15| Permintaan Aneh

131 14 0
                                    

Jeffrey Esa Kurniawan

Menilik masa-masa awal pertemuan kita dulu, gue akui keputusan gue dan Gladis menikah memang terkesan buru-buru. Dari awal bertemu hingga hari menikah ada sekitar satu tahun, namun untuk mengenal dekat waktu yang dilalui jauh lebih sedikit dari itu. Banyak pertimbangan yang melatarbelakangi pernikahan kita.

Gue ingat dengan benar. Saat itu gue tergila-gila pada seorang gadis yang sedang mengalami patah hati terhebat karena gagal menikah dengan kekasih yang sudah bersamanya selama sepuluh tahun. Gue menikahi Gladis pun terasa seperti aksi heroik untuk membuat hati Ayah Gladis tenang. Ayah yang saat itu dalam masa kritis, berbaring lemah di ICCU, menyuarakan kebimbangannya. Beliau tak tenang meninggalkan putri bungsu seorang diri di dunia ini.

Bisa dibilang, gue dan Gladis menikah tanpa ada kata pacaran di antara kita terlebih dahulu. Kita menikah di Yogyakarta, tempat Gladis dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh cinta. Kita menikah di antara jeda gue mempersiapkan pertandingan dan dia masih sibuk dengan pendidikan dokter spesialisnya. Gue masih ingat betul. Alih-alih mengambil cuti panjang untuk berbulan madu, Gladis malah harus segera kembali ke rumah sakit untuk mempersiapkan ujian akhir semester.

Semuanya serba kilat. Saking kilatnya, gue sampai nggak merasa ada perubahan apa-apa dalam hidup sebelum dan setelah menikahi Gladis. Kita berusaha saling menghubungi tiap hari, meskipun terkendala perbedaan waktu yang berubah-ubah, karena gue sudah mirip kutu loncat pindah-pindah negara dalam selang waktu yang sebentar.

Perbedaan selain itu? Ya, tidak ada.

Enam bulan pertama pernikahan gue merasa hampa. Gue sempat mempertanyakan diri sendiri. Jangan-jangan, cuma gue yang cinta Gladis? Dia kan mau menikah untuk bikin Ayah tenang doang. Jahatnya, gue merasa bahwa pernikahan gue saat itu hanya untuk melegalkan seks.

Di tengah kegalauan gue, Gladis akhirnya bisa mengurus liburan panjang. Untuk pertama kalinya kita bulan madu, di usia pernikahan ke-enam bulan. Dia nyusul gue di Belanda dan kita bersenang-senang bersama di sana. Sejak saat itu, kita sepakat, tiap Gladis liburan semester kita akan jalan-jalan bersama, terserah mau di belahan dunia mana pun.

Membicarakan cinta, gue yakin kita berdua saling mencintai. Masing-masing dari kita setia, cukup dengan satu pasangan. Mungkin memang cinta itu tidak instan hadir begitu saja setelah menikah. Dengan perasaan nyaman dan saling percaya yang kami pupuk, perasaan itu datang dengan sendirinya. Tanpa perlu dipaksakan dicari.

Tapi, menikah tidak melulu soal cinta. Apalagi kalau menyangkut urusan anak. Gue dan Gladis sama-sama sepakat untuk punya momongan, dua malah. Semua hal sudah tersedia, mulai dari rumah, kendaraan, hingga uang untuk membiayai mereka hingga besar.

Lagi-lagi, kita terlalu terburu. Kita keburu punya Akio sebelum bisa menjadi partner yang baik dalam hal komunikasi dan saling mendukung mimpi masing-masing. Child rearing becomes challenging, at least for me. It's harder than riding my bike on wet road during heavy rain. Dan tanpa bantuan yang adekuat dari gue, Gladis juga pasti kesusahan.

Liburan kali ini, gue ingin pacaran berdua, bukan bertiga sama Akio kayak yang kemarin kita lakukan di Barcelona. Setelah Akio lahir, kita belum pernah pacaran. Sebelum Akio lahir pun, jarang banget menghabiskan waktu berdua karena terpisah jarak. Gue ingin memberikan Gladis kesempatan untuk manja ke gue, bersandar ke gue. Tidak melulu bersikap dewasa dan menjadi sosok ibu yang baik.

"Shasha," panggil gue di suatu malam. Malam pertama liburan kita.

"Apa?"

Gue membawa laptop ke kasur, lalu berbaring tengkurap di sebelahnya yang asyik duduk bersandar sambil membaca novel. Gue tarik-tarik ujung piyamanya, memaksa untuk ikut berbaring. Akhirnya, Gladis menutup buku dan melihat ke layar laptop gue.

Race TrackWhere stories live. Discover now