22 || Selamat Tinggal [End]

4 2 2
                                    

Menuruni anak tangga dengan ekstra hati-hati, tangan Adnan tidak lepas mengandeng tangan Adiba dengan raut wajah yang begitu nampak senang melihat keluarga besar kumpul di rumah.

Sang ibu memeluk Adiba seraya mengucapkan selamat atas kehadiran anak di dalam kandungannya yang masih berjalan beberapa minggu.

Duduk berkumpul di ruang tamu bersama, sembari bercerita. Namun lain halnya dengan Adiba yang hanya diam dan lebih banyak melamun entah mengapa hari ini. Walaupun sesekali tersenyum, tapi itu hanya sebentar.

Bunda Haliza dan Rina sibuk di dapur untuk mempersiapkan hidangan untuk makan bersama. Adiba berjalan ke teras sendiri untuk mencari suaminya yang tidak kunjung terlihat beberapa menit lalu.

"Mas Adnan kemana sih? Di sini masih ada banyak keluarga kok dia menghilang gitu aja."

Saat di rasa tidak kunjung melihat Adnan di luar, Adiba masuk kembali. Namun, seketika tangan Adiba seperti ada yang mencekal dari belakang. Mencoba beberapa kali melepaskan cekalan itu, tapi tetap saja orang itu menarik tanpa memperhatikan jika sekarang Adiba tengah mengandung.

Beberapa kali mencoba meminta tolong, tapi tidak ada yang kunjung keluar karena jarak gerbang dengan ruang tamu begitu jauh. Sulit untuk mereka mendengar suara Adiba.

Cekalan itu mampu terlepas dan Adiba berlari sekuat mungkin dari kejaran orang itu. Namun, tetep saja mampu terkejar hingga kini Adiba tidak bisa berlari kemana-mana, mengikis jarak dan menggunci ruang gerak Adiba yang membuat dirinya hanya mampu pasrah.

"Hai Adiba, gimana kabarnya?" ucapnya yang langsung mengelus perut Adiba. Nampak jika orang yang ada di hadapan ini, mengetahui jika Adiba sedang mengandung.

"Tante kenapa mengejar Adiba? Adiba salah apa sama tante?"

"Kamu tanya kamu salah apa? Salah kamu itu banyak!" Dona begitu emosi jika melihat Adiba begitu bisa bahagia di atas penderitaan anaknya yang sudah nampak frustasi dengan hidup yang harus ia alami sekarang.

"Kamu sudah membuat anak saya frustasi, menangis dan yang lebih parah lagi anak saya buta karena kamu! Karena kamu Adiba!!!" Memegang kedua pundak Adiba dengan kasar dan membenturkan ke tembok di belakang Adiba. Adiba meringis kesakitan, ia hanya bisa berdoa semoga saja ada yang merupakan yang menolong dirinya dari Tante Dona yang sedang terbawa emosi.

"Maksud tante apa?"

"Semenjak kamu nikah dengan Adnan anak saya jadi sering menangis di kamar, dia seperti kehilangan arah tidak jarang pula sering mengurung dirinya sendiri. Hingga suatu hari ia mencoba bunuh diri melihat kalian kembali di sebuah rumah sakit yang kabarnya kamu sedang mengandung kan? Pupus harapan untuk mencoba mendekati Adnan!!!"

"Maaf tante, tapi cinta tidak bisa dipaksakan. Maaf kalau gara-gara saya jadi seperti ini." Mencoba terus meminta maaf walaupun sebenarnya posisi Adiba tidak salah sepenuhnya.

"Maaf? Maaf kamu sudah telat!" Mendorong kembali hingga kini tubuh Adiba terbentur aspal akibat pentalan mobil dengan kecepatan tinggi yang kebetulan melintas di jalan itu.

Tante Dona lari begitu saja tidak menolong Adiba yang beberapa kali mencoba meminta bantuan. Baginya melihat Adiba seperti ini sudah impas dengan apa yang dirasakan putrinya.


•••

Dering handphone berbunyi membuyarkan semua orang yang cemas akan keberadaan Adiba. Adnan mengangkat telfon itu dan seketika tubuh lemas. Semua orang yang ada di sana nampak begitu bingung dengan raut wajah Adnan yang seketika berubah.

"Adnan siapa yang menelfon? Pasti istri kamu kan?"

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Adnan lari dengan cepat mengambil kunci mobil menuju rumah sakit tempat di mana istrinya kini berada.


•••

Sempat tersadar sebentar dan meninggalkan pesan untuk dokter untuk diberi tahukan kepada keluarga dan seseorang yang sedang merasakan sama seperti dirinya.

