Kosong. Nggak ada Pak Bhum di ruangannya. Aku yang masih berdiri memegangi kopi dan sarapannya menoleh ke arah sekeliling dan mengerutkan alis. Tumben dia nggak ada di ruangannya. Jam segini dia selalu ngomel kelaparan dan aku harus selalu siap sedia mastiin perutnya kenyang supaya dia bisa tebar pesona lagi.
"Pak?" aku memanggil. Apa mungkin Pak Bhum ke WC?
Aku bergegas masuk dan berjalan menuju meja bosku tersebut, merapikan peralatan menulisnya yang sebenarnya baik-baik saja, meletakkan tumbler kopi dan mengeluarkan kotak plastik berisi sarapannya, berupa panekuk, potongan mentega dalam kemasan, sirup maple saset, dan juga seporsi buah potong yang amat dia sukai.
Beres. Kataku dalam hati. Aku juga berjalan ke arah jendela, menyibakkan gorden dan mematikan lampu. Hari sudah mulai terang, akan tetapi bosku yang cerewet belum nampak mukanya.
Bahkan hingga sepuluh menit berlalu, dia tetap nggak nongol. WCnya pun kosong.
Aku menghela napas. Mau telepon juga nggak bisa. Kan HPku ilang. Jadinya kuputuskan buat menelepon Pak Bhum lewat telepon di ruangannya. Untung aku hapal dengan baik nomor HPnya.
Heran, dia juga nggak ngangkat. Apa Pak Bhum lagi sibuk? Biasanya jam segini dia nggak sibuk, kok. Kan habis siaran. Ini juga waktunya dia sarapan dan Pak Bhum jarang makan di luar karena waktunya memang pas banget setelah dia bacain berita, terus balik lagi ke kantor.
Aku nggak ngerti. Tapi, karena aku masih harus kumpul dengan yang lain, akhirnya aku nyerah. Lagipula sarapannya sudah siap dan Pak Bhum bisa makan kapan saja. Dia juga nggak bakalan nyari aku kalau keperluannya sudah fix.
Karena itu juga, aku kemudian bergegas meninggalkan ruangan Pak Bhum dan berjanji bakal kembali lagi saat waktu makan siang tiba.
***
Aku nggak pernah tahu kalau peristiwa aku yang mengamuk di parkiran rumah sakit bakal berbuntut panjang. Aku sempat bertemu dengan Pak Bhum lewat jam makan siang, sekitar jam satu. Setelah setengah hari aku cemas dengan keadaannya, nggak lama setelah kami bertemu, dia malah nyuruh aku ketemu Mbak Sasha. Ketika kutanya, dia malah senyum-senyum dan bilang kalau Mbak Sasha punya jawabannya.
Hah? Kenapa dia nggak ngomong sendiri, sih? Apa dia ngambek?
Nyatanya, di ruang Mbak Sasha yang baru bisa aku temui lewat pukul empat, aku malah mendapati fakta lain. Pak Bhum menyuruh aku pindah ke divisi lain dengan alasan dia nggak butuh aku lagi sebagai asistennya.
Setelah berbagai macam akal bulus yang dia lakukan, menyuruh Bayu buat mengancamku, pada akhirnya dia menyerah gara-gara aku suruh.
Pak, kalau aku suruh kamu loncat, kamu bakal loncat juga, toh?
Astaga. Aku terlalu gemetar dan syok saat mendengar berita ini dari mulut Mbak Sasha. Bahkan aku berlari seperti dikejar maling menuju ruangan Pak Bhum dan sempat bertabrakan dengan beberapa staf, tapi masa bodoh. Pria gila yang barangkali saat ini sedang tertawa dengan teman kencannya atau artis wanita yang dia temui di lobi dan…
Tidak ada dia sama sekali di ruangannya. Bahkan, saat ini gorden yang pagi tadi aku buka, sudah dia tutup seolah-olah dia hendak pergi dan nggak bakal kembali ke sini.
Aku melirik ke arah meja kerjanya, tumbler hitam masih berada di sana, berikut panekuk yang telah aku siapkan tanpa disentuh sama sekali. Entah kenapa, melihatnya saja sudah berhasil membuat sudut hatiku merasa ngilu.
Ngambek, kok, seperti ini?
Kamu memang orang kaya, tapi kenapa ngambekmu tingkat internasional? Kenapa kamu malah kabur dan bahkan nggak mau ngomong langsung, mesti lewat Mbak Sasha?

ESTÁS LEYENDO
The Moon Talks
Chick-LitSudah tamat. Tersedia di karyakarsa san googlenplaybook Anak magang bernama Aisyah Kana Wulandari tahu, bosnya, Bhumi Prakasa Harjanto adalah pria playboy yang punya reputasi amat buruk. Tapi, di sisi lain, dia sadar, pria itu sedikit menyenangkan d...