09: Senyumnya Kian Memudar

443 91 31
                                    

     Dari perhitungan Rosie, ini adalah hari keenam Jayden pergi meninggalkannya untuk berperang. Satu-satunya orang yang bisa berkomunikasi dengan Rosie ialah Theo─ sepupu Jayden.

     Namun nyatanya, dia juga ikut menemani Jayden untuk membawa kemenangan kerajaan Addison.

     Sekarang, kepada siapa Rosie harus menunggu? Nyalinya tak setinggi itu untuk berani menghampiri lingkup kerajaan Addison agar ia bisa bertanya perkembangan perang yang terdapat Jayden di dalamnya.

     “Rosie,” panggil Elena. Meleburkan lamunannya.

     Gadis itu menoleh. “Ah iya. Kenapa, Kak?” tanya Rosie dengan wajah lesu.

      “Mau sampai kapan kau mengurung diri seperti ini? Ikutlah bersamaku ke ladang bunga umum. Kita petik bunga mawar lagi,” ajak Elena yang berinisiatif membuat sang adik kembali ceria.

     Deg.

     Ladang bunga umum. Itu tempat di mana Jayden pertama kali melihatku.

     “Aku akan ikut denganmu. Tapi─ jangan ke sana ya? Aku mohon,” pinta Rosie.

      Tak ada pilihan lain, maka Elena hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Setidaknya, upayanya untuk membuat Rosie tak terus menerus menutup diri sejak kepergian Jayden ke medan perang sedikit berhasil.

•••

     “Kak Elena,” panggil Rosie. Membuat Elena yang tengah sibuk bermain dengan seekor kelinci putih dalam gendongannya pun mendongakkan kepalanya.

      “Oh, kenapa, adikku? Kau mau bermain bersamanya juga? Ini!” Elena menyodorkan kelinci yang terlihat nyaman berada dalam gendongannya.

     Rosie langsung menjauh, lantas menggeleng. Menunjukkan bahwa dia tidak tertarik dengan apa yang Elena berikan. “Aku tidak mau. Kita pulang saja ya? Aku bosan di sini,” keluhnya.

     Elena menghelakan napasnya, nyatanya usaha yang ia lakukan untuk membuat Rosie tampak ceria tidak sepenuhnya berhasil. Rosie hanya memperlihatkan senyumannya untuk beberapa saat, detik berikutnya murung pun kembali mendominasi wajah cantiknya.

     “Rosie, aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Pangeran Jayden. Tapi kau harus memikirkan dirimu lebih dulu. Dia juga tidak akan suka jika melihat wajah murung nan sendumu ini,” ujar Elena.

     Gadis itu berdecak pelan. “Bagaimana aku tidak khawatir? Aku tidak punya koneksi untuk bisa mengetahui kabar apapun darinya sekarang! Perang itu tidak bisa dianggap remeh, Kak Elena. Kau tidak akan mengerti sekalipun aku menjelaskannya sampai mulutku berbusa.”

     Rosie melangkahkan kedua kakinya menjauh dari Elena. Emosinya kini betulan menguap dan terlampiaskan pada kakaknya sendiri.

     Hati dan pikirannya sudah kalang kabut- sibuk memikirkan nasib Jayden di medang perang itu.

     Jayden, aku lelah. Tidak bisakah kau kembali padaku? Atau setidaknya beritahu aku bahwa kau baik-baik saja di sana.

     Air matanya menetes. Lagi. Entah untuk yang ke berapa kalinya.

•••

     Theo yang sedang mengistirahatkan dirinya di bawah naungan tenda setelah melakukan perang di hari ke-enam pun dikejutkan oleh kedatangan Jayden. Lengan kanannya bersimbah darah, jelas terlihat dari betapa basahnya baju yang Jayden kenakan disebabkan oleh darah yang terus mengalir dan berhasil tembus. Anehnya pria itu sama sekali tidak meraung kesakitan.

     “What the hell is that, Jayden?! Kau terluka? Lenganmu ...,” Theo menghampiri Jayden yang kini tengah mendudukkan dirinya di atas kursi kayu.

     Jayden meringis. “Ethan did this to me. But don't take this seriously, i'm ok.

     Kedua mata Theo melotot. “Si berandal itu berulah lagi? Maksudku, perang hari ini sudah selesai. Dia menyerangmu di luar waktu yang seharusnya, Jayden!”

     Theo Addison, dia memang tidak terima ketika Jayden bertingkah bahwa segalanya tidak apa-apa. Sudah jelas tidak.

     Jayden menatap sepupunya itu dengan sorot mata sayu, tampak lelah. “Aku mohon, jangan buat apa-apa, Theo. Meskipun dia melakukan ini di luar perang, jangan jadikan itu sebagai alasan agar kita bisa melakukan hal yang sama. Don't act like him, we're Addison.”

     Theo mengangkat tangannya singkat. Menyerah dan berakhir menurut pada Jayden. “Kalau begitu, jangan halangi aku untuk memanggilkan tabib ke sini. Biarkan dia mengobati lukamu,” tegasnya.

     “Ini hanya luka kecil, Theo. Nanti saja.”

     Decakan pun lolos dari mulut Theo. “Luka kecil?! Kau memang sudah gila! Baju bagian lenganmu hampir habis dimakan oleh cucuran darahmu sendiri, Jayden. Aku yakin rasanya sangat sakit, jadi jangan membantahnya.”

     Theo mulai melangkahkan kakinya untuk keluar dari tenda sesuai dengan tujuannya- memanggil tabib. Namun pria itu mendadak berhenti, menghelakan napasnya dan melirik Jayden yang masih setia dengan tatapan sayunya.

     “Jay, jika Rosie melihatmu yang bersimbah darah seperti ini, aku yakin dia akan menangis tanpa henti. Kau bisa membuatnya semakin menderita. Jadi jangan anggap ini sebagai hal kecil. Terkadang yang menurutmu sepele, akan sangat melukai perasaan seseorang tanpa kau tahu.”

     “You miss her, right? Kembalilah dengan selamat dan utuh, Jayden. Senyum Rosie yang selama ini kau nantikan akan datang dengan sendirinya tepat di hadapanmu.”

     Jayden bergeming. Ia menunduk, diam-diam menyetujui semua ucapan Theo.

     “I do miss her,” katanya samar.

 •••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 •••

Haloo, aku kembali lagi setelah 4 bulan lamanya gak update-update. Maaf yaaa T_T. Aku ga bermaksud ngelama-lamain kok, hehe.

Aku lagi males nulis ... soalnya keseharianku sekarang sudah cukup melelahkan. TAPI JANGAN KHAWATIR, i'll do my best for this work. Karena aku liat masih ada kalian yang dukung aku untuk lanjutin cerita ini. Apalagi ada #jaerosé di dalamnya wkwkwkwk. Thank you yaaaaaa, suka semangat lagi tau akunya kkkkkkkk.

Semoga masih suka yaa. Tim JaySie happy end or sad end?

Semu | 2021 jaerose.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang