Sembilan

2.3K 523 15
                                        

Masalah Pak Bhumi sinting kemudian membuat aku mendapatkan fakta baru. Dari bilik anak magang dan rekan magang kesayanganku, Diana, aku tahu bahwa yang menangkap tubuhku waktu pingsan adalah Pak Bhum sendiri. Pantas saja setelahnya dia ada di sana. Mulanya, kukira Gema yang membantuku. Akan tetapi, Diana bilang kalau Gema malah kabur ke kamar mandi gara-gara kemejanya kena semburan muntah. Pak Bhum yang tahu-tahu ada di belakang tubuhku kemudian sigap menangkap aku sebelum jidatku menghantam lantai. 

Cuma, sedetik kemudian aku merasa menggigil dan segera saja memeluk lenganku sendiri, tidak peduli pada saat itu Diana dengan semangat berapi-api mereka kembali peristiwa yang menurutnya amat keren tersebut, sementara aku sendiri yang sempat menuduh bosku berasyik masyhuk dengan Mbak Centil kemarin, merasa sedikit bersalah. 

Yang benar saja, dia sampai menyusulku ke lantai enam dan meninggalkan teman kencannya itu demi aku? Kan, nggak masuk akal. 

Aku bahkan terlalu kaget sehingga nyaris mengabaikan panggilan yang masuk ke ponselku selama beberapa detik, dari ibu.

"Lan, Ibu sama Bapak sekarang sedang di kereta api. Sorean kayaknya sampai Jakarta, kamu bisa jemput?"

Jemput? Ibu dan Bapak ke Jakarta? Aku bahkan tidak percaya dengan kejutan ini. Masih pukul sebelas sewaktu aku melirik arloji di tanganku. Masih cukup waktu bahkan kalau jalan kaki, aku bisa sampai tepat waktu di stasiun, saking nekatnya aku. Tapi, ini bukan jaman perang dan ibu bakal tertawa habis-habisan bila aku benar-benar jalan kaki menjemputnya.

Dari pada itu, kenapa mereka baru mengabari aku sekarang? 

"Kok, Ibu nggak ngasih tahu dari kemarin kalau ke Jakarta?" aku merajuk. Tahu begitu, aku bisa siap-siap, minimal cari makanan biar mereka nggak kelaparan.

"Ibu aja mendadak ke Jakarta. Tadi malam ditelepon Bude kamu. Suaminya masuk rumah sakit, Pakdemu. Kasian nggak ada yang bantuin, apalagi kamu di Jakarta juga sibuk." Ibu bicara panjang lebar, kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir ibu membuat hatiku menghangat.

"Sekalian kami kangen sama kamu."

Ibu nggak tahu kalau aku merasakan hal yang sama kepadanya dan juga bapak. Tahun ini adalah pertama kali aku tinggal jauh dari mereka. KKN di kampus jangan dihitung karena daerah yang aku kunjungi nggak jauh-jauh dari Jogja dan sekitarnya. Akan tetapi, mereka berdua selalu mendukung kemauanku karena tahu, aku tidak bakal berani mengecewakan mereka berdua.

Bagiku, mereka berdua adalah segalanya, karena itu begitu ibu menyarankan untuk menerima pertunangan yang diajukan oleh keluarga Mas Arman, aku tidak menolak. Walau sedikit ada kesedihan, aku mungkin belum bisa membahagiakan mereka karena telah menyekolahkan aku hingga ke jenjang universitas. 

Tapi, ibu bilang, tidak mengapa. Apabila nanti Mas Arman mengizinkan aku untuk sekolah dan bekerja akan lebih baik lagi, hanya saja, bila dia juga menginginkan aku untuk berada di rumah dan mengabdi sebagai istri, aku juga tidak bakal protes. Toh, aku bisa belajar banyak hal lewat internet dan segala macamnya saat Mas Arman tidak berada di rumah.

"Eeh, awas!" 

Aku yang terlalu girang dengan berita kedatangan ibu tidak sadar telah berjalan tanpa arah dan ketika aku menyadarinya, semua sudah terlambat. Aku hampir terjungkal menabrak seseorang.

Bukan masalah jatuhnya yang membuat aku lantas malu, melainkan sosok yang kutabrak, yang membuat aku menjauh secepat yang aku bisa dan seperti biasa, suaranya yang riang membuat aku mesti menahan diri untuk tidak mengamuk. Bagaimanapun juga dia adalah bosku dan kesalahanku sendiri tidak menggunakan mataku dengan baik dan benar saat berjalan.

"Hei, lagi happy sepertinya?" 

Pak Bhum kalau ngomong sama kolega atau anak buahnya nggak pernah santai. Kalimatnya kalo nggak Inggris yang baku banget. Padahal, kalau sama temennya, Mbak Sasha atau Pak Adrian, dia kayak anak-anak muda Jakarta, kok. Lagian, dia belum tua-tua banget. Masih dua puluh tujuh, tapi, gayanya udah mirip banget om-om pemarah. 

The Moon TalksWhere stories live. Discover now