Tak lama kemudian Adiba sudah tidak sadar kembali, dengan cepat dokter mengambil tindakan setelah menyadari jika pasien kini tengah mengandung.

Adnan menunggu di depan ruang UGD, seketika bayangan dulu terulang kembali. Ia takut akan kehilangan yang ia rasakan dulu.

"Mam, Adiba pasti selamat kan?"

"Kita berdoa saja untuk keselamatan Adiba."

Adnan hanya mengganguk, ia sangat begitu sedih sama halnya dengan kedua orang tua Adiba yang yang tidak henti menangis sepanjang perjalanan.

Hampir beberapa jam lamanya mereka semua menunggu kabar dari dokter. Nampak perawat yang keluar dari ruang UGD di susul dengan dokter yang langsung Adnan tanyai.

"Dok, gimana keadaan istri saya? Anak saya baik-baik saja kan dok?"

Dokter hanya diam, membuat semua orang di sana terus-menerus mendesak dokter yang menangani.

"Maaf istri anda dan anak di dalam kandungannya tidak bisaa di tolong. Benturan yang keras dan istri anda tadi telat untuk lekas dibawa kemari."

"Hah? Ini engga mungkin dokter!" Masuk ke dalam ruangan melihat wajah sang istri dan menggoyangkan tubuh untuk mencoba membangunkannya.

"Adiba Kamu lagi tidur ya? Bangun yuk kita pulang sayang, katanya kamu mau jalan-jalan ke pasar malam lagi sama aku dan anak kita nanti kan?"

"Adiba bangun Adiba, aku engga bisa kehilangan kamu."

Bunda Haliza melihat putri satu-satunya seketika pingsan tidak kuat dengan apa yang di lihat di depannya.

"Mam ini cuman mimpi kan? Adiba lagi tidur kan? Owh iya, aku lagi mimpi pasti."

"Sayang kamu tidak mimpi, ikhlaskan istri dan anakmu. Biarkan mereka tenang di sana." Memeluk tubuh Adnan yang nampak bergetar belum percaya akan semua yang terjadi. Baru saja ia merasakan bahagia, tapi kini ia hadapan kembali yang namanya kehilangan.

Nampak perawat yang hendak memindahkan Adiba, tapi Adnan mencegah dan menutup pintu itu.

"Tidak ada yang boleh membawa istri saya! Kalian semua tidak melihat? Istri saya lagi tidur, pergi kalian semua!!!"

Terus menangis dan seakan mengajak berbicara Adiba yang jelas sudah nampak pucat.

"Kenapa cinta kita berakhir seperti ini? Ya Allah cobaan apa lagi yang menimpa keluarga hamba ini." Duduk di lantai yang terasa dingin. Dingin tidak terasa di tubuhnya.

Dengan terpaksa pintu itu dibukak, bagaimana pun proses pemakaman harus segera dilangsungkan melihat hari semakin gelap.


•••

Di tempat inilah tempat peristirahatan terakhir Adiba. Beberapa rombongan begitu banyak yang ikut bersedih atas kehilangan sosok orang yang begitu sabar setiap menghadapi cobaan.

Lili hanya terus menangis di depan baru nisan itu. "Adiba kenapa kamu ninggalin aku hiks? Kamu udah janji kan engga bakal ninggalin aku? Tapi mana buktinya?! Kamu ninggalin aku lagi Adiba."

"Adiba tolong kembali hiks, aku engga bisa kehilangan orang sebaik kamu. Mondi aku lagi mimpi kan? Pasti di dalam itu bukan Adiba!"

"Ikhlaskan Adiba Li, sabar ya. Pasti kamu kuat, kamu tidak mau kan membuat Adiba sedih di atas sana?" Menunjuk awan di atas.

"Kamu ngaco! Adiba masih hidup, sudahlah lebih baik aku pulang besok kan aku sudah janjian sama Adiba buat jalan-jalan." Pergi meninggalkan tempat pemakaman di susul dengan Mondi.

Memeluk begitu saja tubuh Lili, mencoba menguatkan dan menyadarkan akan apa yang sebenarnya terjadi.

"Lili ingat pesan Adiba dulu? Kamu tidak boleh sedih kan? Sekarang hapus air mata kamu, kamu tidak mau kan membuat teman kamu ikut sedih juga?"

"Ikhlaskan Adiba, biarkan dia tenang di sana ya."

Lili kembali histeris di depan mobil, ia belum menerima kenyataan hingga tidak lama kemudian tubuh Lili lemas dan langsung dengan cepat Mondi menghantarkan pulang.

•••

Selamat tinggal Adiba :)

Takdir Cinta Adiba [END]Where stories live. Discover now