Chapter 19

448 21 1
                                    

Tubuh Tresha lemas sekali, ia berusaha keluar dari mobilnya untuk mendapat sinyal namun hanya dibalas dengan guyuran hujan yang membuat gaun malam hitamnya kini kuyup. Seolah siksaannya belum cukup, upayanya membuka pintu mobil kini membuat bagian pengemudi ikut basah karenanya.

Dengan segala upaya yang dimilikinya, Tresha memutar pendingin mobil hingga mati, ia sudah kuyup dan di luar hujan deras. Ia tidak butuh tambahan udara dingin yang kini menusuk tulangnya.

Meski kini kepalanya seperti dipenuhi awan, Tresha berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan ikut kencan online lagi. Demi tuhan, lebih baik ia dibicarakan tetangga karena tidak menikah dibanding bertemu lelaki bajingan seperti Gideon.

Setelah ini ia harus mencari siapa Gideon itu dan membuat perhitungan dengannya. Ia menolak diperlakukan seperti ini.

Lampu mobil datang dari arah yang berlawanan. Di tempat yang sepi seperti ini kedatangan mobil itu bukannya membuat Tresha merasa lebih baik, justru semakin takut. Bagaimana jika yang datang Gideon, atau orang jahat lain.

Dengan gontai ia melirik ke arah pintu mobilnya memastikan bahwa pintunya sudah terkunci dan tidak ada celah dari jendela. Ia yakin jika ia menunggu disini sampai pagi, efek obatnya pasti sudah menghilang.

"Sial." Lirihnya.

Kalau boleh ia ingin berteriak, lebih baik jika bisa mencekik pria kurang ajar yang membuatnya berada di posisi seperti ini. Mengingat kondisinya yang kini bergerak saja tidak mampu, Tresha hanya memperhatikan pria dalam balutan baju serba hitam mendekati mobilnya.

Lampu mobil yang mengarah ke arahnya bukannya membantunya melihat malah membuatnya semakin sulit untuk melihat wajah pria itu. Tak lama, terdengar bunyi ketukan di jendelanya.

"Tresha." Panggil pria itu.

Ia tahu itu suara siapa, ia sudah kenal suara itu sejak kecil. Dari suara cempreng khas anak-anak hingga berubah semakin berat ketika dewasa. Kali ini, suaranya terdengar begitu berat namun tetap menyiratkan kelembutan yang dirindukannya.

"Raven?" Lirihnya. Ia tidak tahu apakah suaranya terdengar atau tidak.

"Buka pintunya, kamu bisa?" Seru pria itu lagi dari luar, berusaha mengalahkan suara rintik hujan yang menulikan telinganya malam ini.

Dengan lemas ia menggeser kunci pintu mobilnya. Ia menyandarkan kepalanya ke jok mobil, melihat Draven dengan cekatan mengambil jas hujan yang sepertinya ia bawa dari mobil dan memasangkannya ke tubuhnya.

"Bisa pegang leherku?" Tresha menggeleng.

Jangankan menggenggam, bergerak saja ia sudah hampir tidak bisa. Dalam hati ia benar-benar merutuk Gideon dan berharap pria itu masuk ke jurang malam ini dan tak bisa kembali lagi.

Draven mengangguk paham, ia menarik kedua lengan Tresha dan mengalungkannya di lehernya. Tangan kirinya mengangkat bagian kakinya sementara yang kanan menopang bagian atas tubuhnya, kepala Tresha ia biarkan bersandar di pundaknya.

Ia merebahkan Tresha di jok penumpang di sebelahnya dan keluar lagi melakukan entah apa. Kemungkinan memastikan mobil Tresha bisa diambil besok pagi dan tidak terkena tilang karena parkir di tengah jalan atau lebih buruknya dicuri.

Pria itu kembali masuk setelah melepaskan jas hujan miliknya. Ia mengambil jaket dan selimut di belakang. Draven menatap Tresha, ia tak bisa memastikan arti tatapan pria itu apakah iba atau

amarah yang mendominasi.

"Bagaimana?" Tresha kembali merutuk dalam hati, menyelesaikan ucapannya saja ia tidak sanggup. Menjijikkan sekali.

"Aku telepon Papi, GPS mobilmu masih terhubung dengan ponsel Papi."

Tresha memejamkan matanya menunjukkan bahwa ia paham, ototnya menolak untuk digerakkan. Matanya menatap Draven yang kini menyelimutinya dengan selimut berwarna merah muda yang ia yakin miliknya.

Side Chick ✅️Where stories live. Discover now