Halu Benalu || Bagian Sembilan belas

9 4 0
                                    

"Disakiti orang lain memang membuat kita menderita. Namun menyakiti orang lain bukan hanya memberi derita, tetapi juga penyesalan yang menyiksa. Belum lagi bonus karmanya," ujar seseorang yang tiba-tiba duduk di hadapanku dan Senja.

"Saya Mommy-nya Adnan. Senang bisa bertemu wanita hebat sepertimu."

...

Cukup lama menetralkan rasa yang sudah terlanjur membuncah sehingga mengalir lah cerita penuh duka dan air mata, Ny. Hanan—Mommy dari Mr. Adnan, suami Najwa, tetap setia menungguku selesai berkutat dengan rasaku.

Untung saja, sebelumnya aku telah meminta Senja untuk memesan layanan ruangan private di restoran ini, sehingga tidak ada lagi orang yang bisa melihat kerapuhanku selain Senja dan Ny. Hanan. Aku tidak ingin merusak citraku yang kejam.

"Khem," dehemku bermaksud hendak memulai perbincangan yang sempat tertunda. "Mohon maaf sebelumnya Nyonya, telah membuatmu menyaksikan peristiwa memalukan ini," ujarku masih berusaha menetralkan suaraku.

"Ah, tidak masalah. Saya malah merasa senang sekali dapat melihat ketulusan hatimu dan sebenar-benarnya dirimu," balasnya tersenyum lembut nan hangat. "Jika tidak begitu, mungkin saja saya akan memperlakukanmu sama seperti apa yang telah keluargamu perbuat padamu. Bukan begitu?" ujarnya tepat sasaran.

Rupanya memang benar rumor yang beredar, bahwa keluarga Al-Hanan itu bukan keluarga biasa. Lihat saja, Ny. Hanan mengetahui perihal masalah internal keluargaku, padahal baik mereka atau pun aku berusaha mati-matian meyakinkan publik bahwa keluarga kami baik-baik saja dan selalu bahagia seperti sebelum-sebelumnya.

"Saya rasa melihat perlakuanmu yang seperti ini, mereka terlalu pasif dalam mencari tahu kebenarannya, hingga tidak sadar bahwa kedua putri kesayangan mereka telah terluka sedari lama." Desah kekecewaan terdengar jelas dari mulut Ny. Hanan. Aku hanya dapat tersenyum sendu mendengar ucapannya yang sial bagiku bahwa itu benar adanya, kecuali—

"Princess Najwa kesayangan mereka lebih tepatnya, Nyonya." Bantahan segera kulayangkan pada kaliamat terakhirnya, sebab itu tidak benar adanya. Aku tidak pantas menerima kasih sayang itu. Bukan karena aku tidak mau, tetapi aku sudah lebih dulu mendapat penolakan yang semu.

Dia tersenyum sendu ke arahku ketika terdengar ucapan itu keluar dari sela bibirku. "Tidak kah kamu terlalu berburuk sangka kepada keluargamu, Nak?" tanyanya membuatku menghela napas panjang. "Aku pernah berpikir demikian Nyonya, tetapi segera kutepis," ujarku pelan.

"Dua belas tahun lamanya mereka kehilangan diriku, sembilan tahun aku tinggal bersama mereka. Tidak ada kah secercah pemikiran bahwa aku anak mereka?" ujarku kemudian tertawa—menertawakan nasibku yang pilu.

"Sembilan tahun kuselalu berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa pemikiranku selama ini salah, tetapi kenyataan menjawab segalanya bahwa hal itu memang benar adanya," jelasku tanpa ada yang kusembunyikan lagi, kusuarakan segalanya.

"Meski kami memiliki kepribadian yang berbeda, tetapi bukankah kami lahir dari rahim yang sama, keturunan yang sama, nama belakang yang sama. Lantas mengapa mereka dapat mengenali Najwa sementara aku yang juga anak mereka, adik mereka tidak diperlakukan sama?" ungkapku panjang lebar.

"Tidak ada bukti dari sang kenyataan bahwa mereka pernah menganggapku ada. Itu artinya semua pemikiranku itu hanyalah semu semata bukan?" tanyaku menatapnya dalam. "Aku tidak melihat peluang itu selama ini, sehingga aku sulit untuk memercayai pernyataan tersebut," ungkapku dengan penuh kejujuran.

"Bukankah peluang merupakan ukuran keyakinan seseorang pada suatu pernyataan?" tanyaku lagi. "Jadi kuputuskan, aku tidak percaya bahwa aku pernah ada dalam kenangan-ah tidak. Aku tidak percaya bahwa aku pernah ada dalam kehidupan mereka," finalku.

"Kumohon Nyonya. Berhenti lah membahas soalku. Sebab bahkan diriku tidak menganggap bahwa aku benar-benar ada di dunia ini," ujarku, kuahiri dengan senyum tulus yang pernah kupunya.

...

Setelah kuberi pengertian pada Ny. Hanan, ia kemudian berhenti membahas tentangku. Sementara Senja yang duduk tepat di sampingku sedari tadi, ia diam membisu.

"Jadi apa yang kamu inginkan dariku, Nak?" tanya Ny. Hanan mengawali perbincangan yang sebenar-benarnya perbincangan. "Kumohon lepaskan Najwa dari jeratan anak Nyonya?" pintaku tanpa basa-basi.

"Akan kutebus berapa pun, asal Nyonya mengembalikan saudariku." Terdengar tidak sopan memang, tetapi inilah yang harus aku lakukan agar Najwa baik-baik saja. "Aku tahu pasti Nyonya pun tahu tentang bagiamana anak Nyonya memperlakukannya. Dan jika dia masih di sana, aku tidak bisa membantu apa pun selain ikut merasakan rasa sakitnya—penderitaannya," jelasku.

"Lalu kamu bisa menjamin dia baik-baik saja setelah terlepas dari jeratan keluarga Al-Hanan?" tanyanya seperti hendak mencari keyakinan dalam tatapanku—lebih tepatnya berusaha meyakinkan dirinya terhadap permintaanku.

"Seperti yang kamu tahu, bahwa Sarah lebih berkuasa sekarang, apa lagi dirinya mendapat tunjangan uang dari Adnan," jelasnya yang kutahu pasti mengenai hal itu. " Sudah kupikirkan matang-matang soal ini Nyonya," balasku mantap.

"Aku pastikan dia tidak akan berani menyentuh saudariku seujung kuku pun," yakinku. Nyonya Hanan terlihat sedang berpikir, "apa sebenarnya yang kamu rencanakan, Nak?" tanyanya setelah menghela napas panjang. Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa ia tengah merasa khawatir berat.

"Mengembalikan segalanya seperti sedia kala," kataku. "Apa kah kamu sudah tahu bahwa sesuatu yang sudah menjadi masa lalu tidak bisa dikembalikan lagi, sesuatu yang sudah menjadi sebuah takdir tidak dapat diubah lagi?" ucapnya masih berusaha meyakinkan dirinya atau mungkin mengubah rencanaku.

"Aku tahu. Kenangan itu tidak akan berubah meski kita menangis darah meminta perubahan darinya. Namun, layaknya kesalahan ... berbuat kesalahan memang lah perbuatan tercela, tetapi dengan tidak memperbaiki kesalahan itu lebih tercela. Sebab disitulah kata maaf tidak berguna," ujarku mantap.

"Jika sudah sampai tahap itu keyakinanmu, Nak. Saya tidak bisa apa-apa selain menjulurkan tangan untuk membantumu dan menyerahkan segalanya pada takdir dan waktu sebagai anugrah Tuhan untuk mengatur segala jalan kehidupan," ujarnya menyetujui.

"Ada beberapan permintaan sebelum saya mengabulkan permintaanmu," ujarnya, aku mengulurkan tangan pertanda meempersilahkannya kembali berbicara.

"Apa pun yang terjadi, kita tetap harus bertemu kembali. Apa pun yang terjadi saya ingin Najwa tetap menjadi menantu di keluarga Al-Hanan. Apa pun yang terjadi, tetap lah ikuti kata hatimu yang tulus itu," pintanya dengan bersungguh-sungguh.

"Najwa sangat beruntung," ungkapku pelan. "Dia memiliki orang-orang hebat yang menyayanginya begitu tulus," lanjutku menghembuskan napas, berusaha menghalau air mata yang hendak jatuh kembali membasahi pipi.

"Yah, dia sangat beruntung. Dia sangat beruntung memiliki saudari sepertimu, Nak. Saudari yang tidak pernah ditemuinya, tetapi sangat mencintai dan menyayanginya melebihi siapa pun yang ada di dunia ini," ujar Nyonya Hanan yang langsung saja mendobrak pertahananku akan air mataku.

...

Teruslah menebar kebaikan meski yang kamu dapatkan hanyalah keburukan semata. Setia dan tulus lah melakukannya seperti perlakuan langit pada bumi, perlakuan hujan terhadap takdir, dan perlakuan waktu terhadap masa lalu. Sebab, senja memang indah, tetapi datang dan pergi tidak menetap melainkan hanya singgah.

Siapa tahu- ah, tidak. Sudah pasti bahwa dengan kebaikan yang kamu lakukan itu mendapatkan berkah dari Sang Maha Pencipta sehingga kamu dikirimkan seseorang olehnya selayaknya Sang langit, Sang hujan dan Sang Waktu—setia terhadapmu di segala keadaanmu.

Dariku yang masih berusaha melakukannya 😊

Halu Benalu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang