Halu Benalu || Bagian Tujuh belas

7 2 0
                                    

Sepi, begitulah keadannya. Meski kehadiran mereka hanya menorehkan luka, tetapi kadangkala rasa rindu muncul tiba-tiba, menggerogoti hatiku, meracuni pikiranku akan rasa iri yang terus membanjiri.

Jangan tanya ke mana mereka pergi, karena akan kujawab bahwa aku tidak tahu. Ayolah, aku hanya seorang figuran di cerita ini, pemeran utama tidak akan datang padaku hanya untuk memberi tahu bahwa mereka akan pergi dan agar aku baik-baik saja ditinggal sendiri di rumah besar ini.

Miris yah? Namun mau bagaimana lagi? Semenjak Mami Sarah menarawiku untuk membalas dendam pada mereka, disitulah awal kehancuran diriku—yah, bukan awal kehancuran dari mereka, tetapi awal kehancuran hidupku dan segala hal tentangku.

Ah, tidak. Bagaimana mungkin seorang Alora menyalahkan dirinya sendiri atas pilihan yang telah ia tetapkan? Bukan, awal kehancuran hidupku adalah saat di mana mereka dengan tega mengeluarkan aku dari kehidupan mereka. Mengapa tidak membunuhku saja, jika toh titipan yang telah diberikan Tuhan untuk mereka malah mereka sia-siakan?

Ck. Ralat. Memang benar salahku. Kenapa juga aku menyanggupi bahwa aku bersedia untuk hidup di dunia ini? Rasa-rasanya aku mengerti mengapa bayi itu menangis saat mereka dilahirkan? Bukankah sebab mereka menyadari bahwa mereka telah dikeluarkan dari kenyamanan menuju tempat terkejam yang ada di semesta ini.

Dan yah, para keluarga tertawa bahagia, sebab bisa membagi beban penderitaan mereka. Namun, mungkin saja pada saat kelahiranku orang tuaku justru menangis, menyesal telah membiarkanku hidup di rahim Mama. Sebab aku tidak mengurangi beban mereka, tetapi malah menambahnya saja.

Sial! Tidak ada yang bisa kusalahkan selain diriku sendiri. Yah, meski aku bukanlah manusia baik-baik, tetapi kurasa tidak pantas ketika aku yang tidak sanggup hidup malah menyalahkan Tuhan atas takdir yang kuterima.

"Shit!" Tersenyum getir, aku berdecak kesal. "Sebegitu senangnya kamu kami tinggal beberapa hari sampai senyum-senyum begitu," ujar seseorang menyentakku untuk keluar dari perdebatanku dengan pikiranku.

"Senang dari mana bangsul! Orang lagi meratapi nasib," dumelku di dalam hati sambil memandang mereka satu per satu tanpa ekspresi. "Kenapa lo natap kami begitu?" sinis Kak Awal membuatku menghela napas panjang.

"Seneng kan lo gak ada yang mantau lo selama beberapa hari? Jadi bisa berbuat sesuka lo di rumah ini," ujarnya tanpa melihat fakta yang terjadi sebelumnya. "Oh, jelas. Seneng banget malah," ujarku menambahkan.

"Asal lo tau yah, gue bahkan abis party di rumah ini. Gue ajakin semua temen-temen gue ke sini buat mabok sama-sama," karangku hanya ingin memperkeruh suasana. "Oh, bukan cuman itu. Beberapa hari bahkan gue servis om-om di kamar gue. Lumayan buat nambah-nambahin uang jajan," ujarku dengan nada mengejek yang kentara.

Inilah keahlian gue. Kubiarkan orang-orang menuduhku sesuka mereka, jika perlu kutambahkan sampai mereka tidak akan sanggup mengatakan apa-apa lagi tentangku. Karena kurasa percuma memberitahu seseorang atau pun menjelaskan kepada mereka tentang dirimu yang tidak seburuk kelihatannya, jika lebih awal mereka sudah menjudgemu buruk—buang-buang waktu lebih tepatnya.

"Ada lagi yang mau kalian tau?" tanyaku menantang.

"Apa yang udah lo lakuin ke Adik gue?" ujar Kak Awan begitu tiba-tiba. Aku menatapnya bingung, mengerti dengan apa yang tengah ia maksudkan, aku tersenyum sinis. "Apa yang udah lo lakuin ke Adik lo sendiri? Ah ralat, Adik yang gak pernah lo anggap keberadaanya," ujarku mentapnya nyalang.

"Cih. Jangan berharap banyak Alo, lo itu cuman pemeran pengganti di kehidupan Awa," ujarku terang-terangan, membuang muka ke sembarang arah. "Sepertinya lo udah mendapatkan apa yang lo cari selama ini. Gue harap lo gak ngerepotin gue dengan salah mengambil langkah," sarkasku.

"Seperti yang sudah Mama bilang sebelumnya, penyesalan adalah neraka terkejam di dunia. So, jangan salah langkah atau lo bakal masuk di dalamnya," ujarku yang kuakhiri dengan senyum lebar. Tanpa permisi, aku beranjak pergi.

"Apa sebenarnya yang tengah kalian bicarakan," tanya Mama Uci yang masih dapat kudengar samar-samar. Namun sepertinya Kak Awan enggan untuk menjawabnya, sebab bukan suara dari mulutnya yang kudengar, melainkan langkah kaki panjangnya.

Rupanya aku memendam rinduku seorang diri. Hem, mereka berkumpul ria di sana, dan aku tinggal seorang diri di rumah bak neraka ini. Yah, aku tidak takut lagi jika harus masuk ke dalam neraka penyesalan, sebab sedari dulu aku sudah berada di dalam neraka yang lebih kejam darinya.

...

Deringan telepon genggamku membangunkanku dari tidurku. Setelah lelah menumpahkan tangis serta segala keluh kesahku juga amarahku, aku tertidur di lantai kamar mandi yang dingin dan dipenuhi cairan berwarna merah bekas perlakukanku terhadap diriku sendiri.

"Hem, ada apa?" tanyaku, setelah berhasil mengangkat telepon itu. "Rupanya penyamaranmu sudah terbongkar sedikit demi sedikit. Bahkan Kakakmu sudah lancang masuk ke daerah kekuasaan saya. Menurutmu apa yang bisa saya lakukan untuk kegagalanmu ini?" ujar seseorang di seberang.

"Seperti yang kamu tahu, saya sudah melampaui batas kekuatanmu. Sebab saya sudah memiliki harta berlimpah untuk melakukan hal yang lebih buruk dari yang kamu kira," ucapnya lagi. "Kamu bayangkan saja, dulu meski tidak punya apa-apa, saya tetap bisa membuat kalian berdua menderita, bahkan hampir merusak penuh hidup keluarga kalian—"

"menurutmu, setelah memiliki uang yang melipah seperti sekarang, apa saja yang bisa saya lakukan yah?" jelasnya mendidihkan kemarahanku. "To the point. Apa yang anda inginkan?" tanyaku, tidak minat untuk bertele-tele dengannya.

"Jangan sampai Kakakmu itu merusak rencanaku, sebab jika itu terjadi maka Adikmu yang akan menanggungnya," ujarnya seperti biasa, penuh dengan ancaman yang sialnya akan segera terealisasikan jika tidak kupatuhi keinginannya.

"Sejujurnya, saya cukup merasa kasihan padamu. Kamu yang selalu menanggung rasa sakitnya, tetapi tetap saja kamu masih dianggap tidak ada," ujarnya, mengejekku. "Penderitaannya tidak seberapa dengan penderitaanmu, sebab kamu selalu membantunya untuk menanggung semua itu. Tapi, apa yang kamu terima? Rasa sakit berlipat ganda."

Aku berdecak, "sial! Memang benar yang ia katakan," gumamku yang kupastikan tidak didengarnya di seberang.

"Seharusnya kamu berterimah kasih pada saya, sebab mengurangi beban tanggunganmu. Yah, dengan dia saya jual pada Mr. Adnan, setidaknya kamu tidak perlu kerepotan lagi untuk menanggung separuh penderitaanya, jadi kamu bisa fokus untuk mengurusi penderitaanmu sendiri," jelasnya, membuatku ingin sekali mencekik lehernya, lalu mematahkannya begitu saja.

"Ayo lah, jangan terlalu naif, kamu tidak bisa terus-terusan menjadi malaikat pelindungnya," tawanya pelan, membuatku melempat ponselku begitu saja. "Ahahahah, jangan marah begitu, Mamimu ini selalu benar jika itu tentang dirimu dan dirinya," ujarnya yang mmebuatku memungut ponselku dan memantingnya satu kali lagi.

"Eits, jangan lupakan ancamanku. Patuhlah jika kamu benar-benar menyayanginya seperti orang buta yang tidak punya otak," ujarnya, membuatku mengambil kembali ponselku dan membantingnya beberapa kali agar benar-benar hancur, hingga aku tidak bisa lagi mendengar tawa Iblis itu.

Yah, semua ucapannya memang benar, aku buta, aku bodoh, dan aku tidak berguna. Sudah sepantasnya aku tiada. Mengapa bidadari sepertinya harus memiliki kembaran sepertiku? 

Halu Benalu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang