Halu Benalu || Bagian Tiga belas

7 4 0
                                    

Menyesali kekonyolanku beberapa hari yang lalu, aku enggan menampakkan diri di hadapan mereka. Apa lagi untuk berdiri tenang di hadapan Kak Awan yang kuperlakukan demikian di malam itu.

Merutuki prilaku tidak terdugaku, sudah beberapa malam ini aku kesulitan untuk sekedar tertidur. Meski insomnia ini memang sudah mendarah daging padaku, tetapi rupanya setelah kejadian hari itu semakin bertambah parah.

Biasanya aku akan tertidur nyenyak di waktu subuh meski hanya sebentar saja, kali ini bahkan di waktu-waktu itu, pikiranku berkelana—mengganggu raga dan jiwaku yang tengah lelah.

Tidak elak, malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, ditambah dengan lintasan-lintasan firasat buruk menyerang tepat di dada, menimbulkan rasa sesak di sana. Entah apa yang akan terjadi pada diriku, atau mungkin dirinya yang berada jauh di sana.

Menghiraukan itu semua, kuputuskan untuk ke luar rumah berkunjung ke sarang dosa yang kurasa sudah cukup lama diriku tidak berada di sana. Mengenakan pakaian kekurangan bahan nan glamour seperti biasa, aku melangkah angkuh sambil berekspresi menggoda.

"Kemana aja lo?" tanya Monika—salah satu temanku, ketika aku sudah berada di hadapannya. "Kenapa? Kangen lo?" tanyaku tanpa menjawab tanyanya. "Jijik gue, anjing!" umpatnya, membuatku terkekeh pelan.

Di sela obrolanku dengan Monika, tiba-tiba sebuah lengan kokoh memeluk leherku dengan santai. Tanpa berbalik, aku menyikut perut orang tersebut, "ngapain sih lo, Jack?" tanyaku ketus.

"Augh," erangnya memegang bagian perutnya yang terasa sakit akibat perbuatanku. "Lo ganas banget tau gak?" gerutunya. Monika tertawa melihat interaksi kami, "salah lo sih, brengsek! Udah tau Al gak suka dipegang-pegang cowok kek lo, masih aja ngeyel," ejek Monika, menarikku—memeluk leherku dengan sebelah tangannya yang bebas.

Yah, memang—jika semua orang berpikir bahwa aku akan merelakan tubuhku disentuh oleh pria-pria hidung belang dan brengsek di tempat ini atau pun tempat penuh dosa lainnya, aku akan menyangkalnya meski dalam diam.

Bahkan jika keluargaku memikirkan hal yang sama atau lebih buruk dari itu, kubiarkan saja. Toh, suatu kesia-siaan menjelaskan pada seseorang yang bahkan tidak ingin mengerti tentangku.

Mungkin memang diamku tidak akan menutup mulut-mulut mereka, tetapi setidaknya aku tidak lelah sebab tidak perlu melakukannya. Aku hanya perlu duduk diam, mengangkat tanganku untuk menutup mata dan telingaku, membiarkan mereka menilai hidupku sepuasnya.

Apa peduliku? Mereka tidak tahu apa-apa tentangku.

"Napa lo bengong?" tanya Jack menyentakku dari lamunanku. "Mau gue ambilin minum?" tawar Monika kali ini sambil mengangkat gelasnya yang masih terisi setengah. "Lo gak usah ke mana-mana," ujarku.

Tersenyum ke arah Monika, aku beralih menatap Jack, "ambilin dong." Jack mendengus karenanya, tidak elak ia tetap bergerak hendak mengambilkanku minum. "Wine yah!" teriakku. "Tidak mau disentuh, bukan berarti gak minum bukan?" ujarku yang membuat Monika mengangguk-anggukan kepala.

...

Hingar bingar dalam ketenangan, aku berada dalam suatu acara. Banyak pasang mata yang menatapku terang-terangan, apa lagi para kaum hawa. Kuhiraukan sebab sudah terbiasa, terus berjalan hendak menemui sang pemiliki acara.

Namun belum sampai aku pada tujuan utama, dapat kurasakan pandangan mereka tidak lagi padaku, tetapi pada sesuatu yang lebih menarik di belakangku. Sedikit penasaran, aku berbalik arah.

Deg.

Sepasang anak manusia tiba dijemput dengan puluhan pasang mata yang menatap memuja. Tidak elak, aku melakukan hal yang sama seperti mereka, apa lagi pada wanita pendampingnya.

Tangan kokoh pria itu memeluk pinggang wanitanya posesif, menuntunnya menuju ke tengah ruangan menemui beberapa orang yang sedang berbincang. Aku mendekat ke arah mereka sebab ada tanya dalam benak yang memerlukan jawaban.

"Mr. Hanan?" ujar salah seorang pria yang ada di sana. "Akhirnya tamu yang ditunggu datang juga. Apa kabar?" sapa pria itu sambil menggenggam sebuah gelas yang berisi minuman. "Baik. Bagaimana acaranya? Lancar sejauh ini?" balas orang yang dipanggil Mr. Hanan tersebut.

"Lancar," jawab pria itu kemudian. "Sekarang, sudah ada gandengan, heh?" tanya yang lainnya, membuat Mr. Hanan melirik wanita di sampingnya. "Bukankah kalian datang di pesta pernikahanku?" tanyanya tanpa menjawab tanya rekannya.

"Dasar. Kau sama sekali tidak bisa digoda. Ngomong-ngomong, istrimu tambah cantik nih," ujar pria tersebut, kemudian menggerlingkan mata ke wanita Mr. Hanan setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.

Dapat kulihat dari tempatku berdiri, pelukan Mr. Hanan di pinggang wanitanya mengerat. "Kau tidak tau malu, menggoda istri orang dihadapan suaminya," tegur pria lainnya, tetapi dengan tawa—seakan mengejek.

"Aku tidak menyangka, pria arogan sepertimu ternyata mempunyai tipe wanita sepertinya—polos namun menggoda," goda lainnya, sementara Mr. Hanan tersenyum miring.

"Malah kukira kau tidak suka dengan wanita. Membuat kami kaget, tiba-tiba terdengar kabar kau mau menikah waktu itu," ujar salah satu wanita berpakaian terbuka yang ada di sana. Ia melirik wanita Mr. Hanan yang kebetulan berhijab dengan tatapan jijik sekaligus merendahkan.

"Tapi, wanita yang kau pilih—beuh, tak ada tandingannya. Seperti bidadari, membuatku iri saja," puji salah seorang pria yang lebih terdengar seperti godaan murahan. Meski begitu pria yang disapa Mr. Hanan tersebut tidak bereaksi kepadanya melainkan kepada wanitanya.

Sang wanita yang diperlakukan demikian terlihat merasa tidak nyaman, "Mr-Mas, aku ke toilet sebentar yah?" pintanya terbata.

Merasa disetujui, ia kemudian keluar dari ruangan tersebut, bertanya pada penjaga di depan mengenai letak toilet. Merasa masih penasaran akan sosoknya, aku melangkah mengikutinya. Namun, aku hanya dapat melihatnya sampai ia menghilang di sebalik pintu toilet.

Tidak berselang lama setelahnya, seorang pria menyusul masuk ke toilet tersebut, padahal toilet itu khusus wanita. Perasaanku tidak enak, sekelebat pikiran buruk singgah di kepalaku, tetapi diriku terus saja berusaha menepisnya.

Hingga Mr. Hanan yang berstatus sebagai suaminya tiba-tiba sudah berada di hadapanku, "permisi," ujarnya sopan. Aku mengangkat alisku, "iya?" Dia berdehem, " kamu melihat seorang wanita berjilbab lewat di sini tadi?" tanyanya. Aku mengangguk, "dia masuk ke sana," jawabku menunjuk toilet yang tepat berada di hadapanku.

Mr. Hanan mengucapkan terimakasih sebelum berlalu menyusul wanitanya. Butuh beberapa waktu hingga terdengar keributan di dalam sana. Perlahan aku mendekat, dan benar saja—keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

Entah apa yang salah pada diriku? Melihatnya seperti itu membuatku merasa marah, kecewa, ingin kubawa tubuh ringkihnya dalam pelukku. Dia terlihat begitu ketakutan, sementara kedua pria di dalam sana masih saja saling pukul memukul.

Tidak bisa lagi kutahan, tubuhku bergerak maju hendak menyentuhnya, tetapi pergerakan Mr. Hanan menghentikanku. Kilatan amarah terlihat begitu kentara dalam ekspresi wajahnya, tidak tangung-tanggung, ia menarik wanitanya kasar berlalu dari sana.

Hanya senggolan dibahu yang kudapat dari wanita itu, tetapi rasanya melekat yang tidak bisa kuartikan dalam sekejap. Sebenarnya, siapa dia?

Halu Benalu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang