03 :: Echelon

547 111 26
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.












"Dia Jisoo, putri bungsu Pratama, kamu seumuran sama beliau." Taeyong Achilles, anak lelaki berusia sembilan tahun itu terdiam, merapatkan bibirnya dengan sorot menatap foto yang terlapisi bingkai hitam lawas di depannya dengan tatapan datar. Ada seorang gadis mungil di dalam figura, duduk dengan tegak sembari memegang dua buku tebal di pangkuannya. Taeyong memiringkan kepala, kemudian iris hitamnya bersibobrok dengan netra serupa milik ibunya.

"Lalu, apa hubungannya sama Taeyong?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari mulutnya tanpa pikir panjang, sebenarnya dia sedang sedikit kesal. Bukan tanpa alasan. Taeyong sedang bermain catur dengan pengasuhnya, akan tetapi sang ibu begitu semangat menariknya pergi meninggalkan area taman, memilih kamar pribadi sang wanita untuk melakukan konversasi.

"Dia mungkin calon tunangan kamu."

"Uhuk!" Taeyong refleks terbatuk, terkejut bukan main saat mendengar penuturan sembarangan ibunya. Ia menutup mulut menggunakan punggung tangan saat batuknya justru tidak berhenti, membuat wanita dewasa yang duduk di depannya justru mengukir senyuman manis.

"Cantik, kok? Lucu, dia juga cerdas. Nilai dia selalu sempurna, efek home schooling dan pendidikan yang cukup ketat. Dia paling cocok sama anak mama yang paling ganteng di dunia," kata Cecilia sudah narsis sendiri seraya mencubit pipi putranya dengan gemas. Taeyong berdeham berulang, pun dengan tangan kanannya kini menggaruk lehernya yang tak terasa gatal, seiring wajah lelaki muda ini dia palingkan ke lain arah, asal tidak menatap mata berbinar ibunya yang sifat mak comblangnya mulai terlihat.

Taeyong merengut kecil. "Aku, kan, masih kecil."

"Nanti, kan, besar. Kamu kalau nikah sama Jisoo aja. Kita punya relasi, kok, sama keluarga Pratama."

Ibunya berpikir terlalu jauh.

Taeyong sendiri kini menghela napas, tak tahu harus merespons bagaimana. Ibunya merupakan orang yang nekat, sekali berambisi pasti wanita ini akan berusaha sekeras mungkin kendati harus merangkak-rangkak. Kalau Taeyong abaikan begitu saja, sudah jelas ke depannya akan segigih apa sang ibu untuk terus membuat Taeyong merasa tertarik dengan ide ekstrem ini.

"Iya, aku nurut aja."

"Good boy!" Cecil menepuk kepala Taeyong pelan, merasa bangga. "Ibu sudah berdiskusi dengan Pak Revan, katanya beliau mau menerima kamu sebagai satu-satunya teman bicara Jisoo."

"Teman bicara?" Taeyong refleks menatap wanita di depannya, mengernyit samar. "Temen dia cuma aku?"

"Iya," kata Cecil seraya mengulas senyuman hangat. "Jisoo sukar diajak bersosialiasi, ibu harap kamu bisa jadi orang yang Jisoo bisa andalkan. Jangan membuat anak itu kecewa, jangan buat dia membenci kamu. Apa kamu mau melakukan itu, Taeyong?"

Pertanyaan Cecil membuat Taeyong kembali mengatupkan bibir. Wanita itu mengelus surai lebat sang putra lalu memeluk tubuh anak lelaki itu, memberi tepukan pada punggungnya, memberi isyarat agar Taeyong tidak merasa dipaksa. "Kamu bebas nentuin, kok. Kalau nggak mau, nggak apa-apa. Taeyong bisa main sambil belajar di rumah ini aja. It's okay, Ibu cuma kasih tawaran."

Ambivalent [17+] [Jisyong]Where stories live. Discover now