Epilogue

1.6K 71 6
                                    

Langit sudah gelap ketika Draven berjalan beriringan dengan Tresha untuk mengantarnya pulang. Dua tahun telah berlalu dan gurat kecantikan yang membuatnya terbuai masih sama. Masih begitu memikat hingga ia merasa mabuk dibuatnya.

Dua tahun. Waktu yang lama untuk berpisah dengan orang yang ia cintai.

Dua tahun ia habiskan di Jerman untuk melanjutkan sekolahnya, meninggalkan semua yang ia cintai untuk satu tujuan. Berkembang. Selama ini Draven terlalu takut untuk mengambil keputusan dan ada banyak hal yang ia sesali.

Waktunya di Jerman membuatnya belajar banyak. Terutama untuk menikmati kesendirian dan mencintai dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa mengajarkan itu lebih baik dibanding tinggal sendiri di negeri asing.

"Tres." Panggilnya setelah ia mencapai halaman depan rumah Tresha.

"Ada apa?"

Dua tahun dan yang ia dapatkan hanya ucapan selamat datang. Tidak ada pelukan penuh haru karena orang yang ia cintai telah kembali. Bahkan sepanjang makan malam Tresha hanya mengikuti alur, tidak pernah berbicara langsung padanya.

"Jum'at malam nanti, kamu sibuk tidak?"

Tresha mengedipkan matanya sebentar sebelum akhirnya menjawab, "aku ada janji, kenapa?"

"Bukan apa-apa." Jawabnya cepat.

Draven bodoh. Dua tahun penuh mendambakannya dan kini ia hanya bisa tersenyum seperti orang bodoh ketika ajakannya ditolak. Ia memang tidak secara eksplisit mengajak Tresha untuk berkencan namun tawarannya sudah ditolak bahkan sebelum ia mengatakannya.

"Kalau begitu aku masuk dulu." Pamitnya, "selamat datang kembali!"

"Ah, iya."

....

Matahari sudah terbenam ketika Draven memarkirkan mobilnya di halaman parkir Mama. Lampu rumahnya belum dinyalakan, kemungkinan Mama memutuskan untuk kembali menginap di rumah sakit. Tidak peduli berapa kali ia mengatakan akan menjaga Papa, Mama menolak untuk pulang.

Draven mengangkat kotak berisi makanan yang tadi Papi minta berikan untuk Tresha dan membawanya menuju rumah gadis itu. Lampu kamarnya sudah menyala menandakan ia sudah pulang dari butik.

Ia menghela nafasnya berusaha menenangkan diri. Sepanjang sore ia hanya berusaha untuk mengeluarkan seluruh emosinya di pantai. Matahari sudah hampir terbenam ketika ia menyadari waktu sudah berputar begitu lama.

Bosnya akan mengamuk.

Namun bahkan amukan terburuk bosnya tidak bisa membuatnya kembali ke kantor. Hanya satu kali ini saja, Draven ingin melakukan sesuatu yang benar-benar bermakna baginya. Ia mengejar banyak hal seperti orang buta dan hanya dihadiahi dengan kekosongan selama ini.

"Draven?" Tresha membukakan pintunya dengan wajah terkejut.

Rambut sahabatnya itu masih basah dan tubuhnya masih dibalut kimono mandi. Nampaknya belum begitu lama sejak ia menginjakkan kaki di rumah. Draven hanya bisa memberikan senyuman.

"Ada titipan dari Papi."

"Ah!" Serunya, "kamu mau masuk dulu?"

"Iya."

Draven menunggu Tresha berganti pakaian di meja makan sembari menatap microwave yang kini menghangatkan makanan dari Papi. Kepalanya masih kalut namun ia sadar betul jika tidak melaksanakannya sekarang maka ia tidak akan berani.

"Kamu baru pulang?" Draven menolehkan kepalanya ke arah Tresha yang kini sudah dalam balutan piyama.

"Aku dari pantai tadi."

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang