Halu Benalu || Bagian Dua puluh empat

9 3 0
                                    

"Apa yang harus kita lakukan? Dia anak perempuanku satu-satunya, Dokter. Aku tak sanggup melihatnya seperti ini," ungkap Mama dengan sendu. Menerima penolakan Najwa saat ia pertama kali membuka mata, membuat Mama dirundung kekhawatiran dan kesedihan yang mendalam.

"Tidak banyak yang dapat dilakukan. Jangan memaksakannya untuk mengingat, itu akan menyakitinya. Walau sedikit tidak masuk akal, tetapi ini lah kenyataannya—ia hilang ingatan setelah bangun dari tidurnya. Saya sebagai Dokter tak bisa menjelaskannya secara medis."

Omong kosong, itu lah yang keluar dari mulut Dokter tersebut. Karena pada hakikatnya dia adalah salah satu aktor bayaran pada kisah yang kumulai sejak beberapa hari yang lalu.

"Jadi, Dok. Sampai kapan Adik saya akan seperti itu?" tanyaku, sesuai skenario yang kuatur sendiri. "Tak dapat diprediksi," jawab Dokter tersebut, ia melakonkan perannya dengan begitu apik.

"Maaf kan saya, saya hanya dapat mengatakan bahwa yang bisa kita lakukan saat ini adalah beradaptasi dengan sikapnya yang akan berubah setelah bangun dari tidurnya," jelasnya kemudian. "Kita tunggu reaksi selanjutnya sebelum memutuskan hal yang perlu dilakukan untuk kedepannya," ujarnya menambahkan penjelasannya.

Saking seriusnya aku melakukan sandiwara ini, aku sampai tidak sadar bahwa Najwa sudah berdiri di depan tangga, menatap kami penuh tanya. "Ada yang bisa menjelaskan sesuatu padaku?" tanyanya setelah berjalan beberapa langkah ke arah kami.

"Kamu tak mengingat siapa dirimu?" tanya Dokter bayaranku, melanjutkan aksinya. "Aku ingat. Tentu saja," jawabnya yakin. Aku tersenyum samar karenanya. "Kalo begitu, siapa kamu?" tanya Dokter tersebut membuatku gregetan.

"Aku Najwa Akib," jawabnya dengan sempurna. "Josh, segalanya berjalan sesuai dengan apa yang gue mau," batinku kesenangan. Sementara Mama, Papa dan Kak Awal yang mendengar hal tersebut, mereka kaget dan menatap penuh tanya pada Najwa dan Dokter di hadapannya.

Tidak elak, Mama kembali menumpahkan tangisnya. Jujur, aku selalu tidak sanggup ketika Mama sudah mengeluarkan cairan bening berharga itu. Namun, aku dapat menjamin bahwa setelah ini hanya akan ada tawa yang tercipta di dalam rumah ini.

"Kamu kenal mereka?" tanya Dokter gadungan itu lagi. "Jujur saja, tidak!" jawab Najwa dengan lantang. Aku mengumpat terhadap pertanyaan lucknut tersebut. Bagaimana tidak? Jawaban Najwa terhadap tanya tersebut membuat Mama menangis tersedu.

"Baiklah. Jika memang kamu tak ingat, biar saya perkenalkan mereka padamu," ujar Dokter gadungan tersebut membuatku menghela napas panjang—improvisasi yang buruk. "Yang disebelahmu, mereka Mama dan Papamu. Sedangkan yang dihadapanmu, mereka berdua Kakakmu," jelasnya.

"Namamu adalah Alora Aurora," ungkapnya kembali pada rencana. Melihat tingkahnya hanya dapat membuatku geleng-geleng kepala.

Terlihat jelas mimik wajah Najwa penuh kebingungan terhadap pristiwa yang ada di hadapannya saat ini. Sedikit rasa bersalah terbesit di relung hatiku, tetapi tidak apa-apa, aku sudah sejauh ini melakukannya.

...

Merasa bahwa keadaan sedang baik-baik saja di kediamanku, aku memutuskan untuk mengunjungi Alora di rumah sakit. Tidak terlupa, aku meninggalkan pengawal dan mata-mata untuk mengawasi rumahku dan Najwa.

Membuka pintu perlahan, aku memandang ke dalam sana. Tepat di hadapanku, tidak jauh dari tempatku berdiri, Ayi termenung memandang perempuan Iblis yang terkulai lemah di atas ranjangnya.

Tatapannya tidak dapat kuartikan, tersirat rasa kecewa, penyesalan, kesedihan, luka, dan sedikit rasa lega. Aku pun kadang kala bingung, ia sebenarnya menaruh hati pada siapa? Apa kah pada Alora teman masa kecilnya atau kah Najwa bidadarinya?

Aku rasa bukan hakku memikirkan semua itu. Aku hanya dapat menghela napas sebelum melangkah masuk menemui mereka. Menepuk pundaknya, "lo kenapa?" tanyaku basa-basi. Dia tersentak kaget atas kehadiranku, "gak kenapa-napa," ujarnya, ia tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya.

"Udah lama lo?" tanyanya. Aku menggeleng, "baru aja," jawabku. Duduk pada sofa yang disediakan di ruangan itu, aku menatapnya tajam. "Lo nyesel?" tanyaku pada Ayi. "Nyesel kenapa?" ujarnya.

"Gak. Gue cuman tengah kepikiran saat melihat wajah tak senangmu itu," jujurku padanya. "Entahlah. Gue cuman ngerasa bahwa meski sudah melakukan hal yang menurut gue benar, tetap saja masih ada yang mengangganjal di dalam sini," ungkapnya memegang dadanya.

"Bukan cuman itu. Kerap kali terlintas dalam pikiran gue sebuah pertanyaan mengenai salah dan tidaknya keputusan gue," ujarnya kemudian. Aku bisa sedikit memahami perasaannya, dia belum bisa mencerna dengan baik semua kenyataan yang terpampang di hadapannya saat ini.

Kedekatannya dengan Alora di masa-masa sulitnya, membuatnya ragu untuk melakukan hal yang tentu saja merugikan Alora. Bagaimana pun mereka pernah terikat dalam hubungan persahabatan, saling memberi pegangan, sandaran dan pelukan untuk sebuah kekuatan dalam menghadapi kehidupan yang pelik masa itu.

"Gue takut nyesel," ungkapnya. "Gak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang gue lakuin ini bener, bahkan lo sekali pun," ujarnya, memijit pangkal hidungnya.

"Masih banyak misteri yang belum terpecahkan, tetapi gue udah mengambil kesimpulan. Apa jadinya ketika kesimpulan yang gue ambil itu keliru? Gue udah nyakitin banyak orang, dan pada akhirnya gue yang bakal merasa paling tersakiti," jelasnya, membuatku mendengus karenanya.

"Setiap jalan mempunyai sisi bebatuan. Setiap pilihan akan menghasilkan suka dan duka. Setiap keputusan akan berakhir pada penyesalan," ucapku hendak membuka pikirannya dan menenangkan kekhawatirannya.

"Namun, setiap dari kita mempunyai cara untuk bertahan melewati jalan-jalan itu. Berhak memilih, sehingga kita dapat meminimalisir duka dan memaksimalkan suka. Serta dapat membuat keputusan agar penyesalan tidak tertoreh sedemikian dalam," balasnya, membuatku bungkam.

"Gue yakin, di lubuk hati lo yang terdalam juga gak menginginkan keadaaan ini terus berlanjut bukan?" tanyanya, tepat sasaran. "Tapi, gue bakal jauh lebih menyesal jika suatu saat gue tau lebih banyak mengenai perlakuan buruk mereka ke Adek gue dan gue gak bisa melakukan apa-apa untuk membalaskannya."

...

Pernah kah kalian berharap mati? Dibandingkan dengan kesembuhan, kalian lebih menginginkan kematian, pernah kah? Namun, itu semua bukan karena kalian tidak ingin hidup, justru berharap bahwa kematian akan membawa kalian ke kehidupan yang lebih baik. Apa itu mungkin?

Di sini aku mengharapkan hal yang demikian.

Terbangun dari mimpi buruk, disambut oleh kenyataan pahit, rasa kecewa membelenggu jiwa. Bukan ini yang ingin kudengar setelah bangun dari tidurku, bukan ini yang kumau setelah berusaha keluar dari mimpi burukku, tetapi ini yang kudapatkan pada akhirnya.

Bersusah payah memberi tahu pada diriku sendiri, bahwa aku memang tidak layak mendapatkan apa yang ingin kumiliki, bahkan jika itu hanya sebatas angan-angan. Lantas, apa yang kuharapkan? Harapanku telah kuhancurkan, hingga jiwaku kecewa akan raga yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Mendengar suaranya, mengetahui bahwa dia ada di ruangan yang sama denganku, sudah cukup membuatku bahagia. Sudah seharusnya aku tidak berharap lebih, tetapi seperti manusia pada umumnya, yang tidak pernah puas akan sesuatu, dengan tidak tahu dirinya, aku berharap diperhatikan olehnya.

Sadar lah, Alora. Dia datang bukan untuk memastikanmu sembuh, tetapi memastikan dirimu tetap hidup sehingga dia dapat membuat lubang yang dalam agar rasa sakit yang dia berikan tetap memiliki ruang.

Halu Benalu ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя