Part 18 • Kalana

1.9K 272 28
                                    

"I have crush on you, La!"

Aku mengernyit heran. "Maksudnya?"

Bukannya tidak faham dengan arti kalimat yang barusan di dilontarkannya, melainkan aku menolak untuk percaya jika apa yang dikatakannya barusan berarti sama dengan arti kalimat yang di utarakan.

"Gue suka sama lo..." Tukasnya dengan wajah serius.

"Lo bercanda, Bang?" lagi-lagi aku masih memastikan karena laki-laki di hadapanku adalah orang nomor satu yang perkataannya tidak bisa aku percayai.

Dia mengangguk. Sedangkan aku diam tertegun.

"Cie kaget cie..."

Aku tidak berbohong jika SEKARANG aku sangat ingin melempari kepalanya dengan batu. Hampir saja aku percaya, dia justru melontarkan kata cie-cie dengan nada mengejek.

Sialan!

Aku mendengkus. "Jadi orang jangan kepedean, Bang!" Ucapku setelah menormalkan detak jantung. Aku harus mengubah ekspresi wajahku senormal mungkin agar Bang Aryan tidak curiga sama sekali. Dia tidak boleh menyadari bahwa ada perubahan ekspresi sejak dia dengan entengnya mengatakan satu kalimat yang membuat jantungku jumpalitan seketika.

"Gue emang orangnya kan super percaya diri, La!" Jawabnya sembari tertawa-tawa.

Aku mendelik, lalu melemparinya dengan botol air mineral yang sudah kosong.

Lari pagi bersama Bang Aryan adalah keputusan paling tidak tepat untuk dipilih. Alih-alih menjadi semakin sehat, aku mungkin justru malah terserang banyak penyakit karena tekanan darah yang naik drastis dan jantung yang memompa lebih cepat akibat perkataan dan perbuatan-perbuatannya yang tidak bisa di prediksi.

"Aw! Sakit, La." Keluhnya karena botol kosong ku berhasil mengenai dahinya.

Kulirik Bang Aryan memegang ujung dahi atas sebelah kanannya saat mengaduh pelan.

"Nggak usah manja, Bang!" Pintaku pada laki-laki yang hari ini menggunakan kaus berwarna hitam

Aku menarik napas, lalu berdiri dan menepuk-nepuk pelan bagian belakang celana untuk memastikan tidak ada debu yang menempel.

Meski aku sendiri duduk di pinggiran lapangan yang ditumbuhi rerumputan, tetap saja itu adalah gerak reflek yang otomatis karena baru saja duduk di tempat yang tanpa ada alas buatan manusia.

"Ayo balik, Bang!" Aku mengajak Bang Aryan untuk mengikuti langkahku, karena aku memang datang ke sini dengan di bonceng olehnya.

Masih dengan berjalan mendahuluinya, aku sedikit berpikir. Entah bagaimana aku benar-benar tidak tau bahwa dengan waktu yang singkat akan menjadi lebih dekat dengannya.

Keadaan yang berkali-kali memaksa kami untuk berhubungan, sehingga mau tidak mau selalu ada interaksi diantara kami bahkan hingga sedekat ini. I mean pergi joging bersama yang tidak pernah aku bayangkan sama sekali.

"Mau sarapan dulu nggak?" tiba-tiba mantan pacar kakakku ini sudah mensejajari langkahku dan menawarkan apakah aku mau sarapan dulu atau tidak.

"Dibayarin nggak?" tanyaku tanpa menoleh.

"Iya dong...." Aku menarik sedikit kedua sudut bibirku.

"Tapi gue masukin ke catatan utang." Lanjutnya yang membuatku ingin mengumpat.

"Kalo gitu langsung balik kos gue aja!" Jawabku tanpa lagi-lagi menoleh ke arahnya.

"Gue traktir deh!"

"Tapi nggak lo batesin maksimal sepuluh ribu kan?" tanyaku sembari melirik ke arahnya.

Aku harus memastikannya terlebih dulu karena jalan pemikirannya kerap kali berbeda dengan orang lain. Aku tidak tau mengapa, tapi dia ini hobi sekali mengerjai ku sehingga aku harus ekstra hati-hati.

"Enggak dong! Gini-gini gue banyak duit ya, La."

Aku mendengkus. "Duit dari orang tua aja bangga!" Jawabku tak kalah pedas.

"Yang penting sekarang udah jadi hak gue sepenuhnya!" Bang Aryan mencoba tidak mau kalah.

Aku hanya mengangguk-angguk. Seorang Aryan memang tidak mudah mengalah, sehingga lebih baik aku diam karena menyelesaikan sepuluh putaran benar-benar menguras jiwa raga. Dan jika harus ditambah dengan meladeninya, aku mungkin akan pingsan sebelum berhasil tiba di parkiran.

***

"Bisa nggak, La?"

Ini adalah pertanyaan ketiga Bang Aryan dalam beberapa menit terakhir.

"Bisa!" Jawabku singkat karena cukup kesal.

Kedua tanganku masih saja bekerja, sedangkan laki-laki di hadapanku duduk menyimpang di atas jok motornya dan mengamatiku.

"Mau gue bantuin nggak?" tawarnya yang aku balas dengan gelengan.

"Lo diam aja deh, Bang! Hadep depan dan jangan ngliatin gue."

"Gue nggak bisa fokus gara-gara lo dari tadi melototin gue mulu!" Lanjutku mencoba mencari alasan kenapa hal sesederhana itu tidak bisa aku selesaikan sedari tadi.

Sejak kami tiba di parkiran sebuah tempat makan, aku belum juga berhasil melepas kaitan helm yang aku pakai. Entah apa alasannya, yang jelas hal yang sangat mudah ini kini berubah menjadi sangat sulit untuk dilakukan.

Aku tidak tau antara memang kaitannya yang bermasalah, atau karena Bang Aryan yang sedari tadi memperhatikanku lah yang membuat aku sedikit kehilangan fokus dan tidak juga berhasil membukanya.

"Gue bantuin aja, ya?" kini laki-laki di depanku sudah berdiri dengan jarak tidak kurang dari tiga langkah dengan tempatku berdiri.

Lagi-lagi aku menggeleng. "Nggak usah!" Jawabku masih keukeuh ingin mengusahakannya sendiri.

Ku lihat Bang Aryan menyedekapkan kedua tangannya, namun dengan tatapan yang masih saja fokus mengarah padaku.

"Aw!" Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tanganku merasa sakit karena terkena sesuatu yang mungkin ada di sekitar pengait helm.

"La!" Secepat kilat tanganku sudah ditariknya, lalu di tiupnya yang membuatku speechless.

Ayolah Kalana, ini bukan series romance yang biasanya lo tonton selama liburan.

"Ceroboh banget sih jadi orang!"

Nah kan nah kan, bukannya mengkhawatirkan keadaanku dengan melontarkan pertanyaan apakah aku baik-baik saja, dia justru menyalahkan ku yang bersikap ceroboh dan sok-sok an tidak mau di bantu.

Aku mendengkus. Merasa kesal namun tidak juga membantah karena apa yang dikatakannya memang benar.

"Sini gue bantu aja," ucapnya yang langsung diikuti dengan tindakan nyata.

Aku menahan napas. Jarak Bang Aryan terlalu dekat sehingga membuatku blank dan auto menahan napas entah untuk alasan apa. Terdiam seperti patung hingga bunyi klik yang menandakan bahwa kaitan helm di kepalaku terlepas.

"La, napas!" Ucapnya tepat di telingaku, yang entah bagaimana terdengar begitu menggoda.

Aku bahkan tidak sadar jika helm sudah terlepas dari kepala, dan lebih parahnya juga kepalanya yang dia condong kan dan kini tepat berada di dekat telingaku.

"Sial!" Gumamku sembari mendorong dada Bang Aryan agar mundur karena tidak baik untuk kesehatan jantung.

"Lo bener-bener dibikin jantungan La, sama ini orang!" Batinku pada diri sendiri, sebelum akhirnya tanpa berterima kasih meninggalkannya dengan langkah yang sangat cepat untuk masuk ke dalam tempat makan yang kami kunjungi.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang