🐒 Part IV | Sebuah Permintaan

716 100 11
                                    









...

Tamara tersenyum balik, kala Jevano tersenyum kearahnya dengan begitu sopannya.

Emang bener-bener luar biasa bibitnya Pak Jaelani. Nggak ada yang zonk. Anaknya ganteng semua. Nggak heran juga, karena Istrinya Pak Jaelani juga cantik luar biasa.

Tak lama kemudian Perawat memberikan ruang untuk Jevano memulai pemeriksaaannya.

Renata berkedip beberapa kali. Dikira dia lagi berhalusinasi ketika melihat Jevano sedang memasang Stetoskop di telinganya. "Maaf ya.." ucap Jevano sebelum memeriksa detak jantung Renata dengan Stetoskopnya.

"Sebelumnya anak saya nggak menstruasi selama dua bulan, Dok. Tapi begitu mulai menstruasi lagi, malah nggak berhenti-berhenti." Jelas Tamara di tempat duduknya sambil bergantian memperhatikan Jevano dan Renata.

"Hhm, gitu. Waktu mulai menstruasi lagi, sakit nggak?" Tanya Jevano. Atensinya kini sepenuhnya mengarah ke Renata.

Aduh fak suara beratnya. Renata bisa menstruasi lewat hidung kalo begini caranya. Alias mimisan.

Renata mengangguk.

"Sekali lagi maaf.." ucapJevano sebelum mengarahkan tangan kanannya untuk menyentuh perut bagian bawah Renata sambil sedikit memberikan tekanan dengan tangannya.

"Di sini sakit?" Tanya Jevano.

Anjir! Renata rasanya pengen langsung ngekep itu Dokter yang tanpa dia ketahui Dokter itu juga hadir pas Karnaval Kebudayaan waktu itu.

Setelahnya, Jevano memberikan isyarat kepada Perawat untuk segera mempersiapkan peralatan untuk melakukan USG.



...


"Buk? Ibuk kenal sama Pak Dokter tadi??" Tanya Rena dalam perjalan pulang.

"Loh? Kamu nggak tau? Itu anak nomor duanya Pak Jaelani. Pas Karnaval Budaya waktu itu dia juga dateng loh. Masa kamu nggak liat?"

Renata agak ngelag sejenak. Dia merasa kaya pernah denger nama Pak Jaelani sebelumnya. Nama itu bener-bener nggak asing di telinganya.

"WHAT???!!! Anaknya Pak Bupati dongggg???!!!" Nah kan, baru sadar dia.

"Kamu tuh. Makanya jangan cuma fokus sama anak band Korea Selatan terus. Apa tuh namanya Flying flying, eh apa sih? Yang ada penyanyinya namanya Hyub Hyub yang tinggi cakep itu." Ucap Tamara yang tanpa sadar suka ikutan ngerti tentang apa yang disukai anaknya.

"NFlying, Ibuk. Eh, emang Pak Dokter tadi umurnya berapa? Udah jadi Dokter spesialis?? Kereen."

"Kayanya sih seumuran sama Anaknya Pak Yudi."

"Hah?? Seumuran Jeriko???"

Tamara auto nyubit paha Rena. "Heh! Kamu tuh yang sopan dong kalo sama yang lebih tua. Panggil Mas! Jangan cuma panggil Jeriko Jeriko!"

"Ih nggak mau! Jeriko tuh pengecualian. Abisnya dia annoying banget! Ah Ibuk mah nggak ngerti sengeselin apa Si Jeriko. Tapi kalo buat Pak Dokter tadi mah ikhlas aku manggil pake Mas. Hehehehehe."

"Dih, sok kecakepan banget kamu."

"Bukan sok kecakepan, aku tuh memang terlahir cakep." Sahut Renata dengan songongnya. Tapi emang beneran capek sih.



...






Renata menguap sambil membuka pintu kamarnya. Salah satu tangannya masuk kedalam piyamanya untuk menggaruk-garuk perutnya sampai atasan piyamanya sedikit tersingkap dan memperlihatkan perut langsingnya.

Lalu berjalan keluar menuju ruang tamu dimana dia mendengar suara beberapa orang yang sedang mendiskusikan sesuatu, dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.

Rambutnya acak-acakan, kedua matanya sembab, khas orang baru bangun tidur banget.

"Buk? Handukku dimana ya??" Tanyanya. Biasanya handuknya ada di belakang pintu kamarnya, tapi nggak ada. Kayanya kemarin abis dikirim Ibunya ke tempat laundryan.

Semua pasang mata tertuju kearah Renata yang sedang dalam kondisi super bareface-nya.

Tamara dan Kuncoro tersenyum canggung kearah anaknya dan seorang lelaki yang bertamu di kediaman mereka pagi ini.

"Hehehe. M-maaf, dia kalo bangun tidur memang suka begitu." Ucap Tamara sopan seraya berjalan cepat menghampiri anak gadisnya itu untuk melindungi privasi yang beberapa saat yang lalu sempat terumbar.

Amarka, sang Tamu pun hanya tersenyum simpul memperhatikan Tamara yang sedang menggiring Renata untuk kembali masuk kedalam kamar.

"Kalau begitu saya pamit dulu. Mohon dipertimbangkan dengan baik permintaan izin saya tadi. Terimakasih." Kata Amarka seraya bangkit dari tempat duduknya, karena dia harus segera ke kantornya.

"Ya, pasti. Kami akan mempertimbangkannya. Tapi semua keputusan kembali lagi ke Renata. Kalau anak saya tidak mau, saya juga tidak bisa memaksa." Sahut Kuncoro dengan sopan.

Amarka kembali tersenyum, sebelum dia benar-benar pamit undur diri.

...









Semoga tidak terjadi pertumpahan darah 😂

Semoga tidak terjadi pertumpahan darah 😂

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
Kembang DesaМесто, где живут истории. Откройте их для себя