu dengan Frentina Raufagle sungguh tidak dalam momen menyenangkan, wanita yang tidak pernah ditemuinya dan hanya tahu dari foto yang pernah ditunjukkan Florentina itu sungguh membuatnya sangat kecewa.

Jemari Leonar kini membuka satu per satu kancing baju hitam yang melekat di tubuh, menyampirkan di pundak lantas memeriksa luka yang tadi sudah terobati. Tidak terlalu dalam, akan tetapi harus diwaspadai bilakah tedapat racun yang dibubuhkan pada peluru yang mengenai, seperti trik yang dimainkan oleh seorang yang sangat dikenalnya.

Segera ia membuka laci obat-obatan khusus dan mulai meracik apa yang diambilnya, suatu keterampilan yang sudah sangat dikuasai, ia mempelajarinya diam-diam setelah lulus sekolah menengah hingga saat ini. Meminumnya setengah resep, Leonar berusaha menata hatinya yang sungguh berantakan.

***--**--***

Luka di kepala terasa begitu nyeri, baru Neira sadari saat ia melihat luka itu di cermin kamar mandi, membekas tidak hanya di pelipisnya saja tapi dibagian kanan kepalanya. Haruskah ia mengunting rambutnya demi mengobati luka tersebut.

Emosi di depan Frentina yang menguasai tidak membuatnya begitu merasa sakit atas vas porselen yang dilempar wanita itu mengenainya, tapi sungguh sakit itu terasa setelahnya, bahkan bagaimana ia bisa mengoleskan obat di lebam punggungnya.

Mendengkus, Neira sadar kalau obat yang tadi diberikan Marco padanya masih tertinggal di meja padahal dirinya sudah enggan bergerak setelah memutuskan untuk langsung memasuki kamar mandi dan menutup kembali gorden kamar sebelumnya. Mengabaikan yang terlihat di pinggir kolam sana.

Mengambil obat dan berniat mencari baju ganti dari salah satu tumpukan baju di almari, Neira mencengkram sebuah bathrob di pelukan sebelum menutup kembali pintu almari sledding tersebut.

Apakah ia boleh memakainya? Atau memakai yang lain juga? Baju Leonar yang tertata rapi di dalam Almari tersebut. Setitik bening jatuh membasahi pipi, kenapa juga dia harus sensitive sekali hari ini.

Berendam air hangat tak mampu membuat perasaan Neira membaik. Malah kilasan balik pertemuan dengan sang kakak memenuhi pikiran, membuatnya semakin gusar.

Lama ia kembali berdiri di depan kaca westafel, ia tidak terbiasa untuk tidak memakai apapun didepan benda yang memantulkan bayangan dirinya itu hingga ia harus membuka sebagian bathrob yang menutupi tubuh untuk melihat sampai mana lebam dipunggungnya. Berniat untuk segera mengoleskan obat yang tadi dibawa masuk tidak ingin terperosok lebih jauh  dalam pikiran yang kini menguasai.

"Kamu! ... Keluar! ... ."
Suara itu menggema memenuhi ruang kamar mandi, menyentak Neira sehingga obat dipegangan tangan terlepas jatuh ke lantai.

Neira terburu memperbaiki bathrob yang dipakainya, dengan gugup membalikkan badan sehingga kakinya menginjak obat yang tadi teronggok di dekatnya berdiri.

Tercenung, Neira membulatkan mata, hatinya mencelos seketika melihat pistol itu ditodongkan kepadanya oleh pria tersebut yang berdiri di ambang pintu kamar mandi, tak lain Leonar.

Mengerjabkan mata, Neira seolah tidak percaya bahwa yang berdiri di sana bertelanjang dada adalah sosok suaminya, tapi kenapa tatapan itu begitu menghujam tertuju ke arahnya, dan sepertinya dia tidak akan segera menurunkan pistol itu walau tahu yang ada dalam kamar mandi tersebut adalah Neira.

"Apa kamu tidak dengar! Keluar sekarang juga!?"

Sekali lagi hati Neira merepih mendengar suara itu, berserakan tanpa tahu bagaimana akan menyatukan serpihannya. Langkah kecilnya meragu melewati sosok menjulang itu, ia ingin berlari dan segera keluar dari kamar tersebut. Berpikir bahwa ia benar-benar tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah, apalagi memasuki kamar pribadi Leonar. Perasaan tidak di inginkan kini benar-benar merajamnya. Tapi, haruskah seperti ini.

"Lepaskan! ... "

Neira menghentikan langkahnya bersamaan dengan suara itu terdengar, ia sudah berdiri ditengah ruang kamar dan membalikkan badan mencoba kembali menatap wajah Leonar yang kini sudah menurunkan pistolnya memasukkan kembali dalam holster seraya menghampirinya membuat Neira mundur berhenti ketika kakinya membentur tempat tidur, menyembunyikan rasa takutnya yang mulai menjalar, melunturkan keberanian yang tiba-tiba tadi mencuat menginginkan kepastian atas perilaku Leonar terhadapnya barusan.

"Apa aku harus memaksa untuk kamu melepasnya!" Leonar mengulurkan tangan mencengkaram barthrob yang dipakai Neira.

Tercengang, Neira reflek memegangi tangan Leonar, "Aku ... Aku tidak memakai apapun dibaliknya," agak gemetar Neira akhirnya bisa berkata. Ada bening yang berusaha ia tahan kuat untuk tidak jatuh ke pipi.

Tapi, seolah tidak mendengar kata yang barusan terlontar, Leonar sudah membuka bathrob yang dikenakan Neira, hanya untuk melihat punggunggnya sehingga wanita ini membuka kembali matanya setelah sejenak menutupnya.

"Kenapa seperti ini? Kamu bertindak menuruti emosi?"

Neira meringis menahan sakit oleh tekanan jemari Leonar di pundak dan punggungnya, ia benar-benar ingat bagaimana pria ini melindungi dirinya saat menemui Edward Maulana, memastikan Neira baik-baik saja tanpa tergores sedikit pun, namun tindakannya untuk menemui Frentina malah membuatnya cidera.

"Apa rasa penasaran membuatmu tidak punya pikiran!"

Menggigit bibir bagian dalam, Neira mencoba untuk tidak meledakkan tangisnya. Seolah saat ini Leonar menyalahkannya atas luka yang ada ditubuhnya. Namun, siapa tidak penasaran jika seorang  yang berstatus suami mengajak wanita lain yang jelas-jelas tahu sangat menginginkannya, mengajaknya ke villa pribadi yang sungguh sangat mewah dan megah beserta orang kepercayaan yang ada disekitar wanita itu untuk menjaganya.

" Kau!... " dengkus Leonar setelah tangannya menyibak rambut Neira, tidak ada kata lagi sebelum pria ini beranjak keluar kamar  meninggalkan Neira sendiri yang menatap kosong dan akhirnya mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia sudah tidak bisa menahan apapun lagi yang memenuhi dadanya, sungguh perasaan apa ini, Neira sangat membencinya. Tidak ingin mengakui rasa sakit ini tapi ia sungguh merasakannya.

Menaikkan kedua kaki dan memeluknya, akhirnya Neira membanamkan wajah diantara kedua kakinya, tergugu tenggelam dalam luka yang tiada bisa dilihatnya.

Tbc.........

Thursday, 12 may 2022

Ketika tubuh terasa lelah untuk menerka,
Apakah sapaan ribuan bintang dapat mengembalikan suasana jiwa,
Bilakah malam tiada angin menerpa,
Akan mencekik terasa di ruang sempit yang hampa.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 12, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TOUCH MY HEARTWhere stories live. Discover now