BAB 4

13K 601 72
                                    

Anggara menatap putri sulungnya yang sedang terburu-buru menyelesaikan sarapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anggara menatap putri sulungnya yang sedang terburu-buru menyelesaikan sarapannya. "Hari ini kamu pulang lagi ke rumah, kan?" tanyanya.

Tatiana menoleh, kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku langsung pulang ke apartemen."

"Pulang ke sini lagi. Untuk apa pulang ke apartemen? Kamu kan punya rumah sendiri."

"Tadi Papa tanya, terus aku jawab. Dan jawabanku, aku pulang ke apartemen," ulang Tatiana sambil tersenyum.

Sementara itu Anggara hanya bisa mendengus pelan, karena gagal membujuk anaknya untuk pulang ke rumah. Tatiana lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen ketimbang di rumahnya sendiri.

"Kayaknya nunggu Papa meninggal, kamu mau tinggal di rumah ini lagi," sindir Anggara yang langsung mendapatkan teguran dari istrinya.

"Papa nggak boleh ngomong gitu," tegur Vella.

"Habisnya Ana susah banget dibilangin."

"Kak Ana nakal ya, Pa?" tanya Meilani setelah menyimak obrolan kedua orang tuanya. "Kalau Mei susah banget dibilangin, kata Mama, Mei anak nakal. Berarti Kak Ana juga anak nakal dong."

Satu kecupan mendarat di pipi tembam Mei. "Kak Ana memang nakal, Mei. Pokoknya Mei nggak boleh mencontoh Kak Ana," sahut Ved dengan bibir yang menyeringai.

Kepala gadis kecil itu langsung mengangguk. Dia tidak akan mencontoh kenakalan kakaknya. Karena Mei sudah berjanji kepada mamanya akan menjadi anak yang penurut.

Merasa tidak ada satu pun orang yang mendukungnya, Tatiana berulang kali menghela napas lelah. Semua orang yang ada di rumah ini memang memaksanya untuk kembali tinggal serumah. Namun, Tatiana dengan tegas menolak.

"Aku punya tempat tinggal sendiri. Sayang dong kalau harus tinggal di sini." Bibir Tatiana mengerucut sebal.

"Justru dengan tinggal di luar rumah itu namanya pemborosan," sahut Anggara. Laki-laki paruh baya itu tidak terima dibantah oleh anaknya.

Merasa situasinya semakin tidak terkendali, Tatiana buru-buru menyelesaikan sarapannya. Setelah itu, dia lantas beranjak bangun untuk mengambil tasnya.

"Aku berangkat sekarang ya," pamitnya tanpa menunggu jawaban.

Melihat kepergian putri sulungnya yang main menyelonong begitu saja, Anggara merasa geram. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Tatiana sepenuhnya, sebab kelakuan Tatiana tersebut sangat mirip dengannya ketika masih muda dulu.

Sementara Vella dan Meilani hanya terpaku melihat kepergian Tatiana. Mereka tidak berani menahan Tatiana lagi sebab Tatiana memang perempuan yang keras kepala. Kurang lebih sama seperti Anggara.

Orang yang berani menyusul Tatiana hanya Ved. Laki-laki itu juga langsung menyelesaikan sarapannya, lalu beranjak bangun untuk menyusul Tatiana yang sudah berlalu keluar rumah.

SituasionshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang