Demi menyelamatkan panti asuhan yang tergusur, Fiona terpaksa menerima pernikahan kontrak dengan Julian. Sayangnya, saat tiba masa bercerai, ia hamil. Fiona juga terjebak situasi yang sangat mengerikan. Ia terancam kehilangan segalanya. Akhirnya, ia...
Fiona gugup ketika melangkah ke ruang dokter. Sebenarnya ia paling takut bertemu dokter. Terutama dokter gigi. Sewaktu di panti asuhan, dua kali pengalaman pahit bertemu dokter, menbuatnya trauma. Pertama, saat diimunisasi. Kedua, waktu cabut gigi. Semuanya sakit, tak ada nyaman-nyamannya meski dikasih hadiah permen satu pak.
Dalam bayangannya, dokter itu kaku, dingin, dan menyeramkan. Seperti dokter yang menyuntik dan mencabut giginya. Tak ada manis-manisnya.
Begitu bertemu Dokter Yudha Aksara, Sp.OG, kesannya tentang sosok dokter yang menakutkan, langsung ambyar. Dokter itu ternyata berparas oriental seganteng artis Korea. Agak mirip-mirip-mirip Park Seo Joon, pemain drakor favorit Fiona. Ramahnya juga bukan kaleng-kaleng.
Fiona seketika rileks. Ketegangannya berkurang.
Wajah tampan Julian menggelap saat menyaksikan perut Fiona dipalpasi ringan oleh sang dokter. Sorot matanya, di luar sadar berubah tajam mengikuti gerak-gerik dokter. Gimmik-nya mirip kucing jantan bertemu saingan.
Ners Rheina mengolesi perut Fiona dengan gel. Dokter Yudha kemudian memeriksa kondisi rahim dan janin dengan USG.
"Selamat, yaa. Udah positif enam minggu ini. Lihat, janin Bu Fiona udah sebesar kacang." Dokter Yudha menggerak-gerakkan transducer USG guna merekam aktivitas janin dari permukaan perut Fiona.
Mata kebiruan perempuan muda itu berbinar takjub melihat layar USG. Janin itu baru serupa titik di layar monitor, tapi Fiona bisa merasakan denyut kehidupannya. Bagaimana bisa ia tidak jatuh sayang? Dadanya mendadak sesak oleh keharuan bercampur penyesalan. Sebab pagi tadi sempat berniat menggugurkan calon bayi itu. Sungguh keterlaluan. Beruntung niat itu tercegah.
"Saat ibu hamil 6 minggu, otak dan sistem saraf janin berkembang sangat cepat. Perkembangan matanya sudah mulai terbentuk, bisa dilihat titik gelap ini." Dokter Yudha menunjuk ke satu titik di layar. "Nah, ini telinganya, seperti lekukan kecil di sisi kepalanya."
Julian yang awalnya acuh tak acuh, berubah fokus pada apa yang ditunjukkan dokter. Fiona melirik lelaki itu sekilas. Wajah suami pura-puranya itu tetap datar, entah apa yang dipikirkannya.
"Dia hidup?" Tiba-tiba CEO muda itu menyeletuk.
"Udah ada tanda kehidupannya, Tuan. Enam minggu sedang fase pembentukan jantung. Dideteksi lewat USG dua minggu lagi, ya. Pada fase ini, sistem pernafasan dan pencernaannya mulai terbentuk pula. Ibu mesti cukup nutrisi, tidak mengkonsumsi obat sembarangan, dan tidak stress, agar janinnya baik dan sehat."
Dokter Yudha mengakhiri pemeriksaan, lalu menuliskan resep berupa vitamin dan obat anti mual khusus ibu hamil.
***
"Kapan dan dimana kita bicara?" tanya Fiona begitu keluar dari ruang dokter. Ia masih keukeuh ingin memperjelas perjanjian ulang dengan Julian. Otaknya mulai bekerja keras mencari akal agar cepat bebas dari nikah pura-pura ini.
"Terserah kamu." Julian berbicara dengan nada rendah. Ia tidak mau terprovokasi berdebat. Mereka masih di ruang tunggu. Dua orang mata-mata mami yang menyebalkan masih duduk anteng mengawasi.
"Nggak bisa ngobrol di rumah. Takutnya di situ ada alat penyadap."
"Hmm ...." Julian mengusap dagunya. Berpikir sejenak. "Kita ke restoran aja. Soni dan Rudi nggak bakal ngikut."
"Okeh."
Julian memberi instruksi ke sopirnya agar mengarahkan mobil menuju salah satu restoran yang cukup bergengsi dan memiliki privasi.
Digandengnya tangan Fiona saat memasuki rumah makan mewah itu. Semata agar mata-mata ibunya melaporkan kemesraan mereka. Diam-diam ia merutuk dalam hati. Ibunya tak pernah percaya lagi padanya semenjak ia kedapatan bolak-balik main perempuan.
Julian memilihkan tempat pada pojok ruangan sebelah kanan dari arah pintu masuk. Posisi itu dekat jendela yang menghadap ke arah taman kecil berlampu warna-warni.
Saat keduanya berjalan, berpasang-pasang mata milik para tamu restoran terkunci. Suasana eksotis restoran bertambah menarik dengan hadirnya pasangan muda dengan penampilan di atas rata-rata itu. Mirip aktor dan artis papan atas.
Di antara para tamu, ada yang tak lepas memandang sejak dari Julian dan Fiona muncul di gerbang masuk restoran itu, hingga duduk di meja pilihan. Mata itu menatap tajam, mengandung sejuta tanya.
"Kita ngobrol sambil makan. Aku lapar," ungkap Julian sambil membuka menu.
"Kamu aja. Aku nggak selera makan." Fiona menumpukan dagu di siku kanan, sedang jari tangan kiri mengetuk-ngetuk meja.
"Ingat pesan dokter tadi? Ibu hamil harus banyak makan!" tegur Julian, datar, tanpa mengalihkan fokus pada daftar menu.
"Siapa yang ibu hamil?" Satu suara merdu mengandung sedikit emosi, terdengar bagai petir di telinga Julian. Ia sangat mengenal suara itu. Suara dari gadis yang dikejar-kejarnya hampir sepuluh tahun ini.
Lelaki muda itu terlonjak mendapati sosok gadis anggun berhijab, yang tahu-tahu telah berdiri di dekat meja mereka. Tatapan gadis itu aneh dan raut wajahnya melukiskan kekecewaan.
"Azqila, kamu di sini?"
"Hari ini ulang tahunku. Abang lupa? Abah dan umma mengajakku makan malam bersama sebagai syukuran bertambahnya usia. Tak menyangka bertemu Abang di sini bersama--"
"Adikku! Dia adikku! Perkenalkan, namanya Fiona."
***
Bersambung
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.