Part 28 • Aryan

1.5K 224 17
                                    

Eccedentesiast adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menyembunyikan kesedihan dengan senyuman. Entah karena memang bukan tergolong orang yang ekspresif, atau karena khawatir jika menunjukkan ekspresi yang dirasakan akan menyinggung orang di sekitarnya. Dan biasanya, opsi kedua lebih banyak yang sering aku temui di lingkungan sekitar.

Kebanyakan orang akan merasa takut untuk menunjukkan jati dirinya dihadapan publik. Merasa takut ditolak hingga akhirnya memilih untuk menjadi orang lain. Bersikap dan bertindak sesuai harapan society, namun sesungguhnya tidak nyaman menjalaninya karena tidak lah sesuai dengan diri sendiri.

As a student college aku selalu men challenge diriku agar tidak seperti ini. Mencoba tidak terlalu memikirkan pendapat orang dan bertindak sesuai kehendak selagi itu tidak bertentangan dengan normal yang ada. Off course kadang merasa cukup sulit, tapi bukankah jika dibiasakan lama-lama akan terbiasa?

Oh ayolah, manusia tidak bisa mengatur apa yang orang lain bicarakan tentang kita. But as a person, kita bisa bertindak selektif dengan menyaring apa-apa yang ingin  kita lihat, apa yang ingin kita dengar, dan apa yang harus kita lakukan agar membuat diri menjadi lebih bahagia.

"Lo gak mandi?"

Dahi ku mengernyit heran. Memandang Gara yang memindai penampilanku dari atas hingga bawah yang hanya memakai kaos hitam polos dan celana selutut. "Ngapain mandi? besok juga udah kotor lagi." Jawabku acuh tak acuh

Gara melihatku dengan pandangan jijik. Memang jika dibandingkan penampilannya yang tergolong all out hanya untuk makan, aku terlihat sedikit gembel karena rambutku yang acak-acakan karena memang belum aku sisir semenjak bangun tidur tadi. "Lo tau nggak kenapa ada stigma kalo orang ganteng itu jarang mandi?" tiba-tiba tampa ada aba-aba dia melontarkan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan yang aku sendiri bingung dimana relevansinya dengan topik obrolan yang kami lakukan barusan.

Aku menggeleng. "Ya itu karena orang-orang macam lo, Yan. Yang susah banget kalo di suruh mandi dan jadi ngerusak reputasi para orang ganteng." Jawabnya benar-benar membuatku cengo. Merasa heran dan tidak menyangka karena bisa-bisanya dia berpikir hingga sampai di titik ini.

Memang siapa yang peduli jika aku mandi atau tidak? memangnya aku mengatakan kepada orang-orang yang aku temui kalo aku ini pergi tidak mandi? ada-ada saja anak ini.

"Jadi lo ngakuin kalo gue ganteng?" alih-alih menanggapi pernyataannya, aku akhirnya malah meledeknya yang secara tidak langsung mengakui bahwa aku termasuk dalam laki-laki tampan.

Gara yang sedang duduk di rajang kamarku terlihat kaget. Lalu secepat kilat merespon dengan kalimat yang tidak enak di dengar. "Eh babi. Positif thinking lo udah nggak ketolong lagi." Ujarnya sebelum memilih berdiri dan berlalu pergi. Keluar dari kamarku karena kebetulan aku yang memang sudah siap untuk pergi keluar mencari makan siang.

***

Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping. Merasa sangat bersyukur sekaligus senang karena lagi-lagi secara kebetulan bisa bertemu dengannya di tempat ini. Tempat makan siang yang sebenarnya sedikit jauh dengan kos ku, namun amat sangat dengan dengan tempatnya seorang Kalana.

"Ngapain nggak masuk?" Gara menepuk pundak ku dan menanyakan alasan kenapa aku malah hanya berdiri di depan pintu.

Aku menoleh ke arahnya sebentar, lalu kali memandang Lala yang sedang asyik makan seorang diri sebelum akhirnya melirik Gara untuk memberitahu bahwa aku menemukan objek menarik untuk sesi makan siang kali ini.

Gara mengikuti arah pandang ku lalu menggeleng-geleng sembari tersenyum. "Ya udah ayo samperin!" Ajaknya yang langsung aku iyakan tanpa pikir panjang.

Aku menarik kursi di seberangnya. Mengalihkan atensi Lala dari piring makannya sesuai dugaan. "Halo Kalana...." Sapa ku dengan senyum manis. Terlalu manis hingga membuat Lala langsung mendengkus kesal bahkan hanya karena aku sapa.

"Ayo, Yan! Pantang mundur sebelum dapat." Aku menyemangati diri sendiri agar berjuang lebih keras untuk mendapatkannya.

Aku memandang lurus ke arahnya yang sudah kembali melanjutkan makan."Lo tau nggak kenapa antartika itu jauh?" dengan randomnya aku melontakan satu pertanyaan kepada perempuan cantik yang hari ini menggunakan hoodie putih oversize. Hoodie yang ukurannya terlalu kebesaran hingga seolah menenggelamkan tubuh kecilnya.

Lala yang duduk di seberang mejaku mendongak. Mendengkus kesal sekaligus merasa tidak beruntung karena lagi-lagi Tuhan mempertemukan kami dengan sebuah kebetulan seperti ini. "Soalnya yang deket itu antarkita." Lanjutku dengan percaya dirinya.

"Anjir, Yan! Cringe banget lo." Bukannya Lala yang merespon gombalanku, malah Gara lah yang menggantikannya. Menggantikan respon dengan sebuah kalimat yang hanya bertujuan untuk menyindirku semata.

Aku memandang Gara dan mendelik. Menyuruhnya untuk diam dan memesan makanan saja. "Gue nggak mempan sama gombalan pasaran lo, Bang." Lala akhirnya memberi respon, namun tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Gara. Nyelekit dan tidak menghargai usahaku sama sekali.

"Itu gombalan limited, La. Baru rilis perdana barusan, dan khusus buat lo seorang." Setelah dari sini, Gara pasti akan meledek ku habis-habisan karena melakukan flirting terang-terangan semacam ini.

"Basically sama Bang. Bualan khas mulut manis buaya." Lagi-lagi jawabannya benar-benar langsung menusuk. Astaga, La!

Aku menghela napas. Mau bagaimanapun menjelaskan, tetap saja dimatanya aku memang adalah orang yang seperti itu. "Tapi worth it, kan?" ujarku menaik turunkan alis.

"Terlalu flat, Bang!" Dia benar-benar mengatakan kalimat itu dengan nada terlampau biasa, bahkan selanjutnya langsung menyuapkan makanannya — kembali, yang masih tersisa di atas piring di hadapannya.

"May I ask you to stop talking?" Lala menatapku dan mengerutkan dahi. Bingung karena aku yang baru saja menggodanya, kini malah langsung memintanya untuk diam.

"Suara lo candu banget di kuping gue, La. Lama-lama gue nggak kuat." Mendadak otakku langsung memiliki banyak ide untuk mengeluarkan kata-kata mutiara. Kata-kata mutiara yang bisa membuat insomnia perempuan lain, namun bagi seorang Kalana mungkin tidak berdampak apa-apa.

"Bamboozle." Lala menggumam pelan, yang sayangnya masih aku dengar karena semua tentang Lala selalu membuat panca inderaku berkali-kali lipat lebih sensitif dibandingkan biasanya.

"Gue nggak kaya mantan-mantan lo, Bang." Ujarnya lagi-lagi menuduh aku punya banyak mantan.

"Yang biasanya cuma benching, La. Cuma deket tapi gue nggak ada rasa sama mereka. Jadi secara teknis mereka bukan mantan-mantan gue." Jelas ku bahwa perempuan-perempuan yang aku dekati hanya berakhir dengan menjadi mantan gebetan, dan bukan mantan pacar.

"Kalo yang barusan beneran tulus dari hati karena gue bener-bener suka sama orangnya." Lanjutku yang membuat seorang Kalana akhirnya terdiam seketika.

SeniorWhere stories live. Discover now