Part 38 • Kalana

596 73 2
                                    

Aku menghela napas panjang. Rasanya amat sangat berat untuk melanjutkan langkah, padahal tujuan akhir sudah terlihat di depan mata.

Aku tidak tahu ini keputusan yang tepat atau bukan. Menghabiskan liburan semester di rumah — yang padahal aku sudah memantapkan hati untuk tidak pulang, tetapi mama tiba-tiba menelpon dan memintaku untuk pulang sehingga semua rencana yang sudah aku susun hancur berantakan.

"Semoga tidak ada drama yang akan terjadi selama aku di rumah," gumamku sebelum akhirnya memantapkan hati untuk melangkah dan menggeser gerbang.

Aku memandang lurus ke arah rumah dua lantai di hadapanku. Rumah sederhana yang terlihat sangat terawat, dengan kolam ikan dan taman kecil yang terlihat begitu diperhatikan pemiliknya di halaman rumah.

Kedua sudut bibirku ku paksakan untuk ditarik ke samping. Meyakinkan diri bahwa tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi, sebab aku tak akan banyak bertingkah dan sudah bertekad untuk tidak mengambil pikiran semua hal yang aku dengar di rumah ini.

To be honest, aku sering tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Rumah yang harusnya menjadi tempat untuk berpulang saat seseorang sudah tak punya lagi tujuan nyatanya tidak berlaku untukku, Kalana Diandra. Rumah tidak menjadi tempat teraman, bahan justru menjadi tempat pilihan terkahir yang akan aku kunjungi. Jika masih ada tempat lain yang bisa aku tuju, maka aku tidak akan pulang. Begitu yang aku pikirkan, bahkan sampai saat ini.

Aku mengangkat pot bunga yang tepat berada paling dekat dengan pintu masuk. Mengambil kunci yang aku temukan di sana, lalu membuka pintu depan menggunakan kunci tersebut.

Suara yang ditimbulkan dari putaran kunci diikuti dengan pintu yang terbuka ketika aku dorong. Kebetulan di rumah sedang tidak ada orang, sebab mama dan papa pergi untuk menjemput kakakku. Ya benar, mereka menjemput Mbak Karina dan membiarkanku untuk pulang sendiri.

Ya, meski tak ingin mendramatisasi apa yang terjadi, nyatanya aku cukup sedih dengan fakta ini. "Sabar, La. Everything it's gonna be okay, " semangatku untuk diri sendiri.

Baru saja aku meletakan koper dan membaringkan tubuh di atas ranjang, suara dering telepon di dalam tas berhasil menggagalkan ku yang hampir terlelap ke alam mimpi.

Tanpa aku sadari, senyumku kembali mengembang. Melihat sebuah foto selfie yang dikirimkan seseorang, yang entah kenapa membuatku menjadi lebih senang.

Bang Aryan, orang yang mengirim pesan barusan.

Dia mengirimkan fotonya yang sedang memasak. Katanya dia tiba-tiba ingin membuat nasi goreng dan baru pulang dari minimarket untuk mencari bahan-bahan yang dibutuhkan.

Belum juga aku menjawab pesannya, dia kembali mengirim pesan. Menanyakan apakah aku sudah sampai rumah dengan selamat, dan juga berpesan agar aku tak usah membalas pesannya jika sedang merasa lelah akibat melakukan perjalanan. Namun beberapa detik kemudian, dia kembali mengirim pesan yang menyatakan bahwa dia menunggu pesan balasan yang aku kirimkan. Labil banget sih!

Aku mendengkus pelan. Bang Aryan dah segala tingkahnya memang seperti itu. Menyuruh untuk tidak usah membalas pesan, namun beberapa detik berikutnya mengirim pesan dan memberitahu bahwa dia sedang menunggu balasan — sebuah informasi yang tentu saja tidak bisa aku abaikan.

Aku mengambil gambar langit-langit kamar untuk dikirimkan padanya. Bukti bahwa aku benar-benar sudah sampai rumah, agar dia tidak menspam chat dan menggangguku yang akan beristirahat.

To: Bang Aryan
Gue udah sampai rumah.
Alhamdulilah masih selamat.

To: Bang Aryan
S

emoga nasi gorengnya bisa dimakan dan gak beracun

Tulis ku di pesan kedua. Menunjukkan bahwa aku tidak mengabaikannya yang membagikan aktivitas. Aku mencoba untuk bersikap kooperatif — membuktikan bahwa tidak hanya dia yang mengusahakan hubungan kami yang belum jelas ini.

***

Suara ketukan pintu berhasil membuatku terbangun dari alam mimpi. Suara seseorang yang memanggil-manggilku dari balik pintu membuatku mau tidak mau harus beranjak dari kasur.

Sembari menguncir rambutku dengan asal-asalan, aku berjalan ke arah pintu. Membuka pintu dan menemukan seorang wanita cantik yang sedang tersenyum — yang entah kenapa rasanya sedikit sakit. Bukan senang atau bahagia, sebab mengingat bahwa sudah sangat lama aku tidak menerima senyuman itu darinya.

"Kenapa, ma?" tanyaku pertama kali. Bukannya memeluknya karena sudah hampir setengah tahun tidak bertemu, tetapi justru mempertanyakan alasan kenapa beliau mengetuk-ngetuk pintu kamarku.

Mama tersenyum, senyum yang entah kenapa selalu aku ingin lihat tetapi merasa ada yang aneh ketika benar-benar melihatnya. "Ini mbak kamu tadi beliin kue,"

Aku menerima kotak kue berlogo toko kue kesukaanku. "Makasih,"

"Kamu gak mau turun sapa mbak mu, La?" tepat ketika aku ingin berbalik ke dalam kamar, pertanyaan mama berhasil menghentikan niatku.

Entah aku yang berlebihan atau bagaimana, aku merasa bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya ditujukan padaku. Aku dan Mbak Karina sama-sama baru pulang, bahkan ini adalah kepulangannya yang kedua di setengah tahun terkahir ini. Lalu kenapa aku yang seolah-olah harus menyambutnya? padahal dia pulang pun dijemput oleh kedua orang tua kami

Apakah aku terlalu kekanak-kanakan?

"Nanti aja ya, ma. Lana belum mandi, lengket." Mama terlihat tidak senang dengan jawabanku. Lagi-lagi entah karena aku yang terlalu berlebihan dalam membaca ekspresi atau bukan, aku hanya merasa bahwa ada gurat tidak senang ketika aku menolak permintaan beliau. "Habis mandi nanti Lala langsung temuin Mbak," lanjutku menambahkan.

Aku tidak ingin memancing timbulnya masalah. Jadi sebisa mungkin tidak akan membuat siapa pun di rumah ini menjadi tidak nyaman.

"Ya udah ya ma, Lana mau mandi dulu."

***

Sebelum masuk ke kamar mandi, aku menyempatkan diri untuk melihat ponsel yang aku tinggalkan di atas meja sebelah ranjang. Berniat melihat WhatsApp, berjaga-jaga jika ada pesan penting yang harus segera aku balas.

Meski tidak ada pesan yang mendesak, aku tetap membutuhkan beberapa menit untuk membalas pesan. Ada beberapa pesan dari teman-temanku, juga pesan darinya yang tadi sempat berkirim pesan denganku sebelum tidur.

Menyadari bahwa baterai hp ku tinggal lima belas persen, aku mencari charger yang ada di dalam tas. Berniat mengisi dayanya sehingga setelah aku selesai mandi aku sudah bisa mencabutnya sebelum menggunakannya kembali.

Suara getar ponsel yang aku pegang membuatku sadar bahwa ada pesan yang baru masuk. Sejenak aku cukup ragu, apakah akan membukanya atau tidak.

Mbak Karina adalah orang yang mengirim pesan. Bukan pesan yang aneh-aneh, namun tetap membuatku bimbang untuk membukanya atau tidak. Padahal dia hanya mengajakku untuk makan keluar. Sebuah aktivitas yang amat sangat wajar untuk dilakukan oleh saudara kandung. Tapi kenapa aku justru merasa takut jika nanti akan tercipta suasana canggung?

Halo ...
Akhirnya senior update lagi ya! wkwk

Aku mau tanya deh, aku udah sempat mention kota tempat tinggal mereka Kalana belum ya?
Soalnya lupa dan males buat baca ulang

Kalo ada yang tau bisa komen ya!
Thank you semua

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang