16| Cinta yang dipertanyakan

142 22 0
                                    

Jeffrey Esa Kurniawan

Gladis mabuk.

Membayar taksi dengan tangan kiri, gue berusaha menahan Gladis agar tidak keburu keluar tanpa gue dengan tangan lainnya. Gue berhasil menyeret Gladis ke kamar selamat sentosa. Sedang ingin buru-buru, tali tas Gladis yang gue gantungkan di leher gue, malah nyangkut. Gue memaki tanpa sensor, toh Gladis sedang mabuk, nggak bakal marahin gue.

"Shasha, wait, jangan ke sana," gue buru-buru meraih pinggang Gladis, melarangnya pergi ke arah lain.

Setelah melewati beberapa kesulitan, akhirnya gue berhasil membuka pintu kamar. Gladis langsung masuk dan melemparkan diri ke atas kasur. Seperti bayi, ia merangkak, masuk ke dalam selimut secara mandiri.

"Bentar, Shasha. Sepatu kamu."

Jujura ya, susah banget. Ini pertama kalinya Gladis minum dan dia langsung menantang diri mencapai batas maksimal. Gue sudah berusaha menghentikan, tapi Gladis bandel. Untuk ukuran newbie, Gladis hebat juga sih, bisa bertahan dua gelas sebelum ada tanda-tanda tipsy.

Mabuknya Gladis masih tergolong mabuk yang tenang. Dia nggak banyak bicara, cuma cegukan. Bedanya, Gladis suka berkeliaran kesana-kemari. Bikin gue kelabakan harus mengejarnya tanpa henti.

Gue lepas sepatu Gladis. Gue siapkan air hangat dan handuk sebelum menyekanya. Ketika gue berniat membalik tubuh Gladis, berusaha menjangkau resleting di bagian punggung, tangan gue ditangkap. Gue kira Gladis sudah tidur, rupanya mata indah itu terbuka lagi.

"Jeffrey."

"Ya?"

"Jeffrey."

"Iya, Shasha?"

Gue duduk di pinggir kasur, gue biarkan Gladis memegangi tangan gue. Gue nggak beranjak sedikit pun, berusaha memasang telinga mendengar tiap perkataan yang keluar dari bibir istri gue. Ucapan orang mabuk biasanya tuh ngalor-ngidul, tapi isinya adalah kejujuran.

"Jeffrey... suami aku."

Gue sudah senyum-senyum sendiri mendengarnya. Gladis mabuk malah kayak menyatakan cinta. Gue kan jadi salting, salah tingkah.

"Nyebelin."

What? Gue nggak salah dengar, kan?

"Nyebelin banget, huhu."

Lho kok Gladis malah nangis?

"Aku... Aku kesel.... Karena dia suami aku, aku nggak bisa maki-maki," Gladis masih menangis dan bicara, seolah gue ini tidak ada. "Aku cuma mengumpat satu kali. Itu pun dalam hati. Huhu, nyebelin, nyebelin."

Gue usap pipi Gladis yang basah. Tersenyum sendu, gue balas ucapannya. Bodoh banget gue, ngomong kok sama orang mabuk.

"Nggak papa. Sekarang kamu boleh maki-maki Jeffrey. Nggak ada yang dengerin.

"Bener?" Gladis berusaha menahan isak tangisnya.

"Iya."

"Jeffrey...."

Gue mengerutkan kening kala Gladis malah terdiam dengan mata tertutup. Napasnya mulai teratur. Apakah dia tidur?

"Brengsek! Sialan! Pengecut!"

Gue kaget. Beneran kaget. Gue sudah siap-siap akan membersihkan tubuh Gladis, tiba-tiba segala makian keluar dari mulutnya. Bener-bener kayak senapan yang langsung cus-cus-cus mengeluarkan banyak peluru dalam satu kali tembakan.

--

Menjalani hubungan dalam waktu yang lama bukan jaminan pasangan sudah mengerti satu sama lain. Jika ada yang bilang "aku tahu dia luar dalam", it's bullshit. Nggak ada orang yang benar-benar tahu isi hati orang lain. Seseorang saja kadang kebingungan dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa orang lain malah berujar sok tahu tentangnya?

Race TrackWhere stories live. Discover now