Chapter 12

437 29 0
                                    

Pintu menuju balkonnya masih terbuka lebar, membiarkan angin sayup-sayup masuk ke dalam kamar Tresha. Sang empunya kamar kini masih berkutat dengan buku matematikanya sembari sesekali menatap sahabatnya dengan frustasi. Bisa-bisanya sahabat sejak kecilnya itu kini rebah di tengah kasurnya membaca salah satu novel romantis milik Tresha.

"Raven." Rajuknya, "Bantu aku."

Alih-alih bangkit dan membantu, pria itu hanya menolehkan pandangannya dan kembali berkutat dengan novel bersampul merah itu. Sejak kapan pula, Draven menyukai novel romantis. Bukannya ia lebih suka membaca autobiografi, terutama tentang pahlawan perang dunia kedua.

"Raven~" Panggilnya lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Tresha merasa dikhianati oleh sahabat terbaiknya itu. Ketika ia sedang sibuk latihan terakhir, pria itu sudah mengerjakan tugas matematikanya. Meninggalkannya dengan kumpulan angka tanpa makna yang harus ia kerjakan tak peduli bahwa ia hanya ingin meminum coklat panas dan merayakan kemenangannya.

"Kalau tidak cepat nanti tidak boleh main." Pria itu membalasnya acuh.

Kesal. Terang saja Tresha kesal dengan sahabatnya itu. Setelah beberapa minggu pria itu bagai melihat setan setiap kali bertemu dengannya, kini ia mengacuhkannya. Tresha ingin menyalahkan perbincangan terakhir mereka di mobil namun mengingatnya saja membuat gadis itu ingin menampar dirinya sendiri.

"Aku bukan anak kecil!" Rajuknya.

"Makanya, kerjakan." Pria itu terkekeh atas ucapannya sendiri.

Bukannya kembali berfokus pada buku matematikanya, Tresha memutar bangku belajar hingga kini menatap tubuh rebah pria itu. Entah mengapa, Draven nampak lebih besar dari biasanya. Ranjang singlenya seolah terlalu kecil untuk sahabatnya itu.

Beberapa minggu ini bukan hanya Draven saja yang berubah, Tresha entah mengapa melihat sahabatnya itu dengan sudut pandang lain. Tadi siang misalnya, ia merasa pelukan Draven yang sebelumnya ia terima seperti pelukan Mama kini membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Ditambah lagi dengan kesibukannya beberapa minggu ini, aroma parfum Draven saja sanggup membuat pipinya bersemu merah. Terkadang ia menghabiskan malamnya menatap langit memikirkan sahabatnya itu.

"Draven, aku lapar." Ia berusaha mencari perhatian sahabatnya terbaiknya itu.

"Memang seperti itu yang terbaik." Draven membaca bagian dari buku itu keras-keras, "Aku mencintaimu namun kau terlalu sempurna untukku. Bagai permata di tengah hausku akan harta yang terlalu lama tak terpuaskan."

Alis mata Tresha berkedut tak suka. Ia sudah berusaha sedari tadi menarik perhatian sahabatnya namun hasilnya nihil. Ditambah lagi pria itu membaca bagian yang belum ia sentuh dari novel itu.

Dengan penuh tenaga, gadis itu melemparkan buku matematikanya ke arah kasur berusaha mengenai kepala Draven. Sayangnya lemparannya meleset dan justru jatuh ke lantai membuat buku itu terbuka di tengah.

"Jangan dibuang, Tres." Kekehnya.

Dengan langkah penuh tenaga akhirnya gadis itu menuju ke kasurnya. Ia sudah siap untuk menjambak Draven kali ini. Berkali-kali ia diacuhkan dan digoda, ditambah dengan kekesalannya akibat harus mengerjakan tugas, Tresha butuh pelampiasan!

"Bersinar begitu terang hingga hampir buta mataku dibuatnya. Aku begitu menginginkanmu namun sinarmu saja membuatku ciut." Draven kembali melanjutkan sesi membacanya membuat Tresha semakin kesal.

Tangannya bergerak mengambil sejumput rambut yang sudah berantakan akibat terlalu banyak bergerak itu. Draven dengan cepat menarik tangannya hingga ia hampir jatuh telungkup di atas kasurnya sendiri.

Side Chick ✅️Where stories live. Discover